Ketika Hassan dan Sami menuju hotel, milisi memeriksanya, mereka menodongkan senjata dan Hassan ditelungkupkan di jalan
InfoMalangRaya.com | PERANG saudara di Sudan menyisakan banyak cerita dramatis. Salah satunya kisah penyelamatan oleh dua orang mahasiswa, sebagaimana ditulis di The New York Times (05/05/2023) ini:
Namanya Hassan Tibwa (25) dan Sami al-Gada (23). Keduanya mahasiswa tingkat akhir jurusan teknik mesin di Universitas Internasional Afrika, Khartoum. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka nyambi bekerja sebagai sopir taksi.
Pada hari-hari pertama perang Sudan, keduanya merasa tidak berdaya. Mereka mengunci diri di apartemennya di Khartoum, sambil terus memantu situasi melalui Twitter.
Pada hari kelima, 19 April 2023, telepon berdering. Rupanya ada seseorang yang membutuhkan taksi. Dia seorang pejabat senior PBB, wanita berusia 40-an, yang terjebak di dalam rumahnya di daerah elite di Khartoum.
Meski menjadi sopir taksi, dalam situasi perang, Hassan dan Sami tidak lagi berpikir tentang tarif. Mereka hanya ingin membantu warga yang terjebak perang.
“Dia berteriak. Kami hanya punya beberapa menit sebelum ponselnya mati (karena kehabisan batere). Dia sendirian,” Hassan mengisahkan pembicaraannya di ponsel dengan wanita itu.
Menembus “Neraka”
Hassan Tibwa dan Sami al-Gada bergegas melompat ke mobilnya, taksi Toyota yang sudah usang. Begitu menyusuri jalanan Khartoum, suasananya sungguh mencekam.
Lubang bekas peluru ada di banyak bangunan. Kendaraan hangus berserakan di jalanan. Para milisi pun bertebaran.
Taksi itu menembus desingan peluru, juga melewati pos-pos pemeriksaan yang dijaga milisi, beberapa mengenakan perban atau pincang. Mereka bolak-balik diinterogasi, sehingga perlu waktu sekitar satu jam untuk menempuh jarak empat mil saja.
“Kami melewati ‘neraka,” kata Hassan.
Keduanya akhirnya berhasil menemukan pejabat PBB itu, namanya Patience. Dia sendirian di apartemennya yang sepi.
Dia mengaku telah bersembunyi di kamar mandi selama berhari-hari. Wanita itu juga menunjukkan lubang peluru di dinding ruang tamu.
Hassan dan Sami segera mengatur siasat bagaimana agar bisa menyelamatkannya. Muncullah ide, wanita itu diminta mengenakan gamis abaya yang menutupi seluruh tubuhnya. Jika diperiksa oleh milisi, maka mereka akan memberitahu bahwa wanita itu sedang hamil dan harus pergi ke rumah sakit.
Sebelum berangkat, mereka berhenti sejenak untuk berdoa. “Kami tahu bahwa saat kami melangkah keluar, tidak ada jalan kembali,” kata Hassan.
Sekitar 45 menit kemudian dan melewati 10 pos pemeriksaan, mereka tiba di Hotel Al-Salam. Salah satu hotel termahal di Khartoum itu kini menjadi kamp pengungsi. Patience menangis, lega.
Beberapa saat kemudian, wanita itu bertanya kepada Hassan dan Sami, “Bisakah kalian kembali dan menyelamatkan teman-teman dan orang lainnya?”
Selama minggu berikutnya, Hassan dan Sami berhasil menyelamatkan lusinan orang. Dalam proses penyelamatan itu, mereka pernah dirampok, diborgol, dan diancam akan dieksekusi.
Para milisi menuduh mereka sebagai mata-mata. “Keberanian mereka sungguh luar biasa. Sangat mengesankan, sangat berani,” kata Fares Hadi, seorang manajer dari sebuah perusahaan di Aljazair, salah satu yang berhasil diselamatkan.
Ketika tulisan ini dibuat, setidaknya ada 60 orang yang telah dibantu oleh Hassan dan Sami. Mereka ada guru dari Afrika Selatan, diplomat Rwanda, pekerja bantuan Rusia, dan pekerja PBB dari banyak negara, termasuk Kenya, Zimbabwe, Swedia, dan Amerika Serikat.
Hampir semuanya mengisahkan proses penyelamatan yang menegangkan, ketika lembaga-lembaga besar dan aparat keamanan tidak dapat ditemukan. “Satu-satunya kata untuk mereka adalah pahlawan,” kata seorang pejabat PBB yang tidak mau disebut namanya.
