Nour Mwanis, seorang bidan berusia 27 tahun, tampak sibuk di ruang bersalin RS al-Awda, Gaza. Ia baru saja membantu persalinan seorang ibu. Wanita itu telah datang sejak pagi-pagi sekali.
Proses persalinan berlangsung sekitar setengah jam. Nour dan rekan-rekannya kemudian harus membersihkan dan mensterilkan ruangan dan peralatan.
Tak jauh dari ruang bersalin, yakni di ruang tamu, ada nenek, kakek, dan paman si bayi yang baru lahir. Mereka bergantian menggendong dalam suasana ceria. Sang nenek tersenyum lebar saat menyaksikan bayi yang dibalut syal merah muda itu.
Wajah-wajah mereka tampak hangat, bahagia, gembira. Rona kebahagiaan yang seolah sudah lama tidak dirasakan di Gaza.
Wartawan Al Jazeera bertanya siapa nama bayi itu? Mereka semua tertawa pelan dan menjawab, “Dia belum punya nama.”
Persalinan di Lantai
Nour Mwanis berdiri tenang di ruang bersalin itu. Dia meletakkan nampan berisi peralatan sterilisasi, membersihkan tangan, lalu duduk di bed bersalin. Ia kemudian bercerita tentang pengalamannya menjadi bidan selama perang.
Sejak dulu memang Nour bercita-cita menjadi bidan. Ia ingin membantu para ibu melahirkan dengan aman dan membawa kebahagiaan bagi keluarga dengan penuh senyuman.
Selama tiga tahun, profesi itu telah ditekuni. Sampai akhirnya keasyikannya sebagai bidan hancur sejak “Israel” membombardir Gaza bulan Oktober 2023 lalu.
“Saya tidak pernah menyangka akan mengalami hari-hari seperti ini,” tutur Nour kepada Al Jazeera, sambil menceritakan gelombang besar pengungsi Nuseirat di Gaza tengah, yang berusaha menjauh dari bom-bom Zionis, untuk pindah ke kawasan selatan.
“Selama tiga bulan pertama perang, kami menangani sekitar 60 hingga 70 kelahiran per hari, bekerja sepanjang waktu hanya dengan enam bidan,” ujarnya.
Selama tiga bulan pula Nour tidak bisa pulang ke rumah. Padatnya jadwal sebagai bidan dan banyak bahaya dalam perjalanan di Nuseirat membuatnya harus tinggal di RS al-Awda.
“Ruang bersalin tidak dapat menampung jumlah pasien yang banyak. Kami harus membantu beberapa persalinan di lantai atau di ruang persiapan pranatal yang tidak dilengkapi dengan peralatan untuk melahirkan,” jelas Nour.
Beban tugas di RS al-Awda meningkat karena menjadi satu-satunya fasilitas bersalin yang masih berfungsi. Fasilitas kesehatan lain di daerah itu, misal RS Syuhada al-Aqsha di Deir el-Balah, harus menutup bangsal bersalinnya agar fokus merawat warga yang terluka.
“Kacau. Pemboman di mana-mana, para ibu datang dalam kondisi yang menyedihkan. Banyak wanita yang mengalami komplikasi, pendarahan atau melahirkan janin yang sudah mati, dan mereka memerlukan perawatan khusus. Namun, tidak ada peralatan sehingga keadaannya semakin memburuk,” ujar Noer sambil mendesah dalam.
Aya, seorang ibu dengan kehamilan 31 minggu. Janinnya meninggal karena kondisi sang ibu sangat lemah, kekurangan nutrisi, sulit mengakses air bersih, obat-obatan, suplemen, atau perawatan medis.
Ayah Aya, seorang paramedis berusia 58 tahun. Ia syahid akibat pengeboman “Israel”. Sehari kemudian, Aya menyadari bahwa bayinya telah berhenti bergerak di dalam rahimnya.
Satu-satunya cara untuk membantu Aya adalah dengan menginduksi persalinan. Proses induksi akan memberikan dampak emosional dan fisik yang lebih menyakitkan karena tubuh Aya secara alami belum siap untuk melahirkan.
“Saya benar-benar shock dan tidak bisa berhenti menangis. Tetapi saya mencoba menenangkan diri dan merenungkan keadaan ini. Mungkin lebih baik jika anak ini tidak dilahirkan dalam kesengsaraan. Mungkin Allah telah menyelamatkannya dari penderitaan,” kata Aya.