Surabaya (IMR) – Ari Pratama kembali menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Sidang yang dipimpin hakim Muhammad Zulqarnain ini mendatangkan saksi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU).
JPU Estik Dilla Rahmawati menghadirkan saksi yakni Rektor Universitas Dr. Soetomo, Siti Marwiyah, untuk memperjelas dampak material maupun imaterial yang ditimbulkan dari peredaran ijazah palsu atas nama institusinya.
Dalam persidangan, Rektor Marwiyah menegaskan bahwa untuk dapat kuliah dan akhirnya memperoleh ijazah, setiap mahasiswa wajib melalui proses pendidikan yang sah. Ia mengungkapkan baru mengetahui adanya penggunaan ijazah palsu tersebut setelah mendapat informasi dari penyidik Polrestabes Surabaya.
Rektor yang menjabat sejak 2021 itu menjelaskan bahwa universitas memiliki basis data resmi untuk memverifikasi keabsahan ijazah lulusan. Ketika ditanya majelis hakim mengenai kemungkinan penurunan jumlah mahasiswa baru atau adanya pengaduan dari pihak ketiga terkait peredaran ijazah palsu, saksi menegaskan bahwa sejauh ini tidak ada laporan, keluhan, ataupun dampak langsung terhadap penerimaan mahasiswa.
Terdakwa Ari Pratama mengakui seluruh keterangan saksi dan membuka kronologi perbuatannya. Ia menjelaskan bahwa setelah perusahaan tempatnya bekerja bangkrut, ia menganggur selama dua tahun. Dalam masa itu ia mulai belajar Photoshop secara otodidak dan mencoba mencetak berbagai dokumen.
Ari mengungkapkan bahwa awalnya ia hanya mencoba membuat dokumen pribadi dan merasa hasilnya memuaskan. Dengan fasilitas sederhana berupa komputer dan printer, ia kemudian mulai menerima pesanan melalui media sosial Facebook. Dari sinilah ia mengaku timbul ide memproduksi ijazah palsu.
Ia bahkan sempat mencoba menawarkan pembuatan buku nikah, namun tidak laku. Produk yang paling diminati justru ijazah palsu.
Di hadapan majelis hakim, Ari membeberkan tarif jasanya yang berkisar antara Rp500 ribu hingga Rp1 juta, tergantung permintaan pemesan. Ia mengaku hanya membuat ijazah palsu dari Universitas Dr. Soetomo, tidak dari kampus lain.
Selama setahun menjalankan praktik ini, ia telah melayani lima pemesan ijazah SMA dengan total keuntungan sekitar Rp1,2 juta, sementara keseluruhan pemesan mencapai nilai Rp5 juta karena berlangsung dalam rentang beberapa bulan.
Untuk memperkuat tampilan ijazah, ia mengambil desain dan nama pemesan dari pencarian Google, sedangkan stempel universitas ia pesan secara daring melalui marketplace.
Ari menegaskan tidak pernah mendapatkan komplain dari pemesan selama menjalankan bisnis ilegal tersebut. Ia juga mengakui memahami risiko dan merasa bersalah atas perbuatan yang telah merusak integritas dunia pendidikan.
Penasihat hukum terdakwa, Veronica Yunani, menanyakan mengenai ada tidaknya pihak lain yang menitipkan dokumen untuk dipalsukan. Ari menyebut memang ada pemesan yang meminta bantuan pembuatan, tetapi ijazah palsu yang disita dalam penyidikan adalah hasil dari permintaan langsung. [uci/kun]