Dia ingin menghindari kritik publik karena organisasinya disebut telah gagal bahkan untuk menyelamatkan karyawannya sendiri. “Dalam situasi penuh kekacauan, ketakutan, pengeboman, Sami dan Hassan muncul,” ujarnya.
Penyelamatan Darurat
Di saat Hasan Tibwa muncul sebagai pahlawan, keluarganya sendiri bahkan tidak tahu dia ada di Sudan. Pemuda enerjik ini berasal dari Tanzania, tiba di Sudan tahun 2017.
Sebuah badan amal Islam memberikan beasiswa untuk belajar di Universitas Internasional Afrika, Khartoum.
Orangtuanya kurang setuju jika Hassan kuliah di Sudan, sebab kondisi keamanannya tidak menentu. Itulah sebabnya, Hassan mengaku kuliah di Aljazair. “Kebohongan” ini dengan mudah dipertahankan selama enam tahun, karena dia tidak pernah punya cukup uang untuk pulang.
Sedangkan Sami adalah orang Sudan, tetapi dibesarkan di kota sepi di timur laut Arab Saudi. Ia ikut ayahnya yang bekerja sebagai montir mobil.
Sebagai sopir taksi, Hassan sering melayani para pejabat PBB. “Semua orang mengenal Hassan, pria yang luar biasa,” kata seorang warga Kenya.
Ketika politik bergolak di Sudan tahun 2019, Sami turut berunjuk rasa menggulingkan Presiden Omar Hassan al-Bashir, yang telah berkuasa di di Sudan selama 30 tahun.
Namun ketika perang saudara berkobar belakangan, dua sahabat karib ini tidak terlalu memikirkan. Bahkan ketika pertengahan April lalu terjadi huru-hara, mereka tetap beraktivitas seperti biasa.
Namun ketika Sami ke kampus untuk menyerahkan tugas makalah, penjaga menyuruhnya pulang. Katanya, kali ini bukan cuma ada demonstrasi, tetapi perang.
Sudan meledak menjadi ajang baku tembak. Perang dengan cepat menyebar ke pusat kota, di sekitar markas militer dan bandara internasional.
Zona itu berbatasan dengan dua distrik elite di Khartoum: Khartoum 2, dikenal sebagai K2, dan al-Amarat, yang dipenuhi kedutaan besar, kantor PBB, serta rumah orang asing dan orang-orang kaya.
Milisi menyerbu kawasan elite itu. Mereka mendobrak rumah-rumah, naik ke atap, membobol pintu, dan dalam beberapa kasus, merampok.
Duta Besar Uni Eropa diserang di rumahnya. Sebuah peluru mendarat di luar pintu depan duta besar Inggris, tetapi gagal meledak.
Sebuah konvoi Amerika juga diserang. PBB yang mempekerjakan 800-an karyawan pun seperti tak berdaya.
Sebenarnya Hassan dan Sami bukanlah satu-satunya tim penyelamat. Komite Perlawanan Lokal, yang dibentuk bertahun-tahun sebelumnya untuk mendorong Sudan menuju demokrasi, juga terus berkeliling membantu warga menyelamatkan diri.
Namun bagi sebagian warga, kedua mahasiswa itu adalah satu-satunya pilihan. “Mereka memanggil kami. Mereka tidak punya makanan dan tidak memiliki kekuatan. Ponsel mereka mati. Kami mencoba membayangkan diri kami dalam situasi yang sama. Jadi, kami berusaha membantunya,” kata Hassan.
Hassan pernah menerima pesan darurat dari seorang pejabat PBB yang dicekam ketakutan. Penjaga di gedungnya telah menghilang, sementara milisi hanya memberi waktu tiga jam kepada warga untuk keluar.
Rupanya kaum milisi ingin menempati gedung itu. “Dia mengirim pesan dan panik. Dia benar-benar sudah pasrah. Kami kemudian berjanji untuk menjemputnya,” kata Hassan.
Ketika itu Sami sempat ragu. Sebab keadaan hampir gelap, dan gencatan senjata yang rapuh akan segera berakhir.
Keduanya sempat beradu argumen. “Kami sempat tegang satu sama lain,” kata Hassan.
Akhirnya mereka memutuskan untuk berangkat. Dan di apartemen para pejabat PBB itu, mereka menemukan lebih dari yang dibayangkan: 15 orang! Termasuk pasangan Korea dengan dua anak, yang diusir oleh tetangganya yang menjadi istri komandan milisi.
Saat itu, Hassan dan Sami memimpin konvoi tiga kendaraan. Di pos pemeriksaan, jendela kendaraan diturunkan, untuk menunjukkan bahwa mereka mengangkut wanita dan anak-anak.
