Yogyakarta (IMR) – Ketegangan antara Iran dan Israel kembali mengemuka dan menjadi sorotan dunia. Di tengah kekhawatiran global akan potensi konflik nuklir, para pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai bahwa Indonesia perlu mengambil langkah diplomasi yang lebih tegas dan terarah untuk menjaga perdamaian dunia, sejalan dengan amanat konstitusi.
Konflik ini tidak hanya menyangkut ketegangan biasa, melainkan juga menyentuh persoalan sensitif terkait senjata nuklir. Iran dituduh meningkatkan pengayaan uranium hingga 60 persen, yang memicu reaksi keras dari Israel. Situasi ini terjadi tepat saat Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyatakan Iran tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian Non-Proliferation Treaty (NPT).
Drs. Muhadi Sugiono, M.A., dosen Hubungan Internasional UGM sekaligus anggota International Campaign to Abolish Nuclear Weapons (ICAN), menegaskan bahwa krisis ini menjadi sinyal kuat bahaya penggunaan senjata pemusnah massal.
“Ini bukan konflik biasa, tapi konflik strategis yang bisa memicu krisis besar di kawasan. Israel ingin menjadi satu-satunya negara di Timur Tengah yang memiliki senjata nuklir, dan itu membuat Iran jadi target serangan,” jelasnya dalam diskusi publik di UGM kemarin.
Muhadi menyayangkan bahwa Indonesia hingga kini belum memiliki strategi politik luar negeri yang kuat dalam menghadapi konflik global seperti ini. Menurutnya, meski Indonesia dikenal dengan prinsip bebas-aktif, tetapi peran konkret di panggung dunia masih minim.
Ia mendorong pemerintah untuk lebih aktif memperjuangkan keadilan dalam implementasi NPT dan tidak hanya menjadi penonton dalam dinamika geopolitik.
Senada dengan itu, Dr. Muhammad Najib Azca, sosiolog dan peneliti senior di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM, melihat konflik Iran-Israel sebagai bagian dari rangkaian panjang konflik Timur Tengah.
Ia menilai, peran kelompok-kelompok seperti Hamas, Hizbullah, dan keterlibatan Suriah menjadikan konflik ini tak kunjung selesai dan makin kompleks.
“Dampak dari konflik ini bukan hanya di kawasan Timur Tengah, tetapi juga merembet secara global. Ketidakstabilan ini bisa mengganggu ketahanan pangan, ekonomi, dan pencapaian pembangunan nasional di negara-negara lain, termasuk Indonesia,” ujarnya.
Najib menyoroti sikap Indonesia yang akhir-akhir ini mulai menunjukkan arah politik luar negeri yang lebih seimbang. Ia mencontohkan kehadiran Presiden Prabowo Subianto dalam forum internasional di Rusia sebagai bentuk diplomasi alternatif yang tidak memihak satu blok kekuatan saja.
“Kehadiran Presiden di Rusia bisa dibaca sebagai pesan bahwa Indonesia tidak terjebak dalam poros kekuatan global tertentu. Ini penting untuk menjaga prinsip netralitas sekaligus memperluas kerja sama strategis,” kata Najib.
Dengan meningkatnya ketegangan geopolitik dan potensi ancaman nuklir, Indonesia dituntut lebih tegas dalam diplomasi internasional. Tidak cukup hanya dengan menjaga jarak, tetapi perlu ada upaya aktif dalam mendorong penyelesaian damai yang adil dan setara di tingkat global. [aje]