Ketimpangan antara Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Malang
Ketimpangan antara perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS) di Kota Malang semakin terlihat jelas. Tidak hanya dari segi jumlah pendaftar, tetapi juga dalam hal persebaran kampus, infrastruktur, hingga branding. Berdasarkan data dari Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah VII Jawa Timur, terdapat 51 PTS di Kota Malang. Namun, hanya tiga PTS yang memiliki jumlah mahasiswa lebih dari 10.000 orang, yaitu Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas Merdeka (Unmer), dan Universitas Islam Malang (Unisma). Sementara sisanya memiliki jumlah mahasiswa yang lebih sedikit, bahkan ada yang hanya ratusan orang.
Menanggapi situasi ini, Kepala LLDIKTI Wilayah VII Jawa Timur, Prof. Dr. Dyah Sawitri, SE, MM menilai bahwa kondisi ini merupakan tantangan serius yang harus dijawab oleh PTS dengan strategi jangka panjang, bukan sekadar bertahan hidup. Menurutnya, budaya masyarakat masih cenderung memilih PTN sebagai prioritas utama. “Ada kebanggaan tersendiri jika anak diterima di kampus negeri,” ujarnya.
Namun, ia menegaskan bahwa dominasi PTN seharusnya tidak menjadi penghalang bagi PTS untuk berkembang. Justru, ini harus menjadi momentum untuk refleksi dan inovasi. “Kita tidak bisa terus bergantung pada jumlah mahasiswa. Harus punya strategi lain. Salah satunya lewat penguatan unit bisnis kampus,” katanya. Ia menekankan bahwa kampus yang memiliki kemandirian finansial melalui unit bisnis akan lebih tangguh dalam berbagai kondisi.
Persebaran Kampus di Kota Malang
Ketimpangan juga terjadi dalam persebaran kampus di Kota Malang. Sebagian besar kampus besar dan favorit terkonsentrasi di wilayah barat, seperti Universitas Brawijaya (UB), UMM, UIN Maulana Malik Ibrahim, Universitas Negeri Malang (UM), hingga Unisma. Sementara kampus di wilayah timur seperti STIBA, Politeknik Malang, dan Universitas Wisnuwardhana belum memiliki animo sebesar kampus di wilayah barat.
Prof Dyah menjelaskan bahwa sebaran kampus erat kaitannya dengan daya saing. “Kampus di mana pun berada, kalau punya kekuatan dan diferensiasi, pasti akan dicari,” katanya. Ia menekankan pentingnya membangun nilai tambah dan membentuk ekosistem belajar yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.
Ia menegaskan bahwa distribusi geografis bukanlah masalah utama jika kampus mampu membangun branding yang kuat. “Mereka harus bisa menunjukkan keunggulan yang spesifik. Misalnya prodi yang ditawarkan punya pendekatan kurikulum yang berbeda dan dibutuhkan pasar kerja,” jelasnya.
Adaptasi Era Digital
LLDIKTI juga mendorong kampus swasta di Malang untuk beradaptasi dengan era digital. Menurut Prof Dyah, kampus hybrid dan efisiensi digital menjadi arah transformasi pendidikan tinggi. Ia mencontohkan bagaimana banyak pekerjaan administratif kini bisa dilakukan cukup lewat ponsel. “Tanda tangan dokumen sekarang bisa dari HP. Kuliah pun bisa dari mana saja. Ini artinya kampus harus siap secara teknologi dan perangkat pembelajaran. Kalau tidak siap, ya tertinggal,” ungkapnya.
Mutu sebagai Fondasi Utama
Mantan rektor Universitas Gajayana itu juga menjelaskan bahwa mutu menjadi fondasi utama yang harus dibangun kampus swasta. Menurutnya, sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, semua perguruan tinggi baik PTN maupun PTS wajib memenuhi standar mutu pendidikan tinggi. “Akreditasi prodi dan institusi menilai komponen yang sama antara negeri dan swasta,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa jika kampus sudah unggul, maka mutu jelas terlihat. “Tidak ada bedanya,” tandasnya.