Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri Diperkenalkan oleh LSF
Di tengah meningkatnya kasus anak-anak yang terpapar konten dewasa dan kekerasan, Lembaga Sensor Film (LSF) meluncurkan Gerakan Nasional Budaya Sensor Mandiri. Gerakan ini bertujuan untuk menempatkan tanggung jawab pemilihan tontonan pada keluarga dan masyarakat secara umum, dengan fokus utama pada klasifikasi usia.
Gerakan tersebut diumumkan dalam sebuah acara literasi dan nonton bareng film Siapa Dia di Empire XXI Yogyakarta, Jumat (28/11/2025). Acara ini menjadi momen penting bagi LSF untuk menyampaikan transformasi besar-besaran yang sedang dilakukan lembaga tersebut. Sebelumnya, LSF dikenal sebagai institusi yang mengedit atau memotong adegan film, tetapi kini lembaga ini lebih berfokus pada edukasi, dialog, dan penggolongan usia sebagai mekanisme perlindungan masyarakat.
Ketua Subkomisi Sosialisasi LSF, Titin Setiawati, menjelaskan bahwa paradigma penyensoran film kini tidak lagi berbasis pemotongan adegan. Ia menegaskan bahwa seluruh catatan penyensoran sekarang diberikan kepada pemilik film untuk ditindaklanjuti, sementara LSF fokus pada penerapan klasifikasi usia secara konsisten.
“Selama ini banyak yang menganggap LSF itu tukang potong film. Tetapi LSF yang baru tidak lagi memotong atau mengaburkan adegan,” ujar Titin.
Ia menambahkan bahwa proses sensor kini berfokus pada ketepatan penggolongan usia. “Kami menonton film dari awal sampai akhir, membuat catatan menit dan detiknya, lalu mengembalikan catatan itu kepada pemilik film. Keputusan revisi sepenuhnya ada pada produser karena hak cipta milik mereka,” tambahnya.
Penerbitan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) maksimal berlangsung tiga hari kerja. Empat klasifikasi yang digunakan adalah semua umur, 13+, 17+, dan 21+. Konsistensi klasifikasi usia ini menjadi inti perlindungan, mengingat penelitian LSF pada 2023 menunjukkan hanya 46 persen tontonan ditonton sesuai kelompok usia.
Menurut Titin, ketidaksesuaian tontonan itu berkontribusi pada paparan konten berisiko, mulai dari pornografi, kekerasan, hingga tindakan berbahaya yang meniru adegan di layar.
“Kita hidup di era informasi berlimpah. Karena itu, kita sendiri yang harus menyaring tontonan untuk diri dan keluarga,” ujarnya.
LSF juga bekerja sama dengan Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI). Jika terjadi kesalahan penggolongan usia saat membeli tiket langsung di bioskop, tiket dapat ditukar. Namun, penukaran tidak berlaku untuk pembelian melalui platform daring.
Film Siapa Dia sebagai Sarana Edukasi
Pada kesempatan yang sama, sutradara Garin Nugroho menjelaskan latar kreatif film Siapa Dia, yang diproduksi di Semarang, Yogyakarta, dan Salatiga. Ia menyebut film musikal itu sebagai cara lain untuk membaca sejarah sinema Indonesia.
“Film ini ditopang oleh berbagai rujukan film populer dan menggambarkan perjalanan sinema dari era 70-an sampai 2020-an,” kata Garin.
Ia menilai film tersebut dapat menjadi sarana edukatif bagi penonton di berbagai daerah. “Ini cara kreatif untuk mengenalkan sejarah kepada publik,” ujarnya.
Melalui gerakan ini, LSF berharap publik semakin memahami pentingnya memilih tontonan sesuai batas usia. Pada saat yang sama, lembaga ini mendorong ekosistem perfilman nasional untuk mengedepankan dialog, transparansi, dan kerja sama dalam memastikan film dapat diakses publik secara aman tanpa mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan hak cipta.







