Gugatan Praperadilan Awan Setiawan terhadap Kejaksaan Tinggi Jawa Timur
Eks Direktur Politeknik Negeri Malang (Polinema) yang menjabat pada periode 2017–2021, Awan Setiawan, mengajukan gugatan praperadilan terhadap pihak kejaksaan. Langkah hukum ini dilakukan sebagai respons atas penetapan status tersangka dan penahanan dalam kasus dugaan korupsi pengadaan tanah untuk perluasan kampus tahun anggaran 2020.
Gugatan dengan nomor register perkara 20/Pid.Pra/2025/PN.Sby ini didaftarkan di Pengadilan Negeri Surabaya pada 25 Juni 2025. Sidang perdana praperadilan telah digelar pada 8 Juli 2025, namun pihak Kejati Jatim sebagai termohon tidak hadir. Akibatnya, sidang ditunda hingga 15 Juli 2025.
Kuasa hukum tersangka, Sumardhan, menyatakan bahwa penetapan status tersangka terhadap Awan Setiawan dinilai tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Menurutnya, tindakan tersebut merupakan bentuk ketidakadilan dan mengesampingkan mekanisme hukum yang berlaku.
Selain itu, ia memprotes Kejati Jatim yang menjadwalkan pemeriksaan terhadap Awan Setiawan sebagai tersangka pada hari ini, Jumat (11/7/2025), sebelum adanya putusan praperadilan. Surat panggilan diterima pada Kamis (10/7/2025). Sumardhan menilai panggilan pemeriksaan ini melanggar Pasal 227 KUHAP yang mensyaratkan surat diterima paling lambat tiga hari sebelum pemeriksaan.
“Kami menyayangkan Kejaksaan Tinggi sebagai penegak hukum justru tidak menghargai proses hukum yang berjalan. Kami meminta pemeriksaan ditunda hingga ada putusan praperadilan sebagai bentuk penghormatan terhadap hak asasi tersangka,” katanya.
Sumardhan juga menegaskan bahwa Awan Setiawan telah mendelegasikan seluruh wewenang teknis kepada panitia resmi, sehingga tidak terlibat langsung dalam proses yang dipermasalahkan. Panitia yang dimaksud yakni Tim Pengadaan Tanah (dikenal sebagai Tim 9).
“Klien kami seharusnya tidak ditetapkan sebagai tersangka, apalagi ditahan. Telah terjadi pelimpahan kewenangan kepada panitia pengadaan tanah yang sah. Ketika mandat sudah dilimpahkan, maka tanggung jawab teknis berada di tangan panitia,” katanya.
Ia membantah pernyataan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur yang menyebut proses pengadaan tanah untuk perluasan kampus itu dilakukan tanpa panitia. Sumardhan menjelaskan bahwa kliennya telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) Direktur Nomor 689 Tahun 2019 yang diperbarui dengan SK Nomor 2888 Tahun 2020 untuk membentuk panitia pengadaan tanah.
“Isu bahwa pengadaan tanah dilakukan tanpa panitia adalah tidak benar. Kami memiliki bukti SK pembentukannya. Tuduhan bahwa harga ditetapkan sepihak antara klien kami dan penjual (berinisial BS) juga kami bantah. Penetapan harga dilakukan melalui rapat pleno panitia yang dihadiri notaris,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia memaparkan bahwa harga tanah yang disepakati justru menguntungkan negara. Dikatakannya, data Kantor Pertanahan Kota Malang untuk nilai wajar tanah di lokasi tersebut adalah Rp 6.500.000 per meter persegi. Setelah melalui negosiasi oleh panitia, harga yang disepakati dengan penjual adalah Rp 6 juta per meter persegi.
“Negara untung Rp 500.000 per meter. Jadi, di mana letak kerugian negaranya? Terlebih, pembayaran belum lunas. Dari total nilai kontrak Rp 42,6 miliar, baru terbayar Rp 22,6 miliar. Bagaimana bisa auditor menghitung kerugian negara jika transaksi belum selesai?” ungkapnya.
Ia juga menegaskan bahwa pembayaran yang sudah berjalan dilakukan atas perintah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), bukan atas perintah langsung tersangka. Menurutnya, peran direktur sebagai Pengguna Anggaran (PA) adalah melakukan pengawasan. Hal ini diperkuat dengan adanya Surat Teguran Nomor 178/DIR/PL/2022 dan 179/DIR/PL/2022, yang keduanya tertanggal 7 September 2022, yang ditujukan kepada PPK.
“Fungsi pengawasan telah dijalankan sesuai prosedur. Maka secara administratif dan hukum, tidak seharusnya klien kami dijerat pidana korupsi,” katanya.