Dilema Ekonomi Rokok dan Beban Sosial yang Meningkat
Sebuah lembaga pengembangan dan riset sosial-ekonomi, Center of Human and Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITBAD), yang berlokasi di Tangerang Selatan, Banten, menyoroti isu penting terkait konsumsi rokok di Indonesia. Lembaga ini memperhatikan bagaimana penerimaan negara dari cukai rokok berbanding terbalik dengan biaya sosial dan kesehatan yang harus ditanggung masyarakat akibat konsumsi rokok.
Dedikasi CHED untuk kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia yang lebih baik terlihat dalam berbagai studi dan analisis yang dilakukan. Salah satu topik yang menjadi perhatian utama adalah dampak industri rokok terhadap masyarakat, terutama kelompok rentan seperti anak-anak, remaja, dan masyarakat miskin.
Serakahnomics: Fenomena Ekonomi yang Mengkhawatirkan
Dalam sebuah konferensi pers bertajuk “Membaca RAPBN 2026: Target Penerimaan Cukai Rokok untuk Rakyat apa Pemerintah?”, CHED mengungkapkan istilah baru yang disebut “Serakahnomics”. Istilah ini merujuk pada aktivitas ekonomi yang didasarkan pada keserakahan individu untuk mendapatkan keuntungan secara tidak wajar.
Industri rokok, menurut penjelasan Kepala Pusat Studi CHED ITBAD, Roosita Meilani Dewi, sengaja menyasar kelompok rentan agar mereka kecanduan dan terkunci dalam pola konsumsi rokok. Ketika industri meraup untung besar, beban kesehatan dan sosial dipindahkan ke masyarakat.
“Industri rokok mengeksploitasi konsumen kecanduan, membuat masyarakat terkunci dalam pola konsumsi. Mereka sengaja menyasar anak-anak, remaja, perempuan, dan kelompok miskin. Industri meraup untung besar, tapi biaya kesehatan dan sosial dipindahkan ke masyarakat,” jelas Roosita.
Dampak Ekonomi pada Keluarga Miskin
Penasihat Senior CHED ITBAD, Mukhaer Pakkanna, menyetujui pendapat tersebut. Menurutnya, industri rokok memperkaya diri melalui eksploitasi kelompok rentan. Akibatnya, surplus ekonomi keluarga miskin sering dialihkan untuk membeli rokok.
“Surplus ekonomi keluarga miskin banyak dialihkan ke industri rokok. Industri rokok menjadi kaya raya berkat kontribusi masyarakat miskin, petani tembakau, buruh industri, bahkan anak-anak yang menjadi konsumen,” ujar Mukhaer.
Ia juga mengingatkan bahwa kendala terbesar dalam pengendalian rokok bukan hanya aspek ekonomi, tetapi juga politik. Ia menyebut intervensi industri tembakau sebagai hambatan utama dalam pengendalian tembakau.
“Industri rokok memiliki lobi politik yang kuat, bahkan hingga level desa. Intervensi industri tembakau (Tobacco Industry Interference/TII) adalah hambatan utama dalam pengendalian tembakau,” tegasnya.
Biaya Kesehatan yang Menyulitkan
Sekretaris Asosiasi Dinas Kesehatan Seluruh Indonesia (Adinkes), Halik Sidik, menjelaskan ketimpangan biaya dan penerimaan daerah terkait rokok. Ia menyebut pemerintah daerah harus mengeluarkan Rp5,4 miliar per tahun untuk menangani penyakit akibat rokok. Sedangkan pajak iklan rokok hanya sekitar Rp150 juta.
“Biaya pemerintah daerah untuk menangani penyakit akibat rokok mencapai Rp5,4 miliar per tahun, sementara pajak iklan rokok hanya sekitar Rp150 juta. Tidak rasional jika penerimaan lebih kecil dibanding biaya kerugian,” jelas Halik.
Selain itu, beban BPJS Kesehatan semakin berat dengan klaim penyakit katastropik akibat rokok. Empat penyakit dengan biaya klaim terbesar adalah jantung, gagal ginjal, kanker, dan stroke. Ironisnya, sebagian besar pasien justru dari kelas menengah-atas di kota besar, sementara akses warga miskin ke BPJS masih rendah.
Konsumsi Rokok yang Menurun Bisa Menguatkan Ekonomi
Dalam kesempatan itu, ekonom Abdillah Ahsan menegaskan bahwa turunnya konsumsi rokok tidak merusak ekonomi, justru menguatkan daya tahan bangsa. Jika masyarakat berhenti merokok, pengeluaran ini bisa dialihkan ke pendidikan atau kebutuhan produktif lainnya.
“Jika masyarakat berhenti merokok, pengeluaran rumah tangga akan dialihkan ke pendidikan, gizi, dan kebutuhan produktif lainnya. Konsumsi rokok yang menurun membuat masyarakat lebih sehat dan produktif, sehingga ekonomi kita lebih kuat,” kata Abdillah.