Jika Ini Ramadhan Terakhirmu

NASIONAL225 Dilihat

Berpuasalah sepanjang di dunia, dan jadikan berbukamu adalah saat mati. Dunia seluruhnya adalah bulan puasa bagi orang-orang yang bertakwa
InfoMalangRaya.com | KETIKA Allah memberi kesempatan seorang hamba untuk bersua Ramadhan, maka ini adalah kenikmatan yang tiada tara. Dari sekian banyak hamba Allah yang memohon agar disampaikan dan diperjumpakan dengan bulan Ramadhan, hanya pribadi-pribadi tertentu yang diizinkan sampai pada bulan Ramadhan dan bisa mengerahkan segenap jerih payahnya untuk memaksimalkan amal ibadah di dalamnya.
Hanya saja, ini kurang disadari. Persis tidak disadarinya oksigen yang dihirup secara gratis oleh orang sehat.
Demikian juga tidak disadarinya cahaya mentari yang setia menjalan titah Allah untuk terbit setiap harinya memberikan cahaya untuk kemaslahatan semesta. Padahal, apa jadinya jika hidup tanpa oksigen dan cahaya mentari yang telah ditetapkan Allah sebagai hal vital dalam kehidupan manusia?
Penulis akan mengajak pada peristiwa menarik pada zaman Nabi Muhammad tentang dua orang teman dari suku Bali yang bisa bersua dengan Ramadhan dan yang tidak bisa berjumpa karena meninggal dunia. Ibnu Majah dalam Sunan-nya meriwayatkan dari Thalhah bin ‘Ubaidullah bahwa dulu ada dua orang laki-laki dari Suku Baliy datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan masuk Islam.
Dalam perjalanan keislamannya, secara lahiriah, salah seorang dari keduanya lebih semangat berjihad dari yang lainnya, kemudian dia pergi berperang sehingga ia menemui syahid. Sedangkan yang satunya lagi masih hidup hingga setahun setelahnya.
Maksudnya, dua orang kawan yang berasal dari suku yang sama ini, ada yang giat beribadah dan ada yang biasa-biasa saja. Ketika ada panggilan jihad, yang terkenal rajin ibadah ini ikut serta dan menemui syahidnya di medan perjuangan.
Sedangkan yang satunya, masih hidup dan bisa menjumpai Ramadhan pada tahun itu.
Suatu hari Thalhah bermimpi seakan-akan sedang berada di depan pintu surga. Dalam kondisi demikian, tiba-tiba Thalhah sudah berada di sisi kedua laki-laki itu, dan setelah itu Malaikat keluar dari surga.
Anehnya, malaikat itu mengizinkan laki-laki yang meninggal dunia belakangan yang kalau dibandingkan dengan yang pertama jelas terlihat kalah rajin dan giat. Setelah lelaki yang belakangan masuk, malaikat keluar dan mengizinkan laki-laki yang mati terlebih dahulu itu masuk.
Ini tentu menimbulkan keheranan bagi Thalhah. Dalam mimpi itu,  malaikat itu berkata kepadanya: “Kembalilah kamu, sebab belum saatnya kamu memperoleh hal ini.” Mimpi ini tentu saja membuat Thalhah penasaran. Oleh karena itu, keesokan harinya Thalhah menceritakannya kepada orang-orang, mereka pun heran. Mereka lalu memberitahukannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian tersebut.
Sikap Rasulullah ﷺ tidak menunjukkan mimik wajah keheranan. Malah beliau bertanya: “Perkara yang mana yang membuat kalian heran?” Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, laki-laki (yang pertama meninggal) adalah orang yang paling bersemangat dalam berjihad dari yang lain, lalu dia mati syahid. Tapi mengapa orang yang lain (laki-laki yang meninggal belakangan) justru masuk surga terlebih dahulu darinya?” Demikianlah pandangan kebanyakan orang. Dikira, yang terlihat lebih rajin dan giat dalam pandangan manusia, pasti berbanding lurus dengan pandangan Allah. Ternyata, tidak demikian.
Rasulullah ﷺ kemudian menjawab: “Bukankah orang ini hidup setahun setelahnya?” mereka menjawab, “Ya.” Beliau bersabda: “Bukankah ia mendapatkan bulan Ramadhan dan berpuasa? Ia juga telah mengerjakan shalat ini dan itu dengan beberapa sujud dalam setahun?” mereka menjawab, “Ya.” Rasulullah ﷺ kembali bersabda: “Sungguh, sangat jauh perbedaan antara keduanya (dalam kebajikan) bagaikan antara langit dan bumi.”
Luar biasa! Memang benar kalau hanya dilihat dari sisi sebelum orang yang rajin beribadah itu meninggal terlebih dahulu. Yang luput menjadi perhatian kebanyaka orang adalah rupanya pada tahun itu, orang yang dikatakan tidak lebih rajin dari yang pertama ini, masih diberi kesempatan oleh Allah untuk beribadah.
Di samping itu, dia masih mendapat kesempatan untuk berjumpa dengan  bulan Ramadhan sebelum meninggal dunia.
Ketika orang-orang hanya melihat masa lalunya, maka Nabi Muhamamd membuka sisi lain orang ini yang jarang diperhatikan bahwa waktu yang diberikan Allah hingga berjumpa Ramadhan tidak disia-siakannya.
Dan Ramadhan terakhirnya itu diisi dengan sebaik-baiknya, sehingga tidaklah mengherankan jika dia terlebih dahulu bisa masuk surga dibanding yang pertama. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan apa yang dikatakan oleh Nabi ﷺ:
فَمَا بَيْنَهُمَا أَبْعَدُ مِمَّا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
“Sungguh, sangat jauh perbedaan antara keduanya (dalam kebajikan) bagaikan antara langit dan bumi.”
Maka dari itu, bagi yang masih diberi kesempatan hidup hingga Ramadhan tiba, maka sangat dianjurkan untuk memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Dan sebagaimana kisah  orang kedua dari Suku Bali itu, jadikan seolah-olah ini adalah Ramadhan terakhirmu, sehingga yang akan dipersembahkan kepada Allah adalah amal ibadah kualitas terbaik sepanjang hayat.
Demikianlah orang beruntung yang mendapat kesempatan bersua Ramadhan. Baginya selagi masih hidup, maka nilai-nilai Ramadhan akan senantiasa dijaga.
Dan kalau berjumpa Ramadhan, maka kesungguhannya kian meningkat seakan-akan itu adalah Ramadhan terakhirnya. Ia menghayati betul perkataan orang saleh terdahulu:
صم الدنيا واجعل فطرك الموت الدنيا كلها شهر صيام المتقين يصومون فيه عن الشهوات المحرمات فإذا جاءهم الموت فقد انقضى شهر صيامهم واستهلوا عيد فطرهم.
“Berpuasalah sepanjang di dunia, dan jadikan berbukamu adalah saat mati. Dunia seluruhnya adalah bulan puasa bagi orang-orang yang bertakwa. Mereka berpuasa dari syahwat, yang diharamkan. Maka ketika kematian telah datang, maka habislah bulan puasa mereka, dan mereka mulai (menyambut) Idul Fitri mereka (di akhirat).” (Ibnu Rajab, Lathā`ifu al-Ma’ārif, 2004: 147)
Secara filosofis, ungkapan ini bisa dimaknai bahwa selama di dunia, maka harus pandai menahan diri dan tidak memperturutkan hawa nafsu, sebab kemenangan sejati adalah ketika dua kaki sudah berpijak di surga. Dan momentum bulan puasa, sebagai waktu strategis untuk melejitkan amal dan menghayati filosofi ini.*/Mahmud Budi Setiawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *