Kehilangan Semangat Ekonomi di Sekitar Kampus STIBA dan Unidha
Di Jalan Simpang Wisnuwardhana, Kota Malang, terdapat sebuah rumah besar berlantai dua yang tampak kosong. Tidak ada aktivitas yang terlihat dari depan rumah tersebut. Rumah kos-kosan yang berada dekat pos satpam itu terkunci rapat pagarnya. Satpam yang bertugas di lokasi mengatakan bahwa rumah kos tersebut sudah lama kosong. Pemiliknya tidak tinggal di lokasi.
Tidak jauh dari tempat tersebut, juga ada rumah berlantai dua yang menjadi indekos. Sama seperti sebelumnya, tidak ada penghuni di rumah indekos tersebut. Meskipun besar dan menyediakan puluhan ruang kamar, tidak terlihat seorang mahasiswa pun di dalamnya. Padahal, keberadaan kampus kerap menjadi pemantik pertumbuhan ekonomi kawasan sekitarnya.
Namun, kisah berbeda datang dari warga di sekitar kampus Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STIBA) dan Universitas Wisnuwardhana (Unidha) di Kota Malang. Sejak aktivitas akademik di STIBA meredup dan jumlah mahasiswa menurun drastis, denyut ekonomi warga pun ikut melambat.
Ashar Sofianto, warga yang telah menetap di kawasan Sawojajar sejak 1989, menjadi saksi geliat dan kemunduran aktivitas ekonomi akibat menurunnya jumlah mahasiswa di sekitar kediamannya. Ia mengungkapkan, kehadiran STIBA saat itu sempat menjanjikan. Banyak rumah warga dialihfungsikan menjadi kos-kosan dan warung makan. Mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, termasuk dari Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur, turut menggerakkan ekonomi lokal.
Namun, masa keemasan itu tak bertahan lama. Seiring waktu, jumlah mahasiswa menyusut, hingga saat ini kampus STIBA hanya menyisakan aktivitas terbatas di lantai dua sebuah gedung. Nama kampus pun nyaris tak terlihat karena plang identitas kampus tidak lagi terpampang.
“Sayang sekali. Sekarang hanya dua mahasiswa saja. Kos-kosan jadi sepi, warung-warung pun tutup. Dulu kawasan ini belum seramai sekarang, tapi setidaknya hidup karena kampus,” imbuh Ashar.
Menurutnya, masyarakat sebenarnya menyayangkan kondisi STIBA saat ini. Selain karena berpotensi meningkatkan ekonomi, keahlian bahasa asing yang ditawarkan kampus tersebut sangat dibutuhkan di dunia kerja modern. “Saya dulu kerja di HRD, saya tahu betul. Bahasa asing itu jadi nilai plus. Sayangnya sekarang orang lebih pilih kursus online. Tapi kampus seperti STIBA semestinya bisa berperan besar lagi,” tutur dia.
Sementara itu, Universitas Wisnuwardhana (Unidha) sempat menjadi destinasi mahasiswa ekstensi. Namun, menurut Ashar, segmentasi mahasiswa yang lebih sempit membuat dampak ekonomi kampus itu ke warga sekitar tidak sebesar yang diharapkan. Mahasiswa eksistensi tidak memilih tempat indekos. “Mereka tidak tinggal di indekos. Mahasiswanya banyak yang kuliah malam, jadi interaksi dengan warga minim. Tidak seperti kampus besar lainnya,” kata dia.
Dari sisi sosial, Ashar mengakui pernah ada ketegangan yang terjadi antar mahasiswa, termasuk tawuran yang menyebabkan keresahan warga. Hal itu juga ikut memengaruhi persepsi masyarakat terhadap keberadaan mahasiswa. Meski begitu, warga tetap berharap kampus-kampus tersebut bisa bangkit kembali dan memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sekitar.
Apalagi, menurut Ashar, tren kebutuhan keahlian bahasa asing masih sangat tinggi. “Kalau STIBA bisa hidup lagi dengan konsep pendidikan yang relevan, masyarakat pasti mendukung. Asalkan ada promosi dan arah yang jelas. Potensi ekonomi kawasan ini masih besar,” pungkasnya.
Ashar memang tidak secara langsung membuka usaha di rumahnya, namun ia bisa menceritakan bahwa dulu ada tempat usaha yang buka. Mulai dari usaha cuci baju, fotokopi, dan jasa lainnya. Belakangan usaha-usaha tersebut sudah redup. Termasuk usaha kuliner yang dibuka sendiri oleh masyarakat sekitar. Ketika banyak usaha yang bergerak, perekonomian warga ikut bergerak.
“Semoga kampus yang ada seperti STIBA bisa bangkit kembali. Dulu tahun 90-an banyak mahasiswanya, apalagi STIBA kan kampus favorit karena orang belajar bahasa asing. Teman saya juga kuliah di sana dulu,” paparnya.