Jangan Putus Asa dari Rahmat Allah, Orang Salah Punya Kesempatan Berubah

Setiap orang pernah salah dan selalu ada kesempatan berubah. Segeralah bertobat dan jangan pernah putus asa dari rahmah Allah

InfoMalangRaya.com | KETIKA kita berbicara tentang kesempatan untuk berubah, kita harus ingat bahwa setiap individu memiliki potensi untuk bertobat dan kembali kepada jalan yang benar. Karenanya jangan pernah putus asa dari rahmah Allah.

Tidak ada yang berhak menghakimi orang lain dan menutup pintu tobat bagi mereka. Hal ini penting untuk kita renungkan, terutama dalam konteks pengampunan dan rahmat Allah yang luas.

Dalam kitab “At-Tawwabin” (2003: 59) karya Ibn Qudamah, disebutkan sebuah kisah tentang Isa Al-Masih ‘Alaihis salam dan seorang muridnya yang bertemu dengan seorang pencuri.

Diceritakan bahwa ketika Isa dan muridnya sedang berjalan, mereka melewati sebuah benteng tempat seorang pencuri dari Bani ‘Israel’ bersembunyi.

Saat melihat mereka, Allah meletakkan perasaan tobat dalam hati pencuri tersebut. Pencuri itu berkata pada dirinya sendiri, “Ini adalah Isa putra Maryam, Ruh Allah dan Kalimat-Nya, dan ini adalah murid-Nya. Siapa kamu, wahai pendosa? Kamu hanya seorang pencuri Bani ‘Israel’! Kamu telah merampok, membunuh, dan melakukan banyak kejahatan!”

Kemudian pencuri itu turun dan mengikuti Isa dan muridnya dari belakang dengan penuh penyesalan dan tobat. Ketika murid Isa menyadari bahwa pencuri itu mengikuti mereka, dia berkata dalam hatinya, “Lihatlah orang jahat ini, berani-beraninya dia berjalan di belakang kita!” Allah mengetahui isi hati mereka berdua: penyesalan dan tobat pencuri itu serta kesombongan dan penghinaan dari murid Isa.

Allah lalu mewahyukan kepada Isa ‘Alaihis salam:

مَرَّ الْحَوَارِيُّ وَلِصُّ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ يَأْتَنِفَا الْعَمَلَ جَمِيعًا أَمَّا اللِّصُّ فَقَدْ غَفَرْتُ لَهُ مَا قَدْ مَضَى لِنَدَامَتِهِ وَتَوْبَتِهِ وَأَمَّا الْحَوَارِيُّ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ لِعُجْبِهِ بِنَفْسِهِ وَازْدِرَائِهِ هَذَا التَّوَّابَ.

“Perintahkanlah muridmu dan pencuri itu untuk memulai amal perbuatan baru bersama-sama. Adapun pencuri itu, Aku telah mengampuni dosa-dosanya yang lalu karena penyesalan dan tobatnya. Sedangkan muridmu, amal perbuatannya terhapus karena kesombongan dan penghinaan terhadap orang yang bertobat.”

Kisah ini mengajarkan kita bahwa penyesalan dan tobat sejati dapat menghapus dosa-dosa masa lalu, bahkan jika itu dilakukan oleh seorang penjahat. Di sisi lain, kesombongan dan merasa lebih baik dari orang lain justru dapat merusak amal perbuatan kita.

Ali bin Abi Thalib Ra. pernah berkata:

أَلَا إِنَّ الْفَقِيهَ كُلَّ الْفَقِيهِ، الَّذِي لَا يُقَنِّطُ النَّاسَ مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ، وَلَا يُؤَمِّنُهُمْ مِنْ عَذَابِ اللَّهِ، وَلَا يُرَخِّصُ لَهُمْ فِي مَعَاصِي اللَّهِ، وَلَا يَدَعُ الْقُرْآنَ رَغْبَةً عَنْهُ إِلَى غَيْرِهِ وَلَا خَيْرَ فِي عِبَادَةٍ لَا عِلْمَ فِيهَا، وَلَا خَيْرَ فِي عِلْمٍ لَا فَهْمَ فِيهِ، وَلَا خَيْرَ فِي قِرَاءَةٍ لَا تَدَبُّرَ فِيهَا.”

