Tantangan Industri Perhotelan di Indonesia
Industri perhotelan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan hingga memasuki paruh kedua tahun 2025. Meski ada tanda-tanda pemulihan, tekanan dari melemahnya daya beli masyarakat, terbatasnya belanja pemerintah, dan belum pulihnya mobilitas domestik membuat optimisme masih tertahan.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran, menyatakan bahwa kinerja hotel sepanjang semester I-2025 mengalami tekanan cukup signifikan. Minimnya kegiatan dari sektor pemerintah, yang selama ini menjadi tulang punggung pasar MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition), menjadi salah satu penyebab utama. “Semester I cukup berat. Banyak kegiatan besar yang hilang, terutama dari pemerintah. Di semester II, meskipun ada sinyal positif seperti pelonggaran aktivitas pemerintah di hotel, implementasinya masih sangat terbatas,” ujarnya.
Meskipun ada pelonggaran aktivitas pemerintah di hotel pada semester II, Maulana menilai implementasinya masih sangat terbatas dan belum berdampak besar terhadap okupansi. Aktivitas liburan sekolah pertengahan tahun juga dinilai tidak optimal dalam mendorong okupansi, karena pelaksanaannya mendadak dan tidak terencana dengan baik. “Libur sekolah kemarin memang ada peningkatan okupansi harian, tapi hanya di akhir pekan. Secara mingguan tetap lebih rendah dibanding tahun lalu. Kalau travel plan itu kan idealnya dirancang dua sampai tiga bulan sebelumnya, bukan last minute,” jelas Maulana.
PHRI juga mencatat penurunan penerimaan pajak daerah dari sektor restoran dan hotel pada semester I. Jika tren ini berlanjut, tekanan bisa berlanjut hingga 2026 dan berdampak pada pendapatan daerah.
Strategi Perusahaan Hotel untuk Menghadapi Tantangan
Menghadapi realitas pasar yang berubah, PT Hotel Sahid Jaya International Tbk (SHID) mengambil langkah agresif dengan mengubah komposisi pasar secara signifikan. Jika sebelumnya segmen pemerintah dan MICE menyumbang 72,5% dari pasar, kini porsinya dikurangi menjadi hanya 35,8%. Sebagai gantinya, SHID memperbesar porsi segmen ritel (41,6%), korporasi (20,4%), dan komunitas serta wisatawan individu.
“Semester I itu banyak sekali cancellation dari pemerintah. Di semester II ini insya Allah mulai ada peningkatan, meskipun tidak signifikan. Tapi kami tutup dengan kontribusi dari segmen korporasi dan komunitas yang cukup lumayan,” ujar Hariyadi.
SHID juga mulai menggencarkan aktivitas berbasis event, termasuk konser skala terbatas untuk mendongkrak trafik. Tahun ini, dua konser telah dijadwalkan: konser tribute untuk Glenn Fredly dengan teknologi hologram, serta konser The Beatles oleh JBLUG. Meski belum merilis laporan keuangan semester I, Hariyadi mengakui bahwa pendapatan dan okupansi turun dibanding tahun lalu, namun tren mulai membaik di semester II.
“Capex terbesar tahun ini masih untuk renovasi kamar. Total nilainya saya harus cek lagi, tapi secara umum fokus kami memang di penyelesaian proyek renovasi,” jelas Hariyadi. SHID menargetkan pendapatan 2025 sebesar Rp160 miliar, sedikit naik dibanding capaian 2024 sebesar Rp155,9 miliar.
Fokus pada Sektor Lain
Sementara itu, PT Ciputra Development Tbk (CTRA) melihat adanya perbaikan bertahap di sektor hospitality pada semester II/2025, meskipun sektor ini bukan kontributor utama dalam portofolio bisnis perseroan. “Ya memang di semester I sektor hospitality ada penurunan, kira-kira sekitar 8%. Saya melihat memang pasti ada pengaruh dari program efisiensi dari pemerintah,” kata Harun Hajadi, Direktur CTRA.
PHRI menekankan pentingnya peran pemerintah dalam mendorong pemulihan industri perhotelan melalui program kegiatan di daerah. Menurut Maulana, pergerakan ekonomi lokal sangat bergantung pada stimulus fiskal, keterbukaan sektor publik, dan pembebasan regulasi yang memberatkan. “Mudah-mudahan pemerintah membuka lagi kran untuk meeting-meeting di hotel-hotel,” harapnya.