Kalau dicermati, akhir-akhir ini masyarakat di Indonesia dibanjiri dengan berbagai keresahan, kecemasan, juga ketakutan. Berbagai isu digulirkan, bukan hanya oleh oknum-oknum masyarakat di LSM, atau para petualang politik, tetapi juga oleh beberapa oknum birokrat bahkan setingkat menteri. Keresahan demi keresahan makin meyakinkan masyarakat bahwa memang sengaja digulirkan justru ketika masyarakat luas, baik yang besar apalagi yang kecil, menghadapi situasi ekonomi yang benar-benar sangat sulit.
Daya beli menurun, kelas menengah penyangga utama konsumsi negeri nge-drop 9 juta orang (2019-2024) dan menjadi rentan miskin. Omzet-omzet turun dratis membuat hampir semua usaha merugi. Banyak PHK, sulit cari kerja, isu korupsi menggila, bukan saja jumlah kasusnya tetapi besaran kerugian negara yang sangat fantastis, mencapai ratusan miliar hingga triliun rupiah.
Yang mengejutkan, tiba-tiba hampir semua Pemda bersama-sama menaikkan Pajak Bumi Bangunan (PBB) ratusan sampai 1.000 persen. Masyarakat mengeluh, resah dan marah. Siapa sih pejabat yang membutakan diri, tutup telinga, dan tidak punya empati, sehingga begitu tega atas nama kekuasaan makin menggilas beban derita masyarakat? Apakah atas instruksi Kemendagri dan Kemenkeu?
Belum lagi soal aturan royalti yang dianggap masyarakat usaha belum jelas dan masih dalam gugatan MK. Serta kemarahan banyak musisi pencipta lagu yang menarik mandat royalti dari LMKN, tetapi sudah diterapkan melalui model gugatan hukum pidana, sehingga usaha-usaha kecil dan informal resah, takut memutar musik lagu. Takut menaruh TV di luar karena takut dipajaki royalti. Definisi komersialisasi masih kabur, dan menjadi ajang mafia liar berkeliaran.
Belum lagi pernyataan-peenyataan wacana pejabat pemerintah bahwa segala sesuatu akan dimonitor ketat untuk pengenaan pajak, Payment ID, pemblokiran rekening, dan sebagainya. Intinya semua hal yang meresahkan terus digelontorkan ke masyarakat, hingga akhirnya masalah penolakan kenaikan PBB 250 persen di Kabupaten Pati berubah jadi kerusuhan. Kasus kerusuhan Pati diprediksi dapat menjalar menjadi gerakan people power di seluruh kota di Indonesia. Bukankah ini situasi serius?
Entah siapa otak inspirasi dan oleh kelompok faksi kekuasaan mana yang memainkan operasi intelijen politik kekuasaan, agar terjadi ketidakstabilan sosial, yang bisa menjadi chaos politik?
Apakah Presiden tahu? Apa Presiden kurang bijak dalam menjalankan kebijaksanaan dan penerapan peraturan? Presiden terpilih sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tidak mungkin memulai perjalanan masa baktinya dengan membuat onar dan membebani rakyat. Justru menurut pendapat banyak analis, ini semua adalah upaya mediskreditkan Presiden yang notabene kabinetnya masih banyak diisi orang-orang rezim lama, para petualang politik, yang makin terdesak berbagai kasus hukum di masa rezim sebelumnya. Rakyat awam pun punya logika sehat untuk memahami hal ini.
Lalu ingatan kembali ke masa-masa sebelum pecahnya peristiwa G30S/PKI. Saat itu, di desa-desa banyak isu menakutkan, seperti penculikan anak yang matanya dibuat dawet. Isu hantu pocong, keranda berjalan, dan sebagainya. Intinya ada banyak keresahan dan ketakutan yang sengaja dibuat sebelum hari H revolusi.
Dalam konteks itu, yang perlu dilakukan untuk membangun literasi publik adalah apakah isu keresahan-keresahan yang sengaja dibombardir ke masyarakat punya landasan konsep literasinya terhadap permainan politik praktis, politik kekuasaan?