“Ketahuilah bahwa seorang ahli fiqih sejati adalah yang tidak membuat orang putus asa dari rahmat Allah, tidak membuat mereka merasa aman dari azab Allah, tidak memberikan kelonggaran bagi mereka dalam bermaksiat kepada Allah, dan tidak meninggalkan Al-Quran untuk berpaling kepada yang lain. Tidak ada kebaikan dalam ibadah yang tidak disertai ilmu, tidak ada kebaikan dalam ilmu yang tidak disertai pemahaman, dan tidak ada kebaikan dalam membaca yang tidak disertai perenungan.” (dalam Al-Hilyah 1/83).

Kutipan ini mengajarkan kita bahwa seorang ahli fiqih sejati harus selalu memberikan harapan kepada orang lain agar tidak putus asa dari rahmat Allah, sambil tetap memperingatkan mereka tentang azab Allah.

Ini menunjukkan pentingnya memberi kesempatan kepada setiap orang untuk berubah menjadi lebih baik dan tidak menilai mereka berdasarkan masa lalu mereka saja.

Seorang ahli fiqih juga harus memastikan bahwa dalam setiap ibadah, ilmu dan pemahaman harus disertakan, dan dalam membaca Al-Quran, harus ada perenungan mendalam. Dengan cara ini, kita dapat membantu orang lain menemukan jalan kebenaran dan tidak membuat mereka merasa terputus dari rahmat Allah.

Menghadapi orang yang telah berbuat kesalahan dengan sikap tawadhu’ (rendah hati) dan empati adalah refleksi dari iman yang benar. Tidak ada manusia yang sempurna, dan setiap orang berhak mendapatkan kesempatan untuk berubah dan memperbaiki diri.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mungkin sering menemui orang-orang yang sedang berjuang dengan masa lalunya. Daripada menghakimi, kita seharusnya memberi dukungan dan dorongan agar mereka dapat bangkit dan kembali ke jalan yang benar.

Sikap sombong dan merasa lebih baik dari orang lain hanya akan merusak hati dan menghilangkan pahala kebaikan kita. Sebaliknya, dengan bersikap rendah hati dan penuh kasih sayang, kita tidak hanya membantu sesama untuk bertobat tetapi juga memperkuat iman kita sendiri.

Oleh karena itu, kita tidak boleh mendahului Allah dalam menghukum atau menghakimi orang lain. Allah Maha Mengetahui isi hati dan niat seseorang, dan hanya Dia yang berhak memberi hukuman atau rahmat.

Jika ada orang yang berbuat salah atau jahat, beri mereka kesempatan untuk berubah. Jangan memutus rahmat Allah dari mereka.

Ada lagi satu kisah yang perlu diangkat terkait hal ini. Dalam kitab “Qūt al-Qulūb fī Muʿāmalat al-Maḥbūb wa Waṣf Ṭarīq al-Murīd ilā Maqām al-Tawḥīd” (2005: I/372), karya Abu Talib al-Makki dikisahkan bahwa ada seorang pria dari Bani ‘Israel’ dikenal karena sikapnya yang ketat dan sering membuat orang putus asa dari rahmat Allah. Pada hari kiamat, Allah berkata kepadanya bahwa karena dia sering membuat orang putus asa dari rahmat-Nya, maka dia akan dijauhkan dari rahmat Allah.

Dalam riwayat lain, dikisahkan ada dua pria bersahabat karena Allah; yang satu adalah ahli ibadah, sementara yang lain sering berbuat dosa. Si ahli ibadah sering menegur temannya, tetapi suatu hari dia melihat temannya melakukan dosa besar dan berkata bahwa Allah tidak akan mengampuninya.

Allah kemudian berfirman bahwa si ahli ibadah tidak berhak melarang rahmat-Nya. Akhirnya, Allah mengampuni dosa pria yang sering berbuat dosa, sementara si ahli ibadah dijatuhi hukuman karena kesombongannya. Kisah ini menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang berhak membuat orang lain putus asa dari rahmat Allah dan pentingnya memberi kesempatan kepada setiap orang untuk bertobat.

Mari kita jadikan kisah-kisah ini sebagai pengingat untuk selalu membuka pintu maaf dan memberi kesempatan kepada siapa pun yang ingin berubah. Semoga kita semua diberi kekuatan untuk selalu bersikap tawadhu’ dan saling mendukung dalam kebaikan.*/Mahmud Budi Setiawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *