Tatkala seorang melaksanakan shalat dalam kondisi musbil atau isbal (menjulurkan pakaian hingga melebihi mata kaki) pada kain, maka Rasulullah memerintahkan berwudhu, apa maksud hadis ini?
InfoMalangRaya.com | Assalamualaikum. Saya pernah membaca sebuah hadits yang menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkan orang yang shalat dalam keadaan munjulurkan kain melebih kedua mata kaki untuk berwudhu, lantas mengulangi wudhunya. Pertanyaannya apakah perbuatan isbal membatalkan wudhu? Bagaimana sebenarnya hukum terhadap Hadits tersebut, dan seperti apa memahami maknanya? Deni
Waalaikum Salam Warahmatullah Wabarakatuh.
Kemungkinan hadits yang dimaksud oleh penanya adalah hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: بَيْنَمَا رَجُلٌ يُصَلِّي مُسْبِلًا إِزَارَهُ إِذْ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ»، فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ جَاءَ، ثُمَّ قَالَ: «اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ»، فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ، ثُمَّ جَاءَ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ أَمَرْتَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ، ثُمَّ سَكَتَّ عَنْهُ، فَقَالَ: «إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يَقْبَلُ صَلَاةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ إِزَارَهُ» (أخرجه أبو داود: 638, 1/172)
Dari Abu Hurairah ia berkata,”Tatkala seorang melaksanakan shalat dalam kondisi musbil (menjulurkan pakaian hingga melebihi mata kaki) pada kain, maka Rasulullah ﷺ berkata kepadanya, ’Pergilah untuk berwudhu.’ Lantas ia pergi dan berwudhu, lalu datang. Rasulullah ﷺ pun bersabda, ’Pergilah dan berwudhu.’ Lantas ia pun pergi dan berwudhu kemudian datang kembali. Lantas bertanyalah seorang laki-laki,’Wahai Rasulullah, kenapa Anda memerintahnya untuk berwudhu?’ Lantas beliau pun diam, lalu bersabda,’Sesungguhnya sebelumnya ia melaksanan shalat sedangkan ia dalam kondisi musbil kain izar-nya dan sesungguhnya Allah Ta’ala tidak menerima shalat seorang lelaki yang menjulurkan kain izar-nya hingga melebihi mata kaki.” (Riwayat Abu Dawud: 638, 1/172).
Kedudukan Hadits
Imam An-Nawawi menyatakan mengenai hadits di atas, ”Riwayat Abu Dawud dengan sanad shahih seusai dengan syarat Imam Muslim.” (Majmu` Syarh Al Muhadzdzab, 3/178).
Namun pernyataan Imam An-Nawawi dikritik oleh beberapa ulama lainnya. Al Munawi menyatakan, ”Akan tetapi Al-Mundziri menyebutkan bahwasannya hadits ini mengandung ilat, padanya Abu Ja’far, lelaki dari Madinah yang tidak dikenal.” (Faidh Al-Qadir, 2/274).
Burhanuddin Ibrahim Ad Dimasyqi menyatakan pernyataan yang sama dengan Al Munawi. (Al Bayan wa At Ta’rif, 1/188).
Maksud Tidak Terima Shalat bagi Pelaku Isbal
Mulla Ali Al Qari menyatakan bahwa yang dimaksud tidak diterima shalat pelaku isbal adalah tidak diterima secara sempurna bagi pelakunya. (Mirqat Al Mafatih, 2/634).
Adapun Ibnu Allan menyatakan maksud dari tidak diterimanya shalat bahwa pelakunya tidak terhapuskan dosanya tidak disucikan hatinya dari dosa-dosa meskipun beban kewajiban tertunaikan. (Dalil Al Falihin, 5/275).
Kenapa Rasulullah ﷺ Perintahkan Mengulang Wudhu?
Mengenai kandungan dari hadist, beberapa ulama menyatakan pendapat mereka:
Imam Badr Al-Aini berpendapat bahwasannya hadits ini mansukh, ”Adapun hadits itu mansukh dan juga dhaif, karena padanya ada seorang yang tidak diketahui namanya, yakni Abu Ja’far.” (Syarh Abi Dawud li Al Aini, 3/169).
Mulla Ali Qariy Al-Hanafi menyatakan bahwasannya yang dimaksud shalat dalam hadits di atas adalah hendak melakukan shalat, bukan bermakna bahwa lelaki itu sedang shalat lantas membatalkan shalatnya sebagaimana pendapat Ibnu Hajar.
Adapun Rasulullah ﷺ memerintahkannya untuk mengulangi wudhunya, hal itu karena shalat berhubungan dengan diterima atau tidaknya amalan itu secara sempurna. Sedangkan bersuci merupakan syarat shalat dan bagian luar dari shalat, maka tidak diterima shalat juga berhubungan dengan thaharah juga. Sebab itulah Rasulullah ﷺ memerintahkan juga untuk mengulangi thaharah, agar shalat menjadi lebih sempurna dan afdhal. (Mirqat Al Mafatih, 2/634).
Ibnu Al-Arabi juga berpendapat bahwasannya Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk mengulangi wudhu sebagai adab dan penegasan terhadap perkara itu. (Faidh Al Qadir, 2/274).
Sedangkan Ath-Thibi berpendapat bahwasannya Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk mengulangi wudhu, bahwasannya wudhu meski ia merupakan thaharah dhahir namun ia juga bisa mensucikan bathin dari sifat-sifat takabbur. (Faidh Al Qadir, 2/274).
Ibnu Allan As-Siddiqi menyatakan bahwasannya perintah untuk mengulangi wudhu adalah untuk menghapus dosa, karena bersuci juga menghapus dosa karena riwayat yang kedudukannya hasan menyatakan, ”Tidaklah seorang berwudhu lantas menyempurnakan wudhunya kecuali diampuni baginya dosanya yang terdahulu dan yang akan datang.” (Dalil Al Falihin, 5/275).
Namun ada pula kemungkinan lain dari perintah pengulangan wudhu, yakni karena Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengetahui ada wudhu yang dilakukan sebelumnya tidak sah. (Dalil Al Falihin, 5/275).
Sedangkan Rasulullah ﷺ tidak memerintahkannya untuk mengulangi shalat, karena yang dilaksanakan adalah shalat sunnah. (Dalil Al Falihin, 5/275).
Dengan demikian, mayoritas ulama tidak mengambil kesimpulan dari hadits di atas bahwa wudhu dan shalat batal karena isbal. Wallahu A`lam Bish Shawab.*/Thoriq, LC, MA