Menurut teori Diversionary War (Smith 1996), bahwa ‘pemerintah’ terkadang menciptakan isu untuk mengalihkan perhatian dari masalah utama. Dalam konteks ini, wacana kebijakan kontroversial berpotensi menjadi alat pengalihan dari isu korupsi dan resesi. Studi Bank Dunia (2023) mencatat tekanan inflasi global berdampak pada daya beli masyarakat kelas menengah-bawah di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Para analis kebijakan fiskal juga telah mengulas dampak sosial dari kebijakan fiskal yang agresif dan menambah beban masyarakat. Kenaikan PBB lebih dari 100 persen bertentangan dengan prinsip ability to pay (Adam Smith) dalam teori perpajakan. Penelitian LPEM UI (2024) menunjukkan kenaikan pajak properti di saat resesi berisiko memicu gelombang PHK sektor UMKM.
Para analis ekonomi juga mengulas bahwa pengenaan royalti dan formalisasi UMKM (kajian OECD 2022). Mereka memperingatkan formalisasi paksa sektor informal tanpa pendampingan berpotensi mematikan usaha mikro, dan bertentangan dengan prinsip just economic transition.
Keresahan memang sisi lain dari mata uang dinamika kekuasaan. Teori Elite Competition (Michels 1911) mengulas bahwa konflik internal elite dapat memanifestasi berbagai kebijakan kontradiktif. Kabinet “rezim lama” vs agenda reformasi merupakan pola klasik dalam transisi demokrasi (Robison & Hadiz 2004).
Apakah memang ada operasi intelijen sebagai alat politik? Literatur Deep State (Lofgren 2016) menunjukkan bagaimana birokrasi dapat memengaruhi kebijakan untuk mempertahankan kepentingan kelompok.
Meledaknya kerusuhan dalam kasus seperti di Pati menurut teori Contentious Politics (Tarrow 2011), bahwa protes lokal dapat menyebar jika: (a) ada political opportunity structure, (b) jaringan organisasi nasional, dan (c) framing isu yang efektif.
People Power sebagaimana studi Chenoweth (2021) membuktikan bahwa gerakan massa efektif hanya jika mencapai 3,5 persen populasi terlibat aktif. Di Indonesia, hal ini memerlukan koordinasi lintas kelas dan etnis yang kompleks.
Kedudukan Presiden dalam Sistem Presidensial
Berdasarkan konsep Principal-Agent Dilemma (Miller 2005), Presiden sebagai principal tidak bisa selalu mengendalikan seluruh agen (menteri/birokrat). Penelitian LIPI (2023) menunjukkan 40 persen kebijakan teknis Kementerian/Lembaga (K/L) tidak terkordinasikan dengan Istana.
Mungkin Presiden mengalami hambatan kendali, karena dalam teori kepemimpinan Situational Leadership (Hersey & Blanchard), efektivitas pemimpin ditentukan oleh kemampuan membaca konteks. Kebijakan yang tidak sensitif secara sosial menunjukkan kegagalan analisis situasional, dan pada posisi ini Presiden mungkin banyak dipotong kendali kebijaksanaannya oleh kebijaksanaan menteri/birokrat.
Secara keseluruhan, situasi ekonomi sosial politik Indonesia yang sangat resah dan galau saat ini bisa dipandang mengalami triple crisis. Terjadi tumpang-tindih krisis ekonomi, legitimasi, dan tata kelola. Menurut konsep Cascade Effect (Sunstein 2009), kebijakan kontroversial dalam situasi ini berisiko memicu efek domino ketidakstabilan. Pola diskredit melalui kebijakan unpopular adalah varian modern dari Manufactured Consent (Herman & Chomsky 1988) dalam bentuk terbalik.
Situasi Indonesia saat ini memang serius, tetapi belum mencapai titik kritis people power nasional. Studi Aspinall (2022) menunjukkan ketahanan sosial Indonesia masih tinggi namun jika akumulasi masalah tidak dikelola secara institusional, potensi disrupsi sosial meningkat secara eksponensial.
Masyarakat perlu waspada.
Hadipras,
Pengamat Sosial dan Politik.