InfoMalangRaya –
Jalan Menuju Swasembada Daging Sapi
Konsumsi daging sapi di Indonesia hanya 2,66 kg per kapita per tahun, di bawah rata-rata dunia yang sebesar 6,4 kg per kapita per tahun. Provinsi DKI Jakarta tertinggi, dengan 6,10 kg.
Selain pakaian, pada hari raya keagamaan (Idulfitri, Iduladha, dan Natal), permintaan akan daging juga meningkat drastis. Momentum perayaan Iduladha dan Idulfitri khususnya, identik dengan makan-makan satai atau gulai.
Setiap tahun, rutinas itu terus berulang. Setiap tahun pula, seiring dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, permintaan akan daging terus bertambah. Namun begitu, total tingkat konsumsi daging di Indonesia tercatat masih di bawah rata-rata dunia.
Merujuk laporan Worldometers terbaru, jumlah penduduk di Indonesia hingga 31 Januari 2023 sebanyak 274 juta jiwa. Mengutip laporan The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) bertajuk The Muslim 500 edisi 2023 disebutkan, jumlah populasi muslim di Indonesia mencapai 237,55 juta jiwa.
Namun, konsumsi daging di Indonesia masih kalah jauh bila dibandingkan dengan negara Asia, seperti Jepang atau Korea. Bahkan konsumsi daging Indonesia disebutkan setara dengan Ethiopia.
Dikutip dari data Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), konsumsi daging dunia rata-rata sebesar 6,3 kilogram per kapita sementara Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, konsumsi daging sapi dan kerbau per kapita di Indonesia pada 2022 diperkirakan sekitar 2,5 kilogram atau sebesar 695.390 ton dengan jumlah penduduk sekitar 274 juta jiwa.
Sebelumnya pada 2021, OECD juga melaporkan konsumsi daging di dalam negeri masih di bawah rata-rata dunia. Berdasarkan jenis hewan, konsumsi daging ayam Indonesia hanya sebesar 8,1 kilogram (kg) per kapita pada 2021 sedangkan rata-rata dunia mengonsumsi sebesar 14,9 kg per kapita.
Untuk daging sapi setali tiga uang. Konsumsi daging sapi di Indonesia sebesar 2,2 kg per kapita bandingkan dengan rata-rata dunia sebesar 6,4 kg per kapita. Konsumsi daging domba di Indonesia hanya 0,4 kg per kapita di bawah rata-rata dunia 1,3 per kapita.
Konsumsi daging babi di Indonesia tercatat sebesar 1 kg per kapita, jauh di bawah rata-rata dunia yang sebesar 10,8 kg per kapita. Ini dikarenakan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan daging babi dilarang dikonsumsi. Mayoritas pemakan daging babi di Indonesia berada di daerah-daerah yang penduduknya kebanyakan beragama non-Muslim.
Di daerah-daerah tertentu di Indonesia, konsumsi daging memang rendah. Provinsi DKI Jakarta merupakan provinsi dengan tingkat konsumsi tertinggi yaitu 6,10 kg per kapita selama setahun. Provinsi Nusa Tenggara Barat berada di urutan kedua setelah DKI Jakarta dengan tingkat konsumsi sebesar 4,06 kg per kapita selama setahun.
Pada 2022, konsumsi daging sapi dan kerbau di Jawa Barat dan Jawa Timur sama yakni sebesar 3,30 kg per kapita selama setahun. Provinsi dengan tingkat konsumsi daging paling rendah adalah di Provinsi Sumatra Utara dengan 0,67 kilogram per kapita. Selain Provinsi Sumatra Utara, provinsi dengan tingkat konsumsi daging rendah adalah Maluku (0,75 kilogram per kapita), Sulawesi Barat (0,83 kilogram), dan Papua (0,88 kilogram).
Penyebab Konsumsi Rendah
Rendahnya tingkat konsumsi daging di Indonesia disebabkan dua faktor, yakni harga dan pasokan. Hukum ekonomi berlaku ketika demand dan supply mengalami ketidakseimbangan.
Pulau Jawa yang merupakan pulau dengan penduduk terpadat di Indonesia memiliki permintaan akan daging sapi dan kerbau sebanyak 500,43 ribu ton. Sementara itu, produksi daging sapi dan kerbau hanya sebesar 258,17 ribu ton sehingga terjadi defisit sebesar 242,26 ribu ton.
