Tur Dunia The Pains of Being Pure at Heart
Band indie pop asal New York, Amerika Serikat, The Pains of Being Pure at Heart sedang menjalani rangkaian tur yang dimulai dari Glasgow, Skotlandia pada 13 November dan akan berakhir di Los Angeles pada 21 Februari mendatang. Salah satu kota yang disinggahi adalah Jakarta, sebagai penampil di Joyland Sessions 2025 yang berlangsung pada 29-30 November 2025.
The Pains of Being Pure at Heart terbentuk pada awal 2007 dengan anggota Kip Berman (vokal, gitar), Peggy Wang (keyboards, vokal), Alex Naidus (bass), Christoph Hochheim (gitar), dan Brian Alvarez (drums) yang menggantikan posisi Kurt Feldman. Band ini telah merilis tujuh album penuh, termasuk The Pains of Being Pure at Heart (2009), Higher Than the Stars (2009), Belong (2011), Days of Abandon (2014), The Echo of Pleasure (2017), Full Moon Fever (2019), dan Perfect Right Now: A Slumberland Collection 2008–2010 (2025).
Sejarah Awal dan Perjalanan Band
Perjalanan The Pains of Being Pure at Heart dimulai dengan mengunggah lagu-lagunya di platform MySpace. Setelah sempat tidak ada kepastian sebagai sebuah band sejak 2013 hingga bubar pada 2019, band ini kembali pada 2024. Vokalis Kip Berman menerima wawancara daring pada Rabu, 12 November 2025, menjelaskan proses awal pembentukan band, jatuh-bangun menjalankannya, antusiasme pendengar Indonesia, hingga rilisan album terakhirnya.
Persiapan Tur dan Penampilan di Indonesia
Bagaimana kabar kalian dan seperti apa persiapan tur yang akan dimulai dari Inggris?
Semoga berjalan lancar! Kami memainkan pertunjukan pertama kami bersama lagi dengan Alex kembali ke band, Selasa lalu di Chicago. Selain sempat lupa antara saya atau Christoph di awal memainkan “HEY PAUL,” semuanya berjalan cukup baik!
Bagaimana kalian bisa bermain di Joyland Sessions, sementara rangkaian tur kalian selain Indonesia, hanya di Inggris dan Amerika Serikat saja?
Sejak awal berdiri, kami menerima begitu banyak pesan dari Indonesia. Bisa dikatakan dari berbagai tempat di dunia, yang paling banyak menghubungi kami dari Indonesia. Lagi pula ada begitu banyak band hebat di Indonesia saat ini, seperti Tossing Seed, The Bunbury, Pastel Badge, Drizzly, dan tentu saja White Shoes and the Couples Company. Saya benar-benar merasa Indonesia mungkin memiliki skena indie pop underground paling hidup di dunia, dan mengetahui bahwa banyak penggemar telah menunggu begitu lama untuk melihat kami tampil.
Kembali ke Indonesia Setelah 13 Tahun
Bagaimana perasaan dan persiapan kalian untuk kembali tampil di Indonesia setelah 13 tahun?
Kalau misalnya kami bisa datang ke Indonesia setiap saat, kami pasti akan melakukannya. Tentu saja Joyland akan menjadi sesuatu yang sangat spesial, dan kami sangat takjub mereka mengundang kami. Tapi suatu hari nanti kami juga ingin punya kesempatan untuk bermain di pertunjukan lokal yang lebih kecil bersama band-band Indonesia yang kami sukai di kota-kota mereka.
Apa yang paling kalian ingat dari pertunjukan di Indonesia pada 2012?
Itu adalah mimpi yang menjadi kenyataan! Kami sangat tersanjung ketika melihat orang-orang menjual kaos bajakan di luar venue konser, hahaha! Benar-benar terasa seperti kami adalah band “sukses.” Tapi serius, antusiasme dari para penggemar Indonesia sangat luar biasa.
Proses Pembentukan Band dan Nama Unik
Bagaimana band ini terbentuk dengan nama yang cukup unik? Apakah awalnya kalian memang satu lingkungan dari teman ke teman atau seperti apa?
Kami terbentuk pada Januari 2007, dan memainkan pertunjukan pertama di pesta ulang tahun Peggy pada Maret 2007 bersama teman-teman kami, The Manhattan Love Suicides dan Titus Andronicus. Peggy, Alex, dan saya sudah saling berteman sebelumnya. Saya dan Alex itu rekan kerja, dan kami terhubung lewat kecintaan terhadap band-band garage rock seperti Exploding Hearts, The Dirtbombs. Lalu Alex mengenalkanku pada karya-karya awal My Bloody Valentine seperti EP Sunny Sundae Smile. Aku mencoba mengenalkannya pada band-band dari Portland, Oregon yang saya sukai, terutama band Goth/post punk DIY yang sangat keren bernama The Prids. Oh ya, kami juga sangat menyukai Titus Andronicus, yang pertama kali ditonton oleh teman sekamarku yang bekerja di bagian sound di Cake Shop, sebuah venue kecil di basement Lower East Side ketika mereka bermain di ruangan kosong karena semua teman mereka masih di bawah umur 21.
Peggy dan saya juga berteman baik, dan sering begadang membicarakan band khayalan yang ingin kami bentuk dan semua hal keren yang ingin kami lakukan, meski kami berdua belum terlalu bisa bermain musik. Lalu Kurt adalah teman sekamarku dan bergabung agak belakangan. Saya awalnya takut mengajaknya main drum karena dia sangat keren dan nuansanya agak mengintimidasi (awalnya kami pakai drum machine), tapi Peggy meyakinkanku. Kurt sebenarnya yang paling bisa main musik di band (drum bahkan bukan instrumen utamanya), dan dia sangat membantu mewujudkan khayalan kami menjadi kenyataan. Begitu juga Christoph yang bergabung di gitar ketika album pertama kami rilis pada 2009, dia juga bermain dengan Kurt di Depreciation Guild, jadi bergabungnya dia terasa sangat alami.
