InfoMalangRaya.com– Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan Jawa Tengah menjadi provinsi dengan angka kasus orang mengakhiri hidup tertinggi di Indonesia sepanjang tahun 2024.
Berdasarkan data kepolisian, tercatat sebanyak 478 kasus terjadi di wilayah tersebut, jumlah yang dua kali lipat lebih tinggi dibanding Jawa Timur.
Direktur Pelayanan Kesehatan Rentan Kemenkes, dr. Imran Pambudi, menyampaikan data tersebut dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (10/9/2025).
Menurutnya, capaian Jawa Tengah ini mengejutkan karena angka kasusnya jauh di atas provinsi lain. Sebagai perbandingan, Jawa Barat justru mencatat kasus terendah, yakni hanya 72 orang dalam periode yang sama.
“Tingginya kasus di Jawa Tengah menjadi perhatian serius. Pemerintah daerah harus melakukan langkah pencegahan lebih intensif, terutama bagi masyarakat yang rentan secara psikologis,” ujar Imran.
Ia menambahkan, Kemenkes sebenarnya telah menerbitkan Pedoman Pencegahan Orang Mengakhiri Hidup sejak 2016–2017. Pedoman tersebut berisi tata cara pencegahan, mekanisme deteksi dini, hingga langkah konseling bagi kelompok masyarakat berisiko.
“Upaya ini perlu terus diperkuat dengan dukungan lintas sektor,” imbuhnya.
Selain itu, Imran mengingatkan pentingnya peran media dalam menyebarkan informasi secara tepat. Regulasi terkait hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Pasal 194 yang menekankan kewajiban media massa dan media sosial untuk memberitakan kasus orang mengakhiri hidup dengan cara yang bertanggung jawab.
“Media harus menjadi saluran edukasi pencegahan. Informasi yang salah atau tidak tepat di media sosial justru bisa memperparah risiko,” tegas Imran.
Kesehatan Mental
Menurutnya, faktor penyebab tingginya angka kasus di Jawa Tengah masih perlu diteliti lebih lanjut, termasuk kemungkinan keterkaitan dengan kondisi sosial, ekonomi, maupun kesehatan mental masyarakat.
Ia menekankan bahwa pendekatan holistik yang mencakup edukasi, konseling, dan intervensi psikologis sangat dibutuhkan. Ia juga mengajak media untuk memberitakan hal positif agat tidak mendorong orang melakukan imitasi.
“Salah satu pilar pencegahan mengakhiri hidup adalah bagaimana kita bisa memberitakan yang positif. Media jangan sampai memberitakan dengan cara yang justru mendorong orang lain untuk mencontoh kasus serupa,” katanya.
Menurut Imran, Dewan Pers sebenarnya telah memiliki pedoman pemberitaan kasus bunuh diri. Hal ini bertujuan melindungi masyarakat dari risiko imitasi.
“Tadi sudah ada aturan dari Dewan Pers bagaimana kasus mengakhiri hidu seharusnya diberitakan. Tujuannya jelas, supaya jangan sampai pemberitaan itu membuat kasus serupa terjadi lagi,” ucapnya.
Imran juga menyoroti perlunya kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, tenaga kesehatan, hingga tokoh masyarakat dalam mengatasi persoalan ini.
“Kita tidak bisa bekerja sendiri. Perlu ada sinergi agar masyarakat merasa mendapat dukungan, sehingga risiko bisa ditekan,” ujarnya.
Kemenkes berkomitmen meningkatkan program pencegahan melalui kampanye edukasi, pelatihan konselor, serta memperluas akses layanan kesehatan jiwa.
Edukasi publik akan difokuskan pada peningkatan pemahaman mengenai kesehatan mental, tanda-tanda depresi, serta cara memberikan pertolongan pertama psikologis kepada individu yang berpotensi berisiko.
Hingga kini, kasus orang mengakhiri hidup masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di Indonesia. Data 2024 menunjukkan disparitas angka yang cukup mencolok antarprovinsi.
Dengan Jawa Tengah sebagai wilayah dengan angka tertinggi, fenomena ini diharapkan menjadi peringatan penting bagi seluruh pihak untuk memperkuat langkah pencegahan.
“Kita harus memastikan setiap individu, terutama mereka yang rentan, memiliki akses pada dukungan psikologis dan informasi yang benar. Dengan begitu, angka ini bisa ditekan secara bertahap,” tutup Imran.*