Keadilan Sebuah Pemikiran

NASIONAL326 Dilihat

Banyak yang tidak sadar bahwa Barat melihat Islam sebagai world view. Sementara world view Islam bertentangan dengan world view Barat liberal
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi  
InfoMalangRaya.com | MASIH banyak di antara kita yang tidak dapat memahami Barat secara adil. Padahal seringkali superfisial atau simbolistis.
Barat masih dianggap identik dengan kemajuan teknologi, bahasa Inggris, metodologi, dan sebagainya. Maka tidak aneh jika dengan cara berpikir ini akan menuduh sesesorang yang berbahasa Inggris, atau menggunakan teknologi Barat, sebagai terbaratkan.
Prof Naquib Al Attas sendiri banyak menulis dalam bahasa Inggris dan tidak serta merta epistemologinya terbaratkan.
Barat sejatinya adalah peradaban. Dan matrik setiap peradaban adalah world view, cara pandang terhadap segala sesuatu (Peter Berger), agama atau kepercayaan (S Huntington).
Dalam world view ini terdapat konsep-konsep penting yang membentuk sebuah framework berpikir. Setiap peradaban memiliki world view sendiri-sendiri. Fukuyama mengakui world view Islam bertentangan dengan world view Barat liberal.
Banyak yang tidak sadar bahwa Barat melihat Islam sebagai world view. Karena itu ia melakukan simplifikasi terhadap makna Islam dan Welstanschaung (world view).
Bagi saya agar kita bersikap adil terhadap Barat, kita perlu melihat Islam-Barat sebagai world view. Justru dengan menggunakan matrik world view, pemahaman kita terhadap identitas Islam dan Barat menjadi lebih kompleks dan komprehensif.
Di situ kita letakkan konsep-konsep dalam world view Barat dan world view Islam berhadapan-hadapan. Kemudian kita kaji dan analisis konsep-konsep itu secara ilmiah.
Analisis yang cerdas akan menjawab pertanyaan apakah konsep-konsep Barat itu dominan dalam pemikiran Muslim atau konsep-konsep Islam yang dominan dalam pemikiran Barat. Jika yang yang terjadi adalah yang pertama maka asumsi saya adalah benar adanya kita terhegemoni.
Adil pada pembaruan Islam
Kritik saya terhadap gagasan pembaruan Islam tidak terbatas pada soal terminologi. Terminologi seperti sekularisasi, rasionalisasi, dan liberalisasi yang saya sebutkan hanya contoh kasus yang kebetulan popular.
Yang utama adalah kerancuan konseptual di balik itu. Itu hanya menunjukkan rapuhnya bangunan epistemologi kita. Konsep rasionalisasi ala Barat seakan-akan mengungguli konsep tafakkur, tadabbur, tazakkur, ta’allum, tafaqquh, dan sebagainya dalam Islam yang sangat kompleks itu.
Kritik saya merujuk pada tradisi intelektual Islam. Proses negasi (radd, naqd, atau nafyu) dan affirmasi (ithbat) adalah esensi syahadat dalam Islam.
Para ulama kita biasa mengritik, mengomentari, memberi solusi, menyeleksi, atau mengadapsi ide-ide Yunani, India, Persia, Kristen yang ada di lingkungan pemikiran Islam. Ini semua tentu melalui proses epistemologi.
Proses ini yang tidak saya temui dalam gerakan pembaruan Islam. Mungkin karena penguasaan terhadap khazanah ilmu pengetahuan Islam merosot, terhegemoni pengetahuan Barat atau pengetahuan Islam dari Barat (orientalis).
Akhirnya Muslim gagal mengapresiasi konsep-konsep penting Islam dan sukses mengafirmasi konsep-konsep Barat. Maka wajah pembaruan Islam pun tidak lebih dari justifikasi konsep-konsep Barat dengan mengais dalil-dalil Al-Quran dan hadis.
Ekstremnya, pembaruan Islam itu tidak juga akomodatif, tapi lebih cenderung konsumtif. Terlalu banyak mengonsumsi ide-ide luar, terlalu sedikit menggali ide-ide dari dalam khazanah pemikiran Islam.
Memang benar Islam tidak steril dari anasir asing. Tapi perlu dicatat bahwa Islam bangun dengan tradisi intelektualnya sendiri, sebelum ‘meminjam’ konsep-konsep asing.
“Tidak ada peradaban yang bebas dari proses pinjam meminjam dari peradaban asing”, kata Prof Alparslan Acikgence pakar pemikiran Islam asal Turki.
Tapi ingat, lanjutnya, peradaban yang dihegemoni oleh konsep-konsep asing lama kelamaan akan mati.
Jadi masalahnya bukan akomodatif atau tidak terhadap konsep asing. Tapi bagaimana proses epistemologi ketika kita mengadapsi dan mengakomodasi konsep-konsep asing tersebut.
Agar adil di sini kita perlu tahu konsep-konsep Islam dan asing sekaligus. Apakah adil jika kita mendaku sebagai Muslim tapi pikiran kita sekuler, liberal, atau Marxist. Adilkah kita jika mewajibkan jilbab pada civil society Barat. Apakah kita adil jika mengganti tata hukum Barat dengan hukum Islam.
Solusi masalah
Untuk ‘merangkai kembali pesan utama Islam’ Sahidah mengusulkan agar kita menggunakan pembacaan Barat. Maksudnya supaya adil.
Tapi ini justru tidak adil dan rancu secara konseptual. Sebab dengan pembacaan Barat misalnya tidak ada ruang publik untuk Islam, Islam yes partai Islam no, dengan pembacaan Gadamer semua mufassir menjadi bias kepentingan sosial dan ambisi kekuasaan, dan seterusnya.
Memahami Islam sebagai world view berarti menggunakan pembacaan Islam yang merujuk konsep-konsep seminal dalam Al-Quran, dan struktur konsep-konsep keilmuan dalam tradisi intelektual Islam.
Untuk itu Muslim harus mampu membentuk konsep-konsep itu dalam bentuk jaringan atau struktur konsep dalam sebuah supersistem. Supersistem itu dapat disebut ru’yatul Islam li al wujud atau al tasawwur al Islami.
Apabila Islam dipahami sebagai ru’yatul Islam li al-wujud maka secara epistemologis kita memiliki kaca mata untuk melihat dan alat untuk mengadapsi konsep-konsep asing. Bahkan kemudian dapat merekonstruksi konsep-konsep asing manapun dengan pembacaan Islam.
Prof Attas menyebut proses ini dengan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Suasananya tidak lagi hegemonik, tapi dialogis.
Satu peradaban bisa menolak dan meminjam konsep dari peradaban lain tanpa paksaan dan campur tangan politik. Itulah keadilan suatu pemikiran.*
Peneliti dan pendiri Center of Islamic and Occidental Studies (CIOS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *