Oleh: Isnawati
InfoMalangRaya.com – KASUS perceraian di Kabupaten Tangerang terus meningkat. Sepanjang tahun 2025 saja, tercatat 6.113 pasangan resmi bercerai, naik sekitar 8 persen dibanding tahun lalu. Data itu dirilis Pengadilan Agama Tigaraksa, yang menyebut judi online, perselingkuhan, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi penyebab paling banyak perceraian di wilayah ini.
Panitera Muda Gugatan Pengadilan Agama Tigaraksa, Yasmita, mengatakan angka perceraian naik signifikan dibanding tahun 2024 yang tercatat sebanyak 5.600 perkara. “Sekarang November 2025 itu ada 6.113, meningkat seribu perkara, berarti sekitar delapan persen peningkatannya,” ujarnya kepada wartawan, Rabu (12/11/2025).
Angka perceraian di Indonesia terus menunjukkan tren meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari berbagai lembaga pencatat pernikahan, setiap tahun ratusan ribu pasangan memutuskan untuk berpisah. Ironisnya, sebagian besar kasus terjadi pada pasangan usia muda, yang baru beberapa tahun membina rumah tangga. Fenomena ini menandakan adanya masalah serius pada pondasi keluarga—lembaga terkecil namun paling vital dalam menjaga keutuhan masyarakat.
Keluarga seharusnya menjadi tempat paling aman dan nyaman. Di situlah seseorang menemukan ketenangan setelah bergulat dengan kehidupan di luar rumah. Namun kini, banyak keluarga justru berubah menjadi arena pertengkaran dan saling menyalahkan. Perceraian pun kian dianggap lumrah, bahkan kadang dipromosikan sebagai “pilihan terbaik” ketika merasa tidak bahagia. Padahal, pernikahan bukan sekadar urusan perasaan, melainkan tanggung jawab besar di hadapan Allah.
Banyak yang melihat perceraian hanya sebagai persoalan komunikasi, ekonomi, atau ketidakharmonisan semata. Padahal, jika ditelusuri lebih dalam, akar masalahnya bersumber dari sistem kehidupan yang tidak lagi berlandaskan nilai-nilai agama. Kita hidup dalam sistem sekuler, yang memisahkan urusan dunia dari aturan Tuhan.
Dalam sistem seperti ini, pernikahan sering dipahami sebagai kontrak sosial, bukan ibadah. Akibatnya, pondasinya rapuh—dibangun hanya di atas rasa cinta, bukan takwa. Ketika cinta memudar, rumah tangga pun mudah goyah. Nilai-nilai kesabaran, tanggung jawab, dan ketundukan pada aturan Allah tergeser oleh prinsip kebebasan pribadi dan kepuasan diri.
Di sisi lain, sistem ekonomi kapitalistik menambah tekanan. Harga kebutuhan pokok yang tinggi, pekerjaan yang sulit, dan gaya hidup konsumtif membuat banyak keluarga hidup di bawah tekanan finansial. Tak sedikit suami yang stres karena tak mampu memenuhi nafkah, sementara istri ikut bekerja hingga peran domestik terbengkalai. Ketika masing-masing lelah dan ego meningkat, konflik mudah meledak.
Belum lagi derasnya arus liberalisme dan media sosial yang mempengaruhi cara pandang masyarakat terhadap pernikahan. Budaya populer kerap menggambarkan kebebasan sebagai bentuk kebahagiaan, dan perceraian sebagai jalan keluar yang elegan. Padahal, di balik itu semua, banyak anak kehilangan kasih sayang dan tumbuh dengan luka batin yang dalam.
Perceraian bukan hanya memisahkan dua individu, tetapi juga menghancurkan tatanan sosial di sekelilingnya. Anak-anak dari keluarga yang bercerai sering kali menjadi korban terbesar. Mereka tumbuh dengan rasa tidak aman, kurang perhatian, dan kehilangan figur ayah atau ibu. Dampak jangka panjangnya sangat serius: anak bisa mengalami gangguan emosi, kesulitan belajar, bahkan kecenderungan melakukan perilaku menyimpang.
Tak sedikit penelitian menunjukkan bahwa anak dari keluarga broken home lebih rentan terhadap kenakalan remaja, narkoba, hingga depresi. Kondisi ini jelas mengancam kualitas generasi bangsa. Bagaimana mungkin lahir generasi tangguh jika keluarga, sebagai tempat pertama menanamkan nilai moral dan kasih sayang, justru runtuh?
Lebih luas lagi, masyarakat pun ikut terkena imbas. Ketika keluarga-keluarga rapuh, maka tatanan sosial menjadi tidak stabil. Meningkatnya kriminalitas, kekerasan, dan degradasi moral adalah konsekuensi logis dari rusaknya institusi keluarga. Karena itu, menyelamatkan keluarga sama artinya dengan menyelamatkan masa depan bangsa.
Selama ini, solusi yang ditawarkan pemerintah terhadap tingginya angka perceraian masih bersifat parsial. Program bimbingan pra-nikah, konseling keluarga, atau edukasi moral tentu baik, tetapi belum menyentuh akar persoalan. Sebab akar masalahnya terletak pada sistem yang mengatur kehidupan kita — sistem yang menjauh dari nilai Ilahi.
Islam sebenarnya telah menyediakan solusi yang komprehensif. Ia tidak hanya memberi panduan spiritual, tetapi juga aturan sosial, ekonomi, dan politik yang menjamin kesejahteraan keluarga. Dalam Islam, pernikahan bukan sekadar urusan pribadi, melainkan bagian dari sistem kehidupan yang diatur dengan penuh hikmah.
Pertama, Islam menempatkan pernikahan sebagai ibadah dan tanggung jawab moral. Tujuannya adalah membentuk keluarga yang sakinah (tenang), mawaddah (penuh cinta), dan rahmah (penuh kasih sayang). Suami diberi peran sebagai pemimpin dan pelindung, sementara istri sebagai pendamping dan pendidik utama generasi. Ketika keduanya memahami perannya sebagai amanah dari Allah, rumah tangga akan lebih kuat menghadapi ujian.
Kedua, Islam memiliki sistem ekonomi yang menyeimbangkan tanggung jawab dan kesejahteraan. Negara berkewajiban menjamin setiap kepala keluarga mampu bekerja dan memenuhi kebutuhan dasar. Zakat, infak, dan distribusi kekayaan dalam Islam berfungsi menutup kesenjangan sosial yang sering menjadi sumber pertengkaran rumah tangga.
Ketiga, sistem pendidikan Islam menanamkan ketakwaan dan tanggung jawab sejak dini. Anak dididik bukan hanya agar cerdas, tapi juga berakhlak. Mereka diajarkan pentingnya menghormati orang tua, memuliakan pasangan hidup, dan menjaga kehormatan diri. Dengan begitu, generasi muda akan siap membina keluarga yang kuat, bukan sekadar menikah karena dorongan emosional.
Keempat, negara berperan aktif menjaga moral masyarakat. Dalam sistem Islam, negara tidak membiarkan arus pergaulan bebas, pornografi, dan gaya hidup bebas merusak sendi-sendi keluarga. Kebijakan sosial diarahkan untuk menjaga kesucian hubungan antara laki-laki dan perempuan, bukan sebaliknya. Dengan demikian, masyarakat terlindungi dari penyimpangan yang bisa menghancurkan keluarga dari dalam.
Penerapan syariat Islam bukan hanya soal hukum nikah atau cerai, melainkan mencakup seluruh aspek kehidupan. Sistem ekonomi, pendidikan, dan sosial harus berjalan selaras dengan nilai-nilai Islam agar tercipta lingkungan yang kondusif bagi ketahanan keluarga.
Ketika syariat diterapkan secara kaffah (menyeluruh), perceraian akan menjadi hal yang sangat jarang terjadi. Bukan karena dipersulit, tetapi karena setiap individu memahami makna tanggung jawab dan keutamaan menjaga rumah tangga. Suami istri tidak lagi melihat pernikahan sebagai beban, melainkan ladang pahala.
Negara pun berperan bukan sekadar pencatat pernikahan, melainkan pelindung kesejahteraan keluarga. Masyarakat akan hidup dalam budaya yang menghormati lembaga pernikahan, bukan merendahkannya. Anak-anak tumbuh dalam keluarga yang hangat dan beriman, siap melanjutkan estafet kehidupan dengan karakter yang kuat.
Perceraian yang marak saat ini bukan sekadar persoalan rumah tangga, melainkan cerminan rusaknya sistem kehidupan yang kita anut. Selama aturan Allah disisihkan, selama agama dianggap urusan pribadi, maka keruntuhan keluarga dan rapuhnya generasi akan terus berulang.
Sudah saatnya kita melakukan perubahan mendasar: kembali menjadikan Islam sebagai pedoman hidup, bukan hanya simbol keagamaan. Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga hubungan manusia dengan sesama dan dengan masyarakat.
Membangun kembali keluarga berarti membangun kembali peradaban. Dan peradaban yang kuat hanya bisa berdiri di atas fondasi keluarga yang kokoh — keluarga yang dibangun atas dasar iman, dijaga oleh hukum Allah, dan dinaungi oleh sistem yang adil. Itulah satu-satunya jalan menuju masyarakat sejahtera dan generasi yang tangguh. Wallahu a’lam bisswab.