Pulau Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara merupakan sentra produksi daging sapi dan kerbau di Indonesia. Produksi daging sapi dan kerbau di Pulau Sulawesi dan Bali, dan Nusa Tenggara justru mengalami surplus masing-masing sebesar 3,57 ribu ton dan 18,36 ribu ton.
Kondisi tersebut dipertegas Direktur Utama PT Berdikari Harry Warganegara, saat menjadi narasumber dalam diskusi Ngobrol Pagi Seputar BUMN (Ngopi BUMN) bertajuk “Peran BUMN menjelang Hari Raya Iduladha dan Pelaksanaan Ibadah Haji Indonesia” di kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (22/6/2023). Harry mengatakan, konsumsi daging sapi Indonesia hanya 2,66 kilogram (kg) per kapita per tahun atau di bawah rata-rata dunia yang sebesar 6,4 kg per kapita per tahun.
Ketidakseimbangan antara supply and demand mengakibatkan harga daging sapi di Indonesia mahal. Oleh karena itu di Indonesia daging sapi lebih banyak dikonsumsi pada saat-saat tertentu seperti Hari Raya Idulfitri atau Iduladha.
Menurut Harry, rendahnya konsumsi daging di Indonesia karena tingginya harga daging di Indonesia. Ia mengambil contoh Korea Selatan dan Jepang yang mempunyai tingkat konsumsi daging lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia karena mempunyai daya beli tinggi.
Tingginya harga daging sapi di Indonesia disebabkan kurangnya pasokan sapi untuk kebutuhan dalam negeri akibat jumlah peternak sapi di Indonesia terus menurun. Hal ini karena tingkat kesejahteraan peternak rendah sehingga minat untuk menjadi peternak pun rendah.
Menurut data Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan pada 2022, jumlah pelaku usaha peternakan sapi potong pada 2013 sebanyak 5.078.979 rumah tangga. Namun, pada 2018 jumlahnya menurun menjadi 4.642.186 rumah tangga.
Sekadar informasi, peternak sapi di Indonesia merupakan peternak rakyat yang rata-rata hanya memiliki antara tiga–empat ekor sapi. Padahal, sedikitnya setiap kepala keluarga peternak perlu memiliki 20 ekor sapi atau lebih agar lebih menguntungkan.
Jalan Menuju Swasembada Daging
Untuk itu, produksi sapi dalam negeri mesti ditingkatkan. Pada kesempatan terpisah, Harry menyatakan, swasembada daging sapi sebaiknya dijadikan Program Strategis Nasional (PSN).
Demikian disampaikan Harry saat menjadi narasumber dalam diskusi bertema “Multiplier Effect dan Exit Strategy Pembiakan Sapi Potong Nasional menuju Swasembada Daging melalui Penambahan Volume Sapi Indukan” yang diadakan NFA di Bekasi, Jawa Barat, Selasa (6/6/2023).
Pada diskusi tersebut, Harry menyatakan, swasembada daging sapi sebagai PSN akan melakukan upaya penambahan populasi sapi ternak, pelarangan pemotongan sapi betina produktif beserta solusinya bagi peternak, hingga skema pengembangan pakan yang mampu memenuhi kebutuhan populasi sapi sekaligus rendah emisi metana.
Senada dengan Harry, Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Badan Pangan Nasional atau NFA Andriko Noto Susanto mengatakan, pihaknya sedang menyusun dokumen tertulis sebagai dasar usulan program swasembada daging sapi menjadi PSN. Andriko juga menyatakan, akan meninjau kembali aturan-aturan yang berkaitan dengan swasembada daging nasional.
Di antaranya, Pasal 36C Undang-Undang nomor 41 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU nomor 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang diubah melalui Pasal 34 UU 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 2/2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang yang dianggap menghambat impor daging sapi indukan. Di sisi lain, berbagai upaya menuju swasembada daging sapi pada 2026 juga telah dilakukan pemerintah.
Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, dua menteri pertanian Amran Sulaiman (2014-2019) dan Syahrul Yasin Limpo (2019-sekarang) telah mengeluarkan kebijakan sebagai upaya meningkatkan kelahiran, perbaikan kualitas pakan, dan pengendalian penyakit. Amran menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 48 tahun 2016 tentang Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Bunting (Upsus Siwab).
Selanjutnya, Menteri Syahrul menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 17 tahun 2020 tentang Peningkatan Produksi Sapi dan Kerbau Komoditas Andalan Negeri (Sikomandan). Program yang masih berjalan itu pun diharapkan dapat mendorong terwujudnya cita-cita swasembada daging sapi 2026. (*)
Penulis: Dwitri Waluyo
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari