IMR
,
Jakarta
–
Kabut
menyelimuti wilayah Kota
Bekasi
dan sekitarnya pada Minggu, 29 Juni 2025, hingga Senin diniharinya. Fenomena serupa juga teramati di sejumlah kawasan lain di Jabodetabek di mana pemandangan kabut yang tak biasa turun menyelimuti beberapa kawasan.
Kabut dilaporkan berlangsung cukup lama, menyebabkan jarak pandang terbatas dan udara terasa lebih dingin daripada biasanya. Kejadian ini menjadi perbincangan atau viral, terutama di media sosial, yang mengaitkannya dengan polusi atau isu lingkungan lainnya.
Peneliti di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (
BRIN
) Erma Yulihastin menjelaskan ada anomali pendinginan suhu udara harian yang terekam di Kota Jakarta, Tangerang, dan Bekasi pada hari penampakan kabut tersebut. Sepanjang hari itu, dia mengungkap data yang menunjukkan suhu udara di wilayah-wilayah tersebut mirip dengan di Kota Bandung, yaitu antara 20-26 derajat Celsius.
“Suhu yang dingin tetap terjadi meskipun pada waktu siang hari,” kata Erma ketika dihubungi, Jumat, 4 Juli 2025. Dia membandingkan suhu udara harian Jabodetabek yang biasanya 30-34 derajat, lalu mendingin 4-5 derajat. “Tentu (20-26 derajat) ini terasa sekali,” katanya menambahkan
Data itu, kata Erma, belum berdasarkan data
temperature feels like
atau temperatur yang dirasakan oleh tubuh di mana suhu bisa lebih dingin lagi, yakni 2-3 derajat lebih rendah daripada nilai aktual.
Erma menjelaskan, fenomena pendinginan ini disebabkan oleh aktivitas klaster awan konvektif skala meso atau Mesoscale Convective Complex (MCC) yang terbentuk di atas Laut Jawa dan meluas hingga wilayah Jabodetabek. Aktivitas ini memicu aliran udara dingin dari awan yang dikenal sebagai
cold pool
atau kolam dingin di permukaan.
Kolam dingin terbentuk karena adanya perbedaan temperatur potensial antara udara di bawah awan dan udara di sekitarnya. “Hal ini yang memungkinkan kolam dingin tidak statis, namun dapat terus bergerak dan meluas,” tuturnya.
Menurut Profesor Klimatologi ini, aktivitas kolam dingin tersebut berkontribusi menciptakan suhu dingin di kota-kota pesisir utara Jawa yang umumnya panas, terlebih di musim kemarau. Pendinginan suhu udara diperparah dengan interaksi monsun Australia yang membawa udara dingin dari Benua Australia ke wilayah selatan Indonesia.
Erma mengatakan, kondisi ini berpotensi berulang karena tahun ini wilayah Jabodetabek kehilangan musim kemarau. Selain itu, dinamika interaksi atmosfer-laut yang saat ini menguat di atas Laut Jawa turut memperbesar potensi hujan yang menjalar ke daratan pada sore hingga malam. “Hujan yang terbentuk pun sangat sporadis dan tiba-tiba bisa menjadi ekstrem,” katanya.
Ia menambahkan, dinamika cuaca pada Juli hingga September 2025 akan lebih banyak dipengaruhi proses-proses skala meso yang melibatkan interaksi atmosfer-laut di atas Samudra Hindia tropis tenggara dan Laut Jawa. “Udara dingin dan lembap juga dapat berulang jika pemicunya, yaitu aktivitas MCC, terbentuk.”
Sebelumnya, Ketua Tim Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca di Badan Meteorologi Klimatologi dan Geosifika (
BMKG
), Ida Pramuwardani, telah memastikan kemunculan kabut di wilayah Bekasi bukan karena polusi udara. Ida menyebut faktor suhu udara permukaan yang rendah, berkisar 23–25 derajat Celsius, disertai kelembapan udara yang tinggi. “Kabut alami seperti ini akan menghilang saat matahari mulai menghangatkan udara.”
Baiti Wulandari
berkontribusi dalam tulisan ini