InfoMalangRaya.com— Dua tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU), Prof. Dr. Nadirsyah Hosen dan Muhammad Ismael Al-Kholilie, melontarkan kritik tajam terhadap gaya dakwah pendakwah muda Elham Yahya — putra K.H. Luqman Arifin Dhofir, pengasuh Pondok Pesantren Al-Ikhlas 1 Kediri. Kritik keduanya muncul setelah video Elham mencium anak kecil di depan umum beredar luas di media sosial dan menuai kecaman publik.
Dalam salah satu video yang viral, Elham terlihat berusaha mencium seorang anak yang menolak, bahkan menciumi pipi balita dengan cara yang dinilai publik tidak pantas. Sebagian warganet menyebutnya “gemas” atau “berkah”, tetapi banyak pula yang menilai perilaku itu melanggar adab dan berpotensi menormalisasi tindakan tidak etis terhadap anak.
Prof. Dr. Nadirsyah Hosen, dosen di Melbourne Law School yang juga mantan Rais Syuriyah PCI NU Australia–New Zealand, menegaskan bahwa tindakan menciumi anak kecil bukanlah bentuk kasih sayang yang bisa diterima dalam konteks dakwah.
“Belakangan ini viral video seorang Gus yang tampak terlalu akrab menciumi anak-anak kecil, bahkan yang masih di bawah tiga tahun,” ujar Nadirsyah. “Perilaku seperti ini tidak boleh dinormalisasi — ini justru menjadi contoh penting dalam pendidikan tentang perlindungan anak dari pelecehan dan pedofilia terselubung.”
Ia mengingatkan bahwa batas tubuh anak adalah suci dan wajib dihormati, termasuk oleh tokoh agama. “Tidak ada alasan religius, sosial, atau budaya yang membenarkan orang dewasa mencium atau menyentuh anak tanpa kepantasan,” lanjutnya.
Menurutnya, perilaku seperti itu bisa dikategorikan sebagai grooming behaviour — upaya membangun kedekatan dengan anak untuk menormalisasi kontak fisik yang tidak pantas. “Ini berbahaya, baik bagi anak maupun masyarakat yang menontonnya. Rasulullah penuh kasih terhadap anak-anak, tapi beliau tidak pernah melampaui batas kesopanan,” tegasnya.
Sikap serupa disampaikan oleh Muhammad Ismael Al-Kholilie, atau Lora Ismail, santri alumnus Al-Anwar Sarang (Rembang) dan Darul Musthafa Tarim (Yaman). Ia menyatakan kegelisahannya terhadap cara berdakwah Elham Yahya yang dianggap melampaui batas adab dan menimbulkan fitnah terhadap dunia pesantren dan NU.
“Ketika kami memberi kritik dan masukan ke njenengan, tidak ada iri atau dengki,” ujar Lora Ismail. “Kami bangga njenengan muda tapi semangat berdakwah. Tapi kami juga resah ketika njenengan seakan menghalalkan segalanya atas nama dakwah—tanpa batasan, tanpa aturan.”
Lora Ismail menyoroti bahwa berbagai “gebrakan dakwah” Elham Yahya justru menimbulkan hujatan kepada NU dan kalangan Gus pesantren. “Banyak akrobat dakwah njenengan yang agak laen — haha-hihi dengan lawan jenis tanpa batas, narasi nyeleneh seperti ‘setiap sedotan rokok berpahala’, dan guyonan kepada anak kecil yang bisa membuka pintu pelecehan,” katanya.
Ia menegaskan, suara kritiknya bukan karena kebencian, tetapi bentuk kasih dan keprihatinan terhadap marwah pesantren. “Kami resah dan eman kepada njen sebagai alumni pesantren dan keturunan ulama. Eman kepada pengikut njen yang akan menganggap setiap perilaku njenengan sebagai tuntunan,” tutupnya.
Tindakan Kontrorsial
Sebelumnya, Elham Yahya — cucu dari K.H. Mudhofir Ilyas, pendiri Pondok Pesantren Kaliboto, Tarokan, Kediri — dikenal sebagai pendakwah muda dengan pengikut besar di media sosial. Namun, beberapa pernyataannya kerap menimbulkan kontroversi.
Pada pertengahan tahun ini, Elham sempat menghebohkan publik karena pernyataannya bahwa “setiap satu hisapan rokok berpahala.” Dalam potongan video yang viral, ia berkata:
“Satu hisapan ini aku tidak hanya mengepulkan asap semata. Satu hisapan seperti ini, kemudian menyebut ‘Allah…’ lalu mengeluarkan asap dengan nada ‘hu’, maka akan menjadi ‘Allahu…’.”
Pernyataan itu langsung menuai kritik dari kalangan kiai dan santri karena dianggap menyesatkan dan tak berdasar pada sumber ajaran yang sahih.
Kini, dengan munculnya video yang memperlihatkan interaksi tidak pantas dengan anak-anak, gelombang kritik terhadap Elham semakin deras. Sejumlah kalangan menilai gaya dakwahnya bukan hanya mencederai adab, tetapi juga menciptakan citra negatif terhadap pesantren dan NU secara keseluruhan.
Kritik dari dua tokoh muda ini menegaskan kembali pentingnya menjaga etika dalam dakwah dan menempatkan batas moral sebagai bagian tak terpisahkan dari dakwah Islam. Sebagaimana pesan Nadirsyah Hosen:
“Anak-anak bukan objek kegemasan; mereka amanah yang harus dilindungi. Setiap bentuk pelecehan, sekecil apa pun, tidak boleh diberi ruang — di rumah, sekolah, ataupun panggung keagamaan,” tulis Nadirsah.*







