Perubahan Kebiasaan Bus Antarkota Akibat Royalti Lagu
Di Terminal Tanjung Priok, Jakarta Utara, suasana perjalanan bus antarkota kini terasa sangat berbeda. Dulu, setiap bus yang berangkat selalu diiringi oleh lagu-lagu populer yang membuat penumpang merasa nyaman dan tidak bosan selama perjalanan. Namun kini, kebiasaan tersebut mulai berubah. Banyak bus yang tidak lagi memainkan musik selama perjalanan.
Salah satu contohnya adalah PO Sinar Jaya, yang melarang 40 unit busnya untuk tidak menyetel lagu. Pengelola agen bus Sinar Jaya bernama Ali mengatakan bahwa kebijakan ini dilakukan setelah menerima imbauan dari kantor pusat secara lisan. Meskipun belum ada larangan resmi, Ali tetap memilih untuk mengikuti anjuran tersebut karena takut akan dikenakan tagihan royalti lagu.
Penolakan dari Sopir dan Pemilik PO
Sopir hingga pemilik perusahaan angkutan (PO) mengaku tidak setuju dengan aturan royalti lagu yang mereka anggap memberatkan. Ali mengungkapkan bahwa kekhawatiran utamanya adalah jumlah unit bus yang cukup banyak, sehingga jika salah satu unit terkena tagihan, maka dampaknya bisa sangat besar. Hal ini juga dialami oleh Enjun, seorang sopir bus yang mengatakan bahwa meski tidak setuju, ia tetap mengikuti aturan agar tidak mendapatkan masalah lebih lanjut.
Enjun juga mengungkapkan bahwa tanpa adanya musik, kondisi dalam bus menjadi sunyi dan membuat dirinya mudah mengantuk. Selain itu, ia sering kali mendapat protes dari penumpang jika tidak memutar lagu. Meski begitu, ia masih sesekali menyetel musik agar penumpang merasa nyaman, meskipun hanya dalam volume kecil.
Keluhan dari Penumpang
Tidak hanya kru bus yang merasa kehilangan kebiasaan lama, para penumpang juga menyampaikan keluhan mereka. Rexy, seorang penumpang, mengatakan bahwa kebijakan ini terasa aneh karena membuat perjalanan terasa terlalu sunyi. Ia juga menyebut bahwa pemutaran lagu di bus antarkota biasanya menjadi sarana promosi gratis bagi para penyanyi.
Erni, penumpang lain, juga merasa ragu apakah royalti yang dibayarkan benar-benar sampai kepada pencipta dan penyanyi. Ia khawatir pembagian royalti tidak dilakukan secara adil dan justru akan menimbulkan konflik.
Penjelasan dari DJKI
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM menjelaskan bahwa setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik wajib membayar royalti. Aturan ini berlaku bahkan jika mereka menggunakan layanan streaming seperti Spotify atau YouTube Premium. Menurut Agung Damarsasongko, Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI, penggunaan musik di tempat umum termasuk penggunaan komersial yang membutuhkan lisensi tambahan.
Royalti harus dibayarkan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021. LMKN bertugas menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada para pencipta dan pemilik hak terkait.
Harapan Masyarakat
Banyak masyarakat berharap pemerintah dapat melakukan evaluasi ulang terhadap kebijakan royalti musik. Mereka berpikir bahwa kebijakan ini tidak hanya membebani pelaku usaha, tetapi juga berdampak negatif pada masyarakat luas. Dengan adanya perubahan ini, banyak orang merasa kehilangan suasana yang biasanya mereka nikmati selama perjalanan.