Dalam waktu yang sama, pertempuran terus terjadi dimana-mana, bahkan ada serangan udara. Danielle Boyles (27), seorang guru prasekolah dari Afrika Selatan, meringkuk di balik gamis abaya di mobil kedua.
Di salah satu pos pemeriksaan, seorang milisi mengancam akan menembaknya. Dia gemetar dan berdoa.
“Ketika milisi itu mengokang senjata, saya pikir dia sudah mati,” kenang Hassan.
Konvoi itu akhirnya berhasil tiba di Hotel Al-Salam. Mereka semua segera terduduk kelelahan.
Ditodong Kalashnikov
Hotel Al-Salam, salah satu hotel terbaik di Khartoum, seketika berubah menjadi kamp pengungsi. Pada hari ke-5 perang, semua 236 kamar dan suite telah ditempati, beberapa di antaranya menampung enam orang. Makanan pun harus dijatah, karena keterbatasan logistik.
Banyak peluru yang nyasar menembus jendela lobi dan kamar tamu. Saat pertempuran sengit meletus di Africa Street, di luar gerbang utama, para tamu berkerumun di ruang bawah tanah dan loker gym.
Ketika itu masih bulan Ramadhan. Hassan dan Sami menjatuhkan diri ke sofa setelah misi penyelamatan yang melelahkan dan menegangkan.
Meski sedang berpuasa, mereka terus menjalankan misi penyelamatan. Beberapa tamu memintanya untuk ke rumah lagi, mengambil barang-barang berharga seperti paspor, laptop, atau bahkan anjing dan kucing peliharaan.
Rumah-rumah itu telah kosong, listrik mati, sehingga mereka harus berjalan dengan penerangan lilin, dipandu video call untuk mencari lokasi-lokasi privat. Mereka menutup hidung saat melewati lemari es yang berisi makanan busuk.
Ketika Hassan dan Sami menuju hotel, milisi di pos pemeriksaan tampak curiga. Ponsel diperiksa namun Sami tak membolehkannya. Terjadilah perdebatan. Milisi itu menodongkan senjata dan Hassan ditelungkupkan di jalan.
Sebuah senapan Kalashnikov terkokang di kepalanya. Fares Hadi yang duduk di kursi mobil belakang, turut gemetaran.
“Saya seperti menunggu otaknya muncrat ke wajah saya,” katanya.
Hassan dan Sami terus meyakinkan milisi itu, hingga 15 menit kemudian mereka dibolehkan jalan lagi. Tubuh mereka semua basah oleh keringat akibat ketakutan.
Saatnya Kembali
Hassan dan Sami juga sempat membantu seorang wanita hamil meloloskan diri menuju Omdurman. Perjalanan melintasi Sungai Nil ke kota itu sungguh dramatis.
Wanita yang menyebut dirinya bernama Fifi itu tengah hamil delapan bulan. Dia telah terjebak bersama putranya yang masih kecil selama 10 hari.
Saat itu, eksodus orang asing dari Khartoum sedang berlangsung. Tentara Amerika Serikat melakukan evakuasi dengan helikopter.
Pesawat militer Inggris, Prancis, dan Turki juga mendarat di landasan udara di utara Khartoum. Sebagian besar pengungsi di Hotel Al-Salam akhirnya pergi dengan konvoi bus, mobil, dan kendaraan PBB, menempuh perjalanan 35 jam yang melelahkan ke Port Sudan, 525 mil jauhnya.
Mereka kemudian naik kapal menyeberangi Laut Merah ke Arab Saudi. Seorang komandan milisi yang kenal dengan Hassan dan Sami mengingatkan bahwa “sesuatu yang besar akan datang” di pusat kota.
Dia menyarankan agar mereka segera keluar selagi bisa. Hassan dan Sami kemudian berkemas, lalu pergi dengan mobil kesayangannya sejauh 14 mil ke tepi ibukota. Di situ ada saudara Sami.
Hassan sebenarnya ingin tetap tinggal di Sudan, negara yang telah dia cintai. Apalagi dia tinggal satu semester lagi untuk menyelesaikan gelar tekniknya. Tapi, waktunya telah habis.
Pada hari Rabu lalu, Sami mengantar Hassan ke sebuah tempat. Sahabatnya itu hendak naik bus ke Ethiopia, kemudian lanjut ke Tanzania.
Hassan merasa sedih. Terbayang bahwa orangtuanya akan mengetahui bahwa ternyata dia belajar di Sudan, bukan di Aljazair.
“Sampai jumpa lagi,” keduanya berpisah.*/Pambudi
Leave a Comment
Leave a Comment