InfoMalangRaya.com—Penulis dan analis politik Timur Tengah Hossam Al-Issa mengatakan, perjanjian gencatan senjata sementara antara ‘Israel’ dan Hamas, bukanlah kesepakatan pertukaran biasa, melainkan serangkaian pengaruh internal dan eksternal yang kompleks, dan berdampak jangka panjang terhadap semua pihak.
Kepada Palestine Information Centre (PIC), Rabu, (22/11/2023), dampak dari kesimpulan perjanjian ini, terutama terhadap entitas Zionis pada umumnya, dan kepala pemerintahan teroris Benjamin Netanyahu, khususunya, adalah dipatahkan semua kekuatanya oleh kelompok perlawanan.
“Dia sudah berlutut di hadapan kelompok perlawanan, dalam pertempuran sengit di mana bendera putih tidak dikibarkan seperti yang diharapkan,” katanya.
Dampak Entitas Yahudi
Ia mengatakan, perjanjian ini memiliki dampak langsung terhadap pendudukan secara internal. Setidaknya akan meningkatkan tekanan pada Netanyahu dan pemerintahannya.
Dalam wawancara dengan PIC, Issa memperkirakan permintaan ‘Israel’ dengan melakukan gencatan senjata 4 hari akan meningkatnya perselisihan dan perpecahan di dalam pemerintahan Netanyahu sendiri.
“Mengingat adanya para menteri yang menolak persetujuan Netanyahu dan kemundurannya dari janjinya mengenai pencegahan masuknya bahan bakar, masuknya bantuan, dan menolak total gencatan senjata dan kesepakatan pertukaran tawanan,” ujarnya, merujuk janji Netanyahu kepada rakyatnya saat memulai agresinya.
“Meskipun pembentukan pemerintahan perang, tanda-tanda disintegrasi koalisi setelah gencatan senjata masih mungkin terjadi, selain meningkatnya kontroversi sehubungan dengan penilaian internal ‘Israel’ terhadap perang di Gaza dan keamanan militernya, ada dampak ekonomi dan psikologis, serta kegagalan dalam pencapaian yang diharapkan,” tambah dia.
Netanyahu Tak Berdaya
Tuntutan untuk pengunduran diri Netanyahu, karena dianggap tidak berdaya setelah gagal mencapai salah satu tujuan perang yang diumumkannya dalam waktu 46 hari, akan meningkat.
Pendapat bahwa tidak ada lagi orang yang mampu memberikan keamanan bagi entitas Zionis akan semakin kuat. Hal ini dibuktikan setiap hari, selama satu setengah bulan ini, sirene selalu berbunyi di jantung Kota Tel Aviv, wilayah Palestina yang dijajah ‘Israel’.
Dia mencontohkan adanya destabilisasi citra militer ‘Israel’ yang telah banyak membunuh rakyatnya sendiri, mengingat laporan polisi ‘Israel’ yang diterbitkan Haaretz, serta pernyataan Brigade Al-Qassam pemboman angkatan udara ‘Israel’ terhadap kerumunan pemukim haram pada konser Festival Nova pagi hari tanggal 7 Oktober, yang juga berkontribusi pada penguatan kemarahan publik di ‘Israel’.
Kegagalan Demi Kegagalan
Menurutnya, Netanyahu dan pejabat militer saat ini dianggap paling bertanggung jawab atas kegagalan menghentikan pemboman dan agresi ‘Israel’ dalam waktu satu setengah bulan, dengan penggunaan senjata dan kekuatan militer yang belum pernah terjadi sebelumnya, faktanya, besarnya jumlah kematian tentara ‘Israel’ akibat tembakan kelompok perlawanan di Jalur Gaza utara sejak dimulainya operasi darat terus bertambah.
Warga ‘Israel’ –yang umumnya pendatang haram—juga akan menganggap Netanyahu paling bertanggung jawab atas ketidakmampuan mengendalikan Hizbullah. Juga gagalnya menghadapi ancaman Houthi, yang berkontribusi dalam mendukung perlawanan di Gaza.
“Kegagalan narasi militer dan media mengenai agresi tersebut, memiliki dampak strategis dan hasil yang buruk, bagi pemerintahan Netanyahu, “ menurut Issa.
