Kebijakan pemerintah yang bakal mewajibkan campuran 10% etanol (E10) ke dalam bahan bakar minyak (BBM) dinilai dapat memicu deforestasi baru, terutama di wilayah Papua Selatan. Organisasi non-pemerintah Pantau Gambut menyoroti pemanfaatan etanol yang berasal dari nabati, seperti singkong, tebu, jagung, dan sorgum.
Seperti diketahui, pemerintah tengah menyiapkan lahan di Kabupaten Merauke, Papua Selatan untuk mendukung peningkatan produksi tanaman penghasil bahan baku etanol. Menurut Pantau Gambut, proyek swasembada gula dan bioetanol di kawasan tersebut berpotensi mempercepat kerusakan hutan dan ekosistem gambut, yang selama ini menjadi penyimpan karbon alami.
Wahyu Perdana, Manager Kampanye dan Advokasi Pantau Gambut, mengungkapkan sebelum kebijakan E10, telah ada pembukaan lahan tebu untuk Program Strategis Nasional (PSN) food estate di Papua Selatan yang berada di atas ekosistem gambut.
“Sebagai gambaran, perluasan konsesi di Papua Selatan, khususnya di akhir periode Presiden RI Ketujuh Joko Widodo hingga saat ini, itu meningkatkan kerentanan kebakaran hutan dan lahan di Papua Selatan. Setidaknya risiko kebakaran hutan dan lahan itu mencapai 500 ribuan hektare, risiko rentangnya mencapai 1,07 juta hektare,” kata Wahyu kepada Infomalangraya.com, Senin (13/10).
Pantau Gambut menilai, kebijakan energi ini hanya melihat aspek hilir yakni kebutuhan bahan bakar tanpa memperhitungkan dampak di sektor hulu. Pembukaan lahan baru untuk tebu dan singkong di kawasan yang rentan dinilainya justru berpotensi memperluas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta memperparah emisi karbon.
Di sisi lain, proyek-proyek energi berbasis bioetanol juga disebut mengancam hak-hak masyarakat adat di Papua Selatan. Masyarakat yang hidup turun-temurun di wilayah hutan kini menghadapi tekanan akibat ekspansi lahan berskala besar.
“Jangan dilihat kawasan hutan itu sebagai tanah kosong. Di sana ada masyarakat, ada kehidupan, dan ada kearifan lokal yang menjaga lingkungan,” kata Wahyu.
Ia menambahkan, jika pendekatan pembangunan tetap mengesampingkan hak masyarakat adat dan perlindungan lingkungan, maka risiko bencana ekologis di Papua Selatan akan meningkat, sementara manfaat ekonomi justru lebih banyak dinikmati korporasi besar.
“Alih-alih yang betul-betul memenuhi kebutuhan hak, yang ada kan memberikan keuntungan berlapis hanya untuk pemain industrinya,” ujarnya.
Mandatori Pencampuran Etanol untuk Kurangi Impor BBM
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan pemerintah akan menerapkan mandatori pencampuran etanol 10% ke dalam BBM bensin. Saat ini, pemerintah tengah menyusun peta jalan atas kebijakan tersebut.
Bahlil mengatakan kebijakan mandatori pencampuran etanol ke dalam BBM bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM. Selain itu, penggunaan etanol akan membuka lapangan kerja baru.
“Tujuannya apa? Kita mengurangi impor. Etanol ini didapatkan dari singkong atau dari tebu. Dan ini mampu menciptakan lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi daerah, dan sekaligus pemerintahan,” kata Bahlil, beberapa waktu lalu.
Bahlil menyebut, kebijakan ini juga sudah diterapkan di sejumlah negara. Ia mencontohkan Brasil, yang sudah mencampur bensinnya dengan etanol hingga 27%. Di beberapa negara bagian Brasil bahkan ada yang sudah mencapai 100% etanol atau E100.
Selain Brasil, Amerika Serikat (AS) juga sudah mencampur BBM dengan etanol 10% (E10). India dan Thailand juga sudah mencampur etanol sebesar 20% (E20) ke dalam BBM-nya.