Perdebatan tentang Kehadiran Musisi Jazz di Festival Musik
Festival musik jazz di Indonesia kini menjadi topik yang hangat dibicarakan. Isu ini muncul setelah seorang musisi legendaris, Indra Lesmana, mengunggah pesan di Instagram Story-nya yang menyatakan bahwa semakin sedikit musisi jazz yang tampil di festival jazz. Ia menulis, “Semakin sedikit musisi jazz tampil di festival jazz. Tanpa jazz, festival jazz kehilangan jiwanya.” Ucapan ini memicu berbagai tanggapan dari netizen dan kalangan musisi lainnya.
Tanggapan dari Promotor Festival Jazz
Unggahan Indra Lesmana tampaknya menyentuh perhelatan Prambanan Jazz Festival yang berlangsung pada 4–6 Juli 2025. Beberapa musisi yang tampil dalam acara tersebut antara lain Kenny G, eaJ Park, Bernadya, hingga Nasida Ria. Promotor festival, Anas Syahrul Alimi, memberikan respons melalui unggahan media sosial dengan judul “Maafkan Kami yang Selalu Bersalah Setiap Juli”.
Menurut Anas, tidak ada salahnya mengundang musisi dengan latar belakang genre yang berbeda dalam festival jazz. Ia memberikan contoh dari festival internasional seperti North Sea Jazz, Montreux Jazz Festival, Umbria Jazz Festival, dan Copenhagen Jazz Festival. Di sana, musisi dari berbagai genre sering kali tampil bersama, tanpa mengurangi esensi dari festival itu sendiri.
Inklusivitas dalam Bermusik
Anas meyakini bahwa inklusivitas dalam bermusik adalah masa depan. Ia menjelaskan bahwa penampilan band seperti Pearl Jam dan Foo Fighters dalam New Orleans Jazz & Heritage Festival tidak merusak esensi festival tersebut. Meskipun kedua band ini berasal dari semangat Seattle sound, mereka tetap bisa hadir dalam acara yang bertema jazz.
Dalam unggahan terbarunya, Anas juga menyatakan bahwa jazz bukan hanya sekadar improvisasi nada dan akor. Menurutnya, jazz adalah keberanian melawan pakem dalam pembatasan kategori genre musik. Ia menilai bahwa Prambanan Jazz Festival merupakan ruang tamu yang dapat mempertemukan lintas musik untuk saling berbagi cerita di atas panggung, bukan sekadar persaingan gengsi.
“Dan kalau kami menghadirkan Kahitna, Raisa, atau bahkan musisi Korea-Amerika, itu bukan karena kami lupa sejarah jazz, tapi karena kami ingin menciptakan pertemuan lintas generasi, lintas genre, dan lintas hati,” tulis Anas.
Kritik terhadap Label “Jazz Festival”
Tanggapan dari Indra Lesmana tidak berhenti sampai di situ. Dalam utas terbaru di Threads pada 11 Juli 2025, ia memberikan analogi yang menunjukkan ketidakpuasan terhadap label “jazz festival” yang tidak sesuai dengan isi acara. “Ibarat bikin ‘Kungfu Festival’ tapi kungfunya ga ada, adanya pencak silat dan karate, dengan alasan pencak silat lebih banyak peminatnya…” tulisnya.
Indra menilai bahwa jika sebuah festival menggunakan kata “jazz”, namun sebagian besar diisi oleh musisi dari genre lain, maka hal itu dapat menyesatkan penonton. Ia juga khawatir hal ini akan mengikis visibilitas seniman jazz dan melemahkan identitas budaya jazz itu sendiri.
Menurut Indra, saat ini banyak talenta jazz berbakat yang membutuhkan dukungan dan panggung yang layak. Ia merasa semakin sedikitnya kehadiran musisi jazz dalam festival musik jazz telah menjadi isu penting yang perlu mendapat perhatian serius.
Perdebatan ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga esensi dan identitas dari suatu festival musik. Apakah festival jazz harus tetap berpegang pada musisi jazz murni, atau apakah penggunaan genre lain bisa menjadi bagian dari evolusi musik? Pertanyaan ini masih terbuka dan perlu dilihat dari berbagai sudut pandang.