Sebelumnya, pendudukan mengobarkan perang karena menargetkan kendaraan, tapi sekarang semuanya ditargetkan di Palestina utara, dengan Haifa dibom, menyebabkan kematian dan cedera. di antara jajaran pendudukan, selain menyalahkannya
‘Israel’ Tunduk Syarat dari Hamas
Sementara itu, peneliti di Pusat Studi Strategis Yabous, berpusat di Ramallah, Suleiman Bisharat, menilai pentingnya perjanjian kesepakatan senjata sementara ini terletak pada persetujuan ‘Israel’ dalam menangani gerakan Hamas sebagai sebuah partai.
Padahal, sejak hari pertama perang diumumkan perang, ‘Israel’ sudah mengumumkan, tujuan perang ini adalah untuk ‘memberantas’ Hamas dan perlawanannya, dan tidak akan lagi menerima masa depan Hamas di Jalur Gaza, yang nyatanya dilanggar sendiri.
Peneliti di Pusat Studi Strategis Yabous, berpusat di Ramallah, Suleiman Bisharat
“Saat ini, aturan ini telah dilanggar, dan langkah-langkah selanjutnya akan mengikuti pendekatan yang sama, yang dari sudut pandang politik sangat penting bagi perlawanan dengan membangun legitimasi dan keterwakilannya. Kedua, kemungkinan menerima peran politiknya (Hamas, red) di masa depan dalam penyelesaian masalah Palestina,” ujarnya.
Menurut Bisharat, perjanjian tersebut sekarang akan memberdayakan pihak-pihak yang melakukan mediasi untuk memperkuat peran diplomatic. Peran ini akan meningkat di lapangan, yang berarti bahwa partai-partai politik akan peduli untuk memperkuat peran mereka dan membuat keberhasilan yang telah mereka mulai, untuk menghentikan perang.
“Persyaratan perlawanan dalam kesepakatan tersebut, baik yang berkaitan dengan nama tahanan perempuan dan anak-anak yang akan dibebaskan, atau kelengkapan gencatan senjata, dan pengiriman bahan bantuan ke seluruh wilayah Jalur Gaza, juga merupakan hal yang tidak bisa dielakkan,” katanya.
Hal ini menandakan, bahwa penjajah mengakui kekuatan perlawanan. Dan penerimaan Zionis terhadap kesepakatan ini berarti kesadaran mereka akan ketidakmampuan untuk bergerak maju tanpa duduk bersama untuk bernegosiasi.
Sementara itu, penulis dan analis politik Mamoun Abu Amer melihat kesepakatan tersebut sebagai sebuah pencapaian penting bagi rakyat Palestina yang sabar dan kemampuan perlawanan.
Menurut Abu Amer, gencatan senjata ini merupakan telah menunjukkan sisi kemanusiaan dari perlawanan Palestina, bahwa mereka secara manusiawi membebaskan seluruh warga sipil ‘Israel’, dan secara nyata, mengutamakan para tahanan perempuan dan anak-anak Palestina di penjara-penjara ‘Israel’.
Di sisi lain, jeda kemanusiaan bisa membuat warga menenangkan diri, mengizinkan masuknya lebih banyak bantuan dan bahan bakar akan memperkuat ketabahan masyarakat kita dan kemampuan mereka untuk bertahan hidup, serta meringankan penderitaan mereka dalam menghadapi kesulitan ini.
Salah satu kecerdikan kelompok perlawanan (dalam hal ini Hamas) dalam negoisasi adalah pertukaran tawanan antara 50 orang tawanan pihak ‘Israel’ dengan 150 tawanan Palestina.
Sebabnya, kata Abu Amer, sejatinya kelompok perlawanan telah lama mengumumkan akan melepaskan 50 tawanan asing (WNA) tanpa syarat. Namun pihak Netanyahu-lah yang mengulur-ulur waktu, bahkan mengabaikannya.
Mereka (50 tawanan dari ‘Israel’), adalah warga asing (sebagian ada dari Amerika), yang sebenarnya bukan target bagi Hamas, dan bukan anggota militer/tentara ‘Israel’.
“Netanyahu menolak tawaran yang dibuat perlawanan yang awalnya berniat membebaskan WNA dan warga sipil, “ ujarnya.
Akibat Netanyahu mengabaikan ini, maka dalam detik-detik terakhir kesepakatan, tawanan yang tadinya akan bebas tanpa syarakat, dinaikkan menjadi bertukar dengan tahanan Palestina di penjara ‘Israel’.*
Leave a Comment
Leave a Comment