Kekurangan Guru di Kota Malang Memicu Kebijakan “Tambal Sulam”
Kota Malang sedang menghadapi tantangan serius dalam hal kekurangan tenaga pendidik, terutama di tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kota Malang melaporkan bahwa jumlah guru yang kurang mencapai ratusan, sehingga banyak sekolah harus menerapkan kebijakan sementara untuk menutupi kekosongan jam mengajar.
Ketua PGRI Kota Malang, Agus Wahyudi, menyampaikan bahwa kondisi ini tidak hanya terjadi di beberapa sekolah, tetapi hampir merata di seluruh SMP Negeri di kota tersebut. Ia menjelaskan bahwa saat ini masih ada banyak sekolah yang kekurangan guru, dengan perkiraan total kekurangan antara SD dan SMP berkisar antara 200 hingga 300 orang.
Menurut Agus, salah satu penyebab utama adalah jumlah guru ASN yang pensiun setiap bulan tidak seimbang dengan rekrutmen guru baru. Proses pengangkatan guru baru tidak berjalan instan, sehingga kekosongan terus terakumulasi. Setiap bulan, pasti ada guru yang pensiun, namun kekosongan tersebut tidak bisa langsung terisi, sehingga memicu situasi sulit bagi sekolah-sekolah.
Untuk mengatasi masalah ini, banyak sekolah terpaksa memaksimalkan sumber daya yang ada. Salah satu dampaknya adalah beban kerja guru yang meningkat melebihi batas maksimal. Agus mengungkapkan bahwa banyak guru yang mengajar lebih dari 40 jam pembelajaran per minggu, padahal batas maksimalnya adalah 40 jam. Hal ini berdampak pada peningkatan tekanan mental dan fisik para guru.
Selain itu, sekolah juga menerapkan kebijakan darurat. Guru dengan mata pelajaran tertentu yang jam mengajarnya belum cukup, diminta untuk mengisi kekosongan jam pelajaran lain yang bukan bidang keahliannya. “Ada guru yang terpaksa membantu mengajar mapel lain agar jam mengajarnya terpenuhi dan kekosongan guru bisa tertutupi sementara,” ujar Agus.
Kondisi ini diperparah oleh kebijakan pemerintah pusat yang melarang sekolah merekrut tenaga honorer baru. Akibatnya, sekolah tidak memiliki keleluasaan untuk mencari tenaga pendidik secara mandiri. Jalur rekrutmen yang tersedia saat ini adalah melalui pengangkatan tenaga honorer yang sudah terdaftar dalam basis data pemerintah menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K).
Namun, Agus menegaskan bahwa kuota yang tersedia dalam program ini belum mampu menutupi seluruh kebutuhan. Ia menyampaikan bahwa PGRI terus melaporkan kondisi ini kepada dinas terkait dan memberikan usulan agar kebutuhan guru segera terpenuhi sesuai dengan pemetaan kebutuhan riil di lapangan.
PGRI mendesak pemerintah untuk segera menambah formasi guru, terutama melalui jalur P3K, sebagai solusi paling realistis saat ini. Meski demikian, untuk kebijakan rekrutmen jangka panjang, pihaknya masih menunggu arahan lebih lanjut dari pemerintah pusat. Dengan begitu, diharapkan dapat tercipta keseimbangan dalam penyediaan tenaga pendidik yang memadai di Kota Malang.