Masalah Royalti Musik di Indonesia dan Solusi Digital
Royalti musik di Indonesia terus menjadi topik hangat yang dibicarakan oleh berbagai pihak, termasuk para pelaku industri musik, pengusaha, dan penikmat musik. Masalah ini tidak hanya mengganggu komposer dan pencipta lagu, tetapi juga memengaruhi bisnis seperti kafe, restoran, dan toko ritel yang menggunakan musik sebagai bagian dari layanan mereka.
Salah satu isu utama adalah ketidakjelasan mekanisme penarikan royalti. Lembaga seperti Wahana Musik Indonesia (WAMI) sering kali menagih royalti ke tempat-tempat yang menggunakan musik dalam layanannya. Namun, perhitungan royalti seringkali didasarkan pada jumlah bangku, bukan pada jumlah lagu yang diputar. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan baik dari pengusaha maupun musisi.
Baru-baru ini, Ahmad Dhani, seorang musisi ternama, mengkritik aturan royalti yang naik tajam untuk rumah karaoke. Biaya royalti naik dari Rp 3 juta menjadi Rp 15 juta per room. Kebijakan ini memicu protes dari banyak pengusaha karaoke, terutama di wilayah Bandungan, Kabupaten Semarang.
Masalah lainnya adalah distribusi royalti dari lembaga manajemen kolektif ke para komposer. Contohnya, Ari Lasso, yang lagu-lagunya sering diputar di kafe dan restoran, hanya menerima transferan royalti sebesar Rp 497.300. Ini membuat Ari mempertanyakan cara perhitungan royalti dan bahkan membuat petisi agar WAMI diaudit.
Solusi Digital untuk Menyelesaikan Masalah Royalti
Dalam situasi yang belum menemui titik terang, VNT Networks, sebuah perusahaan teknologi nasional, menghadirkan sistem digital sebagai solusi untuk masalah royalti musik. Presiden Direktur VNT Networks, Vedy Eriyanto, yakin bahwa sistem digital dapat menjawab kebuntuan tata kelola royalti yang selama ini dikeluhkan.
“Sejak 2023 sudah ramai ribut soal royalti. Banyak yang bingung harus komunikasi ke mana. Kami akhirnya pelajari dari hulu ke hilir, termasuk regulasi PP 56/2021. Dari situlah kami kembangkan sistem agar semua lebih transparan,” ujar Vedy.
VNT Networks meluncurkan empat platform digital, yaitu:
- Velodiva: Untuk pemutaran musik di ruang komersial.
- Velostage: Untuk pencatatan musik di acara live.
- Sistem Informasi Lagu dan Musik (SILM): Menampung dan mengolah data penggunaan musik dari berbagai sektor.
- Pustaka Data Lagu dan Musik (PDLM): Menjadi pustaka metadata lagu, baik lokal maupun internasional.
Velodiva memungkinkan hotel, restoran, atau pusat hiburan memainkan musik secara legal sekaligus otomatis melaporkan penggunaannya ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Dengan teknologi ini, royalti bisa tercatat lebih akurat tanpa bergantung pada survei manual.
Sementara itu, SILM dan PDLM menjadi tulang punggung tata kelola royalti. SILM mengumpulkan data penggunaan musik dari berbagai sektor, sedangkan PDLM menyimpan metadata lagu. Dengan sistem ini, masalah klasik yang kerap dipersoalkan musisi dapat diatasi.
Keuntungan dan Tantangan Sistem Digital
Velostage disiapkan untuk dunia konser dan acara langsung. Melalui platform ini, promotor bisa mendeklarasikan daftar lagu yang dimainkan, artis yang tampil, hingga lokasi acara. Data tersebut menjadi dasar distribusi royalti kepada para pencipta dan pemilik hak.
Meski telah mendapat perhatian dari sejumlah pelaku usaha dan asosiasi, Vedy menilai adopsi sistem ini tetap membutuhkan dukungan pemerintah. “Hari ini LMKN selalu bilang belum ada SILM karena keterbatasan anggaran. Kami ingin menunjukkan teknologinya sudah ada, dan ini karya anak bangsa. Kalau semua pihak mau duduk bersama, masalah royalti bisa selesai,” tegasnya.
Bagi Vedy, inti persoalan royalti bukan hanya pada besaran biaya, melainkan soal kejelasan dan keadilan. “Royalti yang adil dan transparan bukan lagi mimpi. Teknologi bisa memastikan pencipta, produser, hingga co-writer tahu lagu mereka diputar di mana saja dan dapat haknya,” ujarnya.
Dengan kehadiran sistem ini, Vedy meyakini, Indonesia berpeluang memiliki tata kelola royalti yang setara dengan standar internasional.