Investasi Jangka Panjang dan Nilai yang Berkelanjutan
Investasi tidak hanya sekadar upaya untuk menambah kekayaan, tetapi juga menjadi sarana untuk memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat. Setyono Djuandi Darmono, Direktur Utama PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA), menjelaskan bahwa tujuan utamanya dalam berinvestasi adalah menciptakan nilai yang bisa dirasakan oleh banyak orang.
Sejak awal karier, Darmono percaya bahwa investasi harus dilakukan dengan pendekatan yang bertahan lama. Ia mengawali perjalanan kariernya di bidang tekstil setelah lulus dari Akademi Tekstil Berdikari pada tahun 1970. Di sana, ia bekerja di Imperial Chemical Industries (ICI) selama sekitar 11 tahun. Pengalaman itu membuka wawasan bagaimana sebuah perusahaan bisa berkembang dari usaha kecil hingga menjadi raksasa dunia.
“Cara mereka membangun industri di desa-desa hingga memakmurkan masyarakat sangat memengaruhi cara pandang saya,” kata Darmono. Menurutnya, investasi bukan hanya tentang untung, tetapi juga kesempatan untuk mengubah hidup orang lain.
Belajar dari Lee Kuan Yew
Pada tahun 1982, Darmono memutuskan untuk beralih ke bisnis properti. Pada 1989, ia mendirikan Kawasan Industri Jababeka bersama 21 pemegang saham. Konsep pembangunan ini terinspirasi dari keberhasilan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew, yang berhasil membangun kota modern yang menyatukan berbagai aspek kehidupan.
“Jababeka dibangun sebagai kota modern yang menggabungkan industri, perumahan, pendidikan, dan kesehatan,” ujarnya. Darmono memilih tanah dan properti sebagai aset pertamanya karena sifatnya yang langka dan selalu dibutuhkan.
Diversifikasi Portofolio Investasi
Dengan pengalaman yang dimiliki, Darmono mulai melakukan diversifikasi portofolio investasinya. Meskipun tetap fokus pada sektor riil, ia juga masuk ke bidang infrastruktur, hospitality, pendidikan, dan pariwisata. Tujuannya adalah agar pembangunan tidak hanya berhenti di properti, tetapi juga menyentuh sektor-sektor lain yang saling melengkapi.
“Industri, infrastruktur, dan hospitality saya lihat sebagai tiga pilar yang saling menopang,” ujarnya. Saat ini, portofolio investasinya terbagi menjadi 40% di properti, 40% di infrastruktur, dan 20% di hospitality serta pendidikan.
Menghadapi Krisis Moneter
Perjalanan investasi Darmono tidak selalu mulus. Salah satu tantangan terbesar yang ia alami adalah krisis moneter pada 1997-1998. Kondisi tersebut memaksa ia untuk mengurangi laju realisasi investasi. Namun, hal ini justru membuatnya lebih sadar bahwa investasi adalah lari maraton, bukan sprint.
“Saya belajar untuk lebih hati-hati dan disiplin,” katanya. Meski begitu, ia tetap yakin bahwa sektor riil memberikan dampak nyata bagi ekonomi dan masyarakat.
Visi Masa Depan
Di masa depan, Darmono akan terus berinvestasi di sektor riil, dengan fokus pada bioteknologi, ekonomi digital, serta seni dan desain sebagai pilar baru pengembangan Jababeka. Ia percaya bahwa Indonesia perlu berani melompat ke masa depan, bukan hanya mengejar ketertinggalan.
Cinta Sejarah dan Menulis Buku
Selain bisnis, Darmono juga memiliki minat pada sejarah, menulis, dan diskusi. Ia pernah memimpin program wisata dan pelestarian situs warisan budaya seperti Candi Borobudur dan Candi Prambanan. Di bawah kepemimpinannya, digelar Sendratari Ramayana Prambanan yang masuk dalam Guinness Book of World Records.
Darmono juga aktif dalam pendidikan, dengan membangun President University dan Tidar Heritage Foundation. Ia percaya bahwa pendidikan adalah investasi terbesar dalam pembangunan.
Semua pengalaman dan refleksinya dituangkan dalam trilogi buku. Ketiga buku tersebut berjudul “Think Big, Start Small, Move Fast”, “Building A Ship While Sailing”, dan “Bringing Civilization Together”. Ia menulisnya sebagai warisan gagasan dan harapan untuk masa depan bangsa.