Kasus Penganiayaan Santri di Malang, Seorang Guru dan Pemilik Ponpes Jadi Tersangka
Seorang guru sekaligus pemilik pondok pesantren di Desa Kendalpayak, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang berinisial B ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan penganiayaan terhadap santri. Peristiwa ini menimpa santri berinisial AZX (9) yang mengalami hukuman cambuk karena keluar dari kawasan pondok tanpa izin.
Kasus ini viral setelah korban mendapatkan hukuman cambuk akibat keluar dari pondok pesantren. Menurut informasi yang diperoleh, pihak kepolisian telah menetapkan tersangka atas kasus tersebut. Penyidik sudah melakukan proses penyelidikan dan menetapkan status tersangka bagi pelaku.
Menurut Kasi Humas Polres Malang AKP Bambang Subinanjar, pihaknya sedang melakukan pemeriksaan terhadap tersangka untuk mendalami peristiwa tersebut. “Besok akan dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka. Setelah itu, kami akan melakukan gelar perkara dan kemudian merilis hasilnya,” jelasnya.
Tersangka B dikenakan Pasal 80 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal ini berkaitan dengan perlindungan anak dari tindakan kekerasan atau penganiayaan.
Sebelumnya, korban AZX (9) asal Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang mengalami nasib malang karena lapar. Ia mendapatkan hukuman cambuk karena keluar dari kawasan pondok pesantren tanpa izin. Menurut laporan, AZX mencoba mencari makanan karena merasa lapar meskipun ia mengatakan sudah diberi makan di ponpes.
Peristiwa ini terjadi pada saat Iduladha beberapa waktu lalu. Korban keluar dari kawasan pondok pesantren pada malam hari tanpa pamit. Ia ingin mencari makanan karena masih merasa lapar meski sudah diberi makan.
“Korban menyebut sudah dikasih makan di pondok, tetapi masih lapar sehingga dia keluar diam-diam,” jelas Kanit PPA Sat Reskrim Polres Malang Aiptu Erlehana.
Setelah korban hilang, para guru mencari dan menemukan AZX di persawahan tidak jauh dari kawasan pondok. Saat ditemukan, korban diminta kembali ke ponpes dan kemudian dicambuki kedua kakinya.
Erlehana menjelaskan bahwa pihaknya telah meminta keterangan dari guru yang terlibat. Menurut keterangan tersebut, tindakan yang dilakukan merupakan konsekuensi dari aturan ponpes yang sudah tertulis. Setiap santri yang melanggar akan mendapat konsekuensi sesuai aturan yang berlaku.
“Guru tersebut mengatakan bahwa tindakan itu merupakan konsekuensi turunan dari peraturan ponpes, yang memang sudah tertulis bagi setiap santri yang melakukan pelanggaran tertentu, dan katanya korban juga sudah tahu konsekuensi itu,” tambahnya.
Dalam kasus ini, pihak kepolisian berkomitmen untuk menindaklanjuti proses hukum secara transparan dan adil. Selain itu, mereka juga akan memastikan bahwa hak-hak korban terlindungi serta upaya pencegahan kekerasan terhadap anak dapat diterapkan secara lebih efektif.