Tantangan Industri Padat Karya di Tengah Tekanan Ekonomi Global
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor industri padat karya terus meningkat, mengakibatkan penurunan jumlah tenaga kerja yang terdampak. Hal ini disebabkan oleh berbagai tekanan ekonomi yang melanda dunia usaha. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W Kamdani, menyatakan bahwa saat ini fenomena PHK semakin marak, khususnya di sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) yang mengalami kesulitan besar.
Menurut Shinta, kondisi tersebut menunjukkan bahwa sektor-sektor padat karya seperti TPT sangat rentan terhadap perubahan ekonomi global. Ia menekankan perlunya pemerintah mengambil langkah-langkah strategis untuk mendukung sektor industri ini agar tetap bertahan dan menciptakan lapangan kerja.
Langkah Dukungan yang Direkomendasikan
Untuk mengatasi tantangan ini, Shinta menyarankan pemerintah memberikan berbagai insentif fiskal. Beberapa rekomendasi yang diajukan antara lain:
- Pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN) jasa subkontrak dan bahan baku.
- Percepatan restitusi PPN.
- Penghapusan bea masuk bahan baku untuk industri.
- Perluasan skema PPh 21 ditanggung pemerintah.
- Akses pembiayaan yang lebih inklusif.
Selain itu, dunia usaha juga menyarankan stimulus biaya tenaga kerja dan energi. Beberapa opsi yang dianjurkan antara lain:
- Subsidi iuran BPJS Kesehatan untuk sektor terdampak.
- Diskon listrik dan subsidi gas.
- Pengembangan energi terbarukan melalui PLTS atap dengan skema net-metering.
Shinta menjelaskan bahwa langkah-langkah ini dirancang untuk menjaga arus kas, mempertahankan kapasitas produksi, serta mencegah gelombang PHK lanjutan. Ia menegaskan bahwa industri padat karya sedang berada di persimpangan jalan. Jika tidak diberi perlindungan dan insentif yang cukup, maka potensi kehilangan sektor yang selama ini menyerap banyak tenaga kerja sangat tinggi.
Data Survei dan Prediksi Masa Depan
Dalam survei terbaru Apindo, 50% responden menyatakan telah mengurangi tenaga kerjanya atau melakukan PHK akibat ketidakpastian ekonomi. Kondisi ini diperkirakan akan terus berlangsung dalam waktu yang tidak dapat diprediksi. Shinta menuturkan bahwa situasi ekonomi global yang terus berubah, kondisi geopolitik yang meningkat, dan proyeksi pertumbuhan yang menurun membuat banyak perusahaan sulit mengambil keputusan.
Akibatnya, banyak perusahaan bersikap menahan ekspansi, memperlambat rekrutmen, dan fokus pada efisiensi. Dalam survei Apindo yang baru saja dilakukan, lebih dari 50% responden menyatakan telah mengurangi tenaga kerja dan masih akan terus melakukan hal ini.
Peluang dari Tarif Trump
Negosiasi antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) yang menghasilkan kesepakatan penurunan tarif dagang resiprokal dari 32% menjadi 19% untuk produk Indonesia dinilai dapat meminimalisir risiko lonjokan PHK di industri padat karya. Shinta menilai jika Indonesia dikenai tarif impor yang lebih tinggi maka akan berdampak pada ekspor TPT yang dikhawatirkan bisa memicu gelombang PHK.
Dengan tarif resiprokal yang lebih kompetitif dibandingkan negara kompetitor, menurut Shinta, dapat menjadi peluang Indonesia untuk menarik investasi di industri TPT. Ia menyebut beberapa perusahaan asing dari China sudah mulai mengalihkan investasi ke Tanah Air, terutama di sektor ritel.
Insentif untuk Industri Padat Karya
Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai pemerintah perlu mempertimbangkan kembali pemberian paket insentif fiskal ke sejumlah sektor industri padat karya, seperti keringanan pajak hingga subsidi energi. Namun, ia menilai usulan insentif fiskal harus dilakukan secara selektif dan berbasis pemetaan sektoral.
Yusuf menjelaskan bahwa tidak semua sektor padat karya mengalami tekanan yang sama. Misalnya, sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) mungkin lebih tertekan dibandingkan sektor makanan-minuman atau alas kaki. Pemetaan ini penting untuk memastikan bahwa insentif tidak diberikan secara menyamaratakan, melainkan tepat sasaran.
Selain keringanan pajak, Yusuf juga menilai pemerintah bisa mempertimbangkan subsidi biaya energi industri, seperti listrik dan gas pada jam sibuk. Selain itu, insentif non fiskal seperti fasilitasi ekspor dapat menjadi opsi yang berdampak nyata. Yusuf menyarankan langkah-langkah seperti pengurangan tarif logistik, simplifikasi dokumen ekspor, hingga percepatan restitusi PPN dapat membantu pelaku usaha.