InfoMalangRaya.com– Menteri Dalam Negeri Alexander Dobrindt mengatakan pemerintah Jerman berharap bisa mencapai kesepakatan deportasi dengan pemerintah Suriah pada akhir tahun ini.
Kesepakatan yang diinginkan Berlin berfokus pada repatriasi orang-orang Suriah yang ditolak permohonan suakanya tetapi masih berada di Jerman.
“Kami ingin mencapai kesepakatan dengan Suriah tahun ini dan mulai dapat mendeportasi para kriminal, disusul kemudian mereka yang tidak memiliki izin tinggal yang sah,” kata Dobrindt seperti dikutip koran lokal Rheinische Post, lansir DW hari Sabtu (27/9/2025).
“Perlu untuk membedakan antara orang yang berintegrsi dan bekerja dengan baik, dan mereka yang tidak memiliki hak suaka yang mengandalkan tunjangan sosial,” lanjutnya, seraya mengatakan perundingan tentang masalah itu akan digelar dalam waktu dekat.
Sejak tahun 2012 Jerman belum melakukan deportasi siapapun ke Suriah.
Dobrindt mengatakan dia diinstruksikan oleh Kantor Federal Keimigrasian dan Pengungsi (BAMF) untuk secara parsial melanjutkan peninjauan ulang atas aplikasi suaka yang ditangguhkan guna memutuskan siapa yang bisa diperbolehkan tinggal dan siapa yang harus dideportasi.
Meskipun jumlahnya masih tergolong kecil, Kementerian Dalam Negeri mengatakan bahwa 1.867 orang sudah secara sukarela dipulangkan ke Suriah pada masa kejatuhan rezim Assad Desember 2024 sampai akhir Agustus 2025.
Sekitar 955.000 warga Suriah saat ini tinggal di Jerman menurut data orang asing Daftar Pusat Orang Asing (AZR) yang dibuat BAMF. Sementara data Departemen Dalam Negeri mencatat bahwa sekitar 83.150 sudah menjadi warga negara Jerman pada 2024.
Dobrindt mengatakan Jerman juga bermaksud membuat kesepakatan deportasi “reguler dan sistematis” dengan Afghanistan.
Sampai saat ini, Berlin hanya dapat melakukan deportasi para kriminal ke Afghanistan dengan bantuan pihak ketiga yaitu Qatar, karena Jerman tidak memiliki hubungan diplomatik resmi dengan pemerintahan Taliban saat ini.
Kelompok-kelompok peduli HAM dan pengungsi mengkritik – sejauh ini yang sudah dilakukan – dua penerbangan deportasi ke Afghanistan, karena mereka menganggap negara itu masih belum aman di bawah kekuasaan Taliban, yang kembali menguasai Kabul sejak pasukan internasional pimpinan Amerika Serikat hengkang pada Agustus 2021.*