Potensi Ekonomi yang Menggerakkan Industri Sepak Bola Usia Muda
Sepak bola merupakan olahraga yang paling diminati di Indonesia. Selain menjadi hiburan bagi masyarakat, olahraga ini juga memiliki peran penting dalam membangun ekonomi nasional. Salah satu sektor yang menunjukkan pertumbuhan signifikan adalah kompetisi sepak bola usia muda. Tidak hanya sebagai ajang pembinaan bakat, kompetisi ini kini berperan sebagai mesin penggerak industri olahraga.
Setiap tahun, ratusan turnamen kelompok usia digelar di berbagai daerah. Mulai dari U-9 hingga U-17, kompetisi ini diselenggarakan oleh berbagai penyelenggara seperti sekolah sepak bola (SSB), akademi, dan operator swasta. Selain itu, dukungan aktif dari PSSI dan program pembinaan usia dini dari pemerintah juga turut mendukung perkembangan kompetisi ini.
Di balik persaingan ketat di lapangan, kompetisi sepak bola usia muda menciptakan efek ekonomi yang luas. Perputaran uang terjadi melalui berbagai bentuk, termasuk sewa lapangan, akomodasi, transportasi tim, konsumsi, penjualan merchandise, serta belanja perlengkapan tim dan kontribusi dari UMKM lokal. Dengan jumlah peserta yang besar, potensi ekonomi dari kompetisi ini sangat besar.
Deputi Bidang Industri Olahraga Kemenpora, R Isnanta, mengakui bahwa biaya yang dikeluarkan oleh para operator kompetisi usia muda tidaklah kecil. Namun, ia menilai potensi keuntungan ekonomi tetap ada. “Berbicara soal industri, pasti bicara faktor ekonomi. Jika suatu event tidak menguntungkan, tentu tidak akan dilanjutkan. Namun, karena event ini bisa berjalan, berarti ada potensi keuntungan di situ,” katanya.
Beberapa operator sepak bola usia dini seperti Liga Topskor, Indonesia Grassroot Championship, dan lebih dari 15 organisasi lainnya yang tergabung dalam APSUMSI antara lain FORSGI, BLiSPI, GEAS Indonesia, Komunitas Jujur, FOSSBI, Fosbolindo, GoBolaBali, ASBI, Liga Sentra, SBAI, Dream Come True (DCT), dan lainnya. Setiap tahun, masing-masing operator menggelar kompetisi berjenjang mulai dari seri daerah hingga nasional dengan rata-rata partisipasi lebih dari 2000 atlet per operator.
Biaya pendaftaran per tim bisa mencapai Rp500 ribu, dan jika ada ribuan klub yang ikut, maka potensi pendapatan mencapai puluhan miliar rupiah. Belum lagi biaya tambahan seperti akomodasi, konsumsi, dan transportasi. Contohnya, satu tim bisa mengeluarkan sekitar Rp25 juta per kompetisi. Dengan 5.000 tim yang terlibat, total perputaran uang bisa mencapai Rp125 miliar.
Selain itu, banyak UMKM lokal yang merasakan dampak positif dari kompetisi ini. Hotel, warung makan, dan usaha kecil lainnya meningkatkan penjualan saat event berlangsung. Bahkan, ratusan mobil disewa untuk membawa tim bertanding. Dari sini terlihat betapa besar pengaruh kompetisi usia muda terhadap perekonomian daerah.
Contoh lainnya adalah Piala Soeratin Jawa Timur 2025. Biaya operasional PSSI Jatim untuk tiga kategori usia mencapai Rp3,5 miliar, termasuk pengadaan lapangan, wasit, dan keamanan. Jika ditambah pengeluaran klub dan konsumsi penonton, total perputaran uang diperkirakan mencapai Rp10 miliar lebih.
Sementara itu, Indonesia Grassroot Championship Cup 2025 yang digelar di Surakarta berhasil menarik sekitar 2.500 orang, termasuk pemain, pelatih, orang tua, dan ofisial. Perputaran uang dari ajang ini mencapai Rp15 miliar dalam dua hari pelaksanaan.
Fenomena ini membuktikan bahwa kompetisi usia muda bukan hanya sebagai ajang pencarian bakat, tetapi juga menjadi sektor strategis dalam industri olahraga. Selain meningkatkan partisipasi masyarakat, event ini juga mampu menggerakkan ekonomi lintas sektor, mulai dari olahraga, pariwisata, hingga UMKM. Dengan potensi ekonomi yang begitu besar, kompetisi sepak bola usia muda akan terus berkembang dan menjadi bagian penting dari industri olahraga nasional.