Transformasi Bisnis InJourney yang Mendalam dan Berkelanjutan
PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero) atau InJourney telah menjalani proses transformasi bisnis yang sangat mendasar dalam tiga tahun terakhir. Sebagai holding BUMN sektor pariwisata, InJourney tidak hanya melakukan perubahan struktural dan penggabungan anak perusahaan, tetapi juga mengevaluasi arah bisnis dan kinerja keuangan seluruh entitas. Hal ini disampaikan oleh Direktur Utama PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero), Maya Watono.
1. Memperkuat Dasar Bisnis InJourney
Transformasi yang dilakukan oleh InJourney merupakan bagian dari komitmen perusahaan untuk membangun bisnis yang sehat secara keuangan, efisien secara operasional, dan berdampak nyata bagi masyarakat. Awalnya, InJourney menaungi puluhan perusahaan dengan struktur yang kompleks dan cenderung tumpang tindih. Untuk mengatasi hal ini, InJourney melakukan inisiatif penyederhanaan dengan menyatukan entitas-entitas tersebut ke dalam enam pilar bisnis yang strategis dan saling melengkapi.
Dengan langkah ini, perusahaan dapat melakukan evaluasi mendalam terhadap arah bisnis dan kinerja keuangan seluruh entitas. Proses penyederhanaan ini mencakup pembenahan struktur organisasi serta peningkatan kualitas layanan yang diberikan kepada masyarakat.
2. Efisiensi Layanan di Seluruh Indonesia
Salah satu pilar utama InJourney adalah InJourney Airports, yang terbentuk melalui penggabungan PT Angkasa Pura I dan II menjadi satu entitas baru bernama PT Angkasa Pura Indonesia. Penggabungan ini menciptakan operator bandara terbesar kelima di dunia, yang mengelola 37 bandara dan melayani 172 juta penumpang per tahun.
Pengelolaan bandara tidak lagi terbagi antara wilayah timur dan barat, namun disatukan dalam manajemen yang terintegrasi dan berorientasi pada efisiensi serta layanan yang setara di seluruh Indonesia. Seluruh anak perusahaan yang sebelumnya berada di bawah Angkasa Pura I dan II juga digabung dan difokuskan dalam klaster baru bernama InJourney Aviation Services.
InJourney Aviation Services bertugas menangani semua layanan pendukung penerbangan, termasuk ground handling, kargo, dan pelayanan teknis lainnya. Dengan langkah ini, tumpang tindih fungsi antar perusahaan dapat dihilangkan, dan layanan menjadi lebih terstandardisasi dan profesional.
3. Fokus pada Sarinah sebagai Culture Center
Sementara itu, sektor ritel difokuskan pada PT Sarinah yang saat ini tidak hanya diposisikan sebagai pusat perbelanjaan, tetapi juga sebagai pusat budaya atau culture center. Dalam pengembangannya, Sarinah akan menampilkan produk lokal unggulan, souvenir berkualitas, karya UMKM, serta pameran seni dan budaya yang mencerminkan kekayaan identitas Indonesia.
Transformasi ini dilakukan dengan tujuan menjadikan Sarinah sebagai wajah pariwisata urban yang mempertemukan belanja dan kebanggaan budaya.
4. Pengelolaan Destinasi yang Lebih Profesional
Pilar berikutnya adalah InJourney Hospitality, yang mengelola seluruh portofolio hotel milik BUMN yang tersebar di kawasan wisata utama Indonesia, seperti Mandalika, Nusa Dua, Labuan Bajo, Sanur, dan kawasan ekonomi khusus lainnya.
Selain itu, destinasi-destinasi budaya dan spiritual seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), dan Ratu Boko kini dikelola secara terpusat dalam pilar InJourney Destination Management. Pengelolaan destinasi yang lebih profesional, terpadu, serta memberi pengalaman yang lebih baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara.
5. Perbaikan Fundamental Bisnis dan Kesehatan Keuangan
Tidak hanya melakukan transformasi struktural, InJourney juga fokus pada perbaikan fundamental bisnis dan kesehatan keuangan. Seluruh entitas di bawah holding menjalani proses penyehatan keuangan, termasuk melalui berbagai aksi korporasi strategis. Hasilnya mulai terlihat nyata.
Pada tahun 2023, seluruh perusahaan di bawah InJourney untuk pertama kalinya mencatatkan laporan keuangan dengan kondisi keuangan menjadi biru, artinya secara umum berada dalam kondisi keuangan sehat. Bahkan, InJourney membukukan laba bersih sebesar Rp1,1 triliun pada tahun lalu, membalikkan kondisi kerugian sebesar hampir Rp1 triliun pada tahun sebelumnya.
Namun keberhasilan keuangan ini tidak serta-merta dijadikan euforia. Maya menegaskan, pencapaian tersebut bukan berasal dari aksi korporasi sesaat atau one-off transaction semata, melainkan merupakan hasil dari pembenahan struktural yang bersifat fundamental dan berkelanjutan. Perusahaan menolak melakukan praktik window dressing dalam pelaporan keuangan dan berkomitmen untuk membangun pondasi bisnis yang sehat, transparan, dan benar-benar menghasilkan nilai jangka panjang.