Mengapa Memilih MySpace?
Mengapa kalian memilih mengunggah musik kalian di MySpace pada tahun-tahun awal?
Rasanya begitu keren bisa membagikan musik kami ke orang-orang di seluruh dunia, bahkan ketika orang-orang di New York sendiri belum tahu siapa kami. Orang-orang di Swedia mengundang kami tampil, dan jelas begitu banyak penggemar di Indonesia yang sangat terhubung dengan lagu-lagu awal kami.
Skena Indie Pop di New York City
Seperti apa skena indie pop di New York City ketika kalian baru mulai berkarya?
Selalu muncul band-band hebat, dan salah satu band yang kami kagumi adalah band New York bernama My Favorite. Tapi saat kami mulai aktif sebagai band, mereka justru sudah tidak aktif, dan muncul band-band baru seperti Crystal Stilts, The Drums, Vivian Girls, dan My Teenage Stride. Tak lama setelahnya ada Beach Fossils dan Wild Nothing juga. Kami bermain bersama semua band itu dan juga menggemari mereka. Musiknya terasa lebih amatir dibanding skena New York sebelumnya, entah itu The Strokes dan Interpol, atau berikutnya Grizzly Bear dan MGMT. Band-band yang bermain bersama kami semuanya seperti sedang belajar menjadi band, dan lebih terinspirasi oleh semangat punk, bermain di gig-gig DIY dan sejenisnya.
Kegiatan Tidak Aktif dan Bubar
Kalian tidak aktif cukup lama setelah 2013 dan memutuskan bubar pada 2019. Bisa ceritakan apa yang terjadi selama tahun-tahun itu?
Sebagian besar itu adalah apa yang terjadi pada saya. Kami merekam album terakhir pada Januari 2016, lalu di musim semi anak perempuan saya lahir. Sejak dia lahir, saya fokus berada di rumah bersamanya, dan tidak terlalu memikirkan band atau hal-hal lainnya. Ketika saya mulai mempertimbangkan untuk kembali ke band, anak laki-laki saya lahir, jadi saya berada di rumah lagi bersamanya dan kembali tidak terlalu memikirkan musik.
Makanya saya ingin membuat musik yang tidak membuat saya jauh dari rumah seperti sebelumnya, dan yang mengekspresikan sesuatu tentang hidup saya sekarang, yang cukup berbeda dari The Pains of Being Pure at Heart.
Reuni pada Tahun 2024
Lalu di 2024, apa yang membuat kalian memutuskan reuni sebagai The Pains of Being Pure at Heart?
Bermain musik bersama teman-teman jauh lebih menyenangkan ketimbang tidak bermain musik bersama teman-teman. Selain itu, anak-anak saya sudah lebih besar, jadi tidak terlalu sulit untuk mengambil sedikit waktu untuk pergi dan menjalani konser lagi.
Rilisan Album Kompliasi
Mengapa kalian memutuskan merilis Perfect Right Now: A Slumberland Collection 2008–2010 tahun ini?
Saya tidak suka jika orang harus membayar terlalu mahal untuk mendapatkan rilisan musik kami yang mungkin sudah tidak dicetak lagi, atau sulit dikumpulkan dalam satu paket. Jadi kami ingin merilisnya sebagai semacam “pendamping” album debut kami, agar orang-orang bisa memiliki semua lagu dari era itu yang tidak masuk ke album pertama. Kadang band me-reissue album dengan “bonus content,” tapi saya tidak ingin orang harus membeli ulang album yang sudah mereka punya hanya demi mendapatkan lagu baru, jadi ini terasa seperti solusi yang paling adil bagi para penggemar kami.
Detail Album Kompilasi
Bisa ceritakan lebih jauh tentang album kompilasi itu, bagaimana lagu-lagunya dipilih dan bagaimana album itu disusun?
Itu sebenarnya kumpulan b-side dari single-single album pertama kami, EP Higher Than the Stars, dan beberapa single lepas seperti “Kurt Cobain’s Cardigan”, hingga “Say No to Love”, serta versi alternatif “Come Saturday” yang ada di rilisan split awal. Saya sempat berpikir membuat “greatest hits” atau “singles collection”, tapi kompilasi ini terasa lebih pas secara estetika, karena semua lagu ini direkam dalam periode yang sama dan memiliki nuansa yang sebagian besar serupa, jadi lebih enak dinikmati sebagai satu kesatuan.
Pesan untuk Pendengar Indonesia
Terakhir, apa yang ingin kalian sampaikan kepada para pendengar di Indonesia menjelang penampilan kalian di Joyland Sessions?
Saya hanya ingin menekankan betapa pentingnya Indonesia bagi The Pains. Kami menerima semua pesan kalian, permintaan kalian, dan melihat betapa luar biasanya skena musik yang kalian bangun. Jujur, tampaknya Indonesia adalah tempat paling keren yang bisa dibayangkan, dan kami merasa terhormat bisa mendapat kesempatan untuk tampil di sana.
Profil Singkat The Pains of Being Pure at Heart
The Pains of Being Pure at Heart, dibentuk pada 2007 dan pertama kali manggung selama 10 menit di sebuah pesta ulang tahun temannya. Band ini mulai menulis lagu-lagu seperti “Contender”, “Come Saturday”, dan “This Love Is Fucking Right!” yang kemudian masuk dalam debut album pertamanya pada 2009.







