InfoMalangRaya – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto membeberkan hasil Survei Penilaian Integritas Pendidikan 2024 yang menunjukkan potret suram dunia pendidikan di Indonesia. Dalam paparannya di Universitas Brawijaya (UB), Senin, (21/7/2025), Setyo menegaskan bahwa pelanggaran integritas masih marak terjadi di sekolah maupun perguruan tinggi, mulai dari praktik menyontek, gratifikasi, hingga pengadaan barang yang sarat penyimpangan. Data KPK mengungkap fakta mencemaskan: 58 persen mahasiswa mengaku pernah menyontek, sementara 98 persen kampus masih dibayangi perilaku akademik tak jujur. Bahkan, 45 persen dosen terindikasi melakukan plagiarisme dalam aktivitas akademiknya.
Baca Juga :
Peringati Hari Bhakti Adhyaksa, Berikut Pesan Ketum DPP LDII
Namun, masalahnya tak berhenti di situ. Ketidakdisiplinan akademik juga mencolok: 84 persen mahasiswa tercatat sering datang terlambat, disusul 96 persen dosen yang sering terlambat mengajar, bahkan ada dosen yang sama sekali tidak hadir tanpa alasan jelas di 96 persen kampus. Sementara itu, praktik gratifikasi dan suap dalam dunia pendidikan tak kalah memprihatinkan. 30 persen guru dan dosen, serta 18 persen kepala sekolah dan rektor, menganggap pemberian hadiah dari siswa atau wali murid sebagai sesuatu yang wajar. Padahal, dalam perspektif hukum dan etika, ini adalah bentuk penyimpangan integritas. “Jika ruang akademik kehilangan integritas, maka bangsa ini kehilangan pondasi masa depannya,” tegas Setyo Budiyanto dihadapan mahasiswa dan akademisi UB. Menurut data pengaduan yang diterima KPK, korupsi di lingkungan perguruan tinggi kini telah berkembang secara sistematis. Modusnya tak lagi sekadar pungli kecil-kecilan, tetapi menjangkau hal strategis seperti pengelolaan aset negara, penerimaan mahasiswa, hingga pemilihan rektor. Berikut beberapa pola korupsi yang teridentifikasi antara lain, Pengelolaan Aset dan Anggaran: jual beli tanah negara, penyalahgunaan aset kampus. Keuangan Internal: manipulasi dana penelitian, sumbangan siswa, hingga tunjangan dosen. Dalam hal penerimaan mahasiswa: terjadinya suap dan pungutan liar dalam seleksi. Pemilihan Rektor: praktik suap, manipulasi dokumen, dan penyimpangan prosedur. Kemudian, pengadaan barang dan proyek: adanya rekayasa tender, mark-up anggaran, hingga konflik kepentingan. Dan terjadi juga gratifikasi, dimana terdapat pemberian makanan hingga kendaraan terkait penyusunan anggaran dan jabatan. “Ini bukan lagi praktik individu, tetapi sudah menyerupai sistem yang berjalan sendiri,” ujar Setyo. Di hadapan publik, Setyo Budiyanto juga menyayangkan fenomena sosial di mana masyarakat hanya gaduh saat ada penangkapan koruptor, lalu kembali diam seolah kasus tersebut selesai begitu saja. “Begitu habis tangkap, ramai semua komentar. Setelah itu, landai lagi. Seolah-olah dosa itu milik individu. Padahal, ini tanggung jawab kolektif,” ujarnya. Untuk itu, KPK kini tengah mengubah pendekatan, dari sekadar penindakan ke strategi pencegahan sistemik, termasuk penguatan regulasi dan pemulihan keuangan negara melalui pengembalian aset (asset recovery) dalam skala besar.
Baca Juga :
Hari Bhakti Adhyaksa Diperingati 22 Juli, Tapi Tahukah Kamu Sejarah Asli Kejaksaan RI?
“Korupsi saat ini semakin kompleks. Modusnya berubah, dan kami juga harus menyesuaikan cara kerja. Penindakan bukan satu-satunya jalan,” jelasnya. Kendati terus bergerak, KPK menghadapi hambatan struktural, salah satunya adalah keterbatasan jangkauan karena tidak memiliki kantor cabang di daerah. Namun, Setyo menegaskan, tim KPK selalu siap bergerak ke manapun jika dibutuhkan, baik dalam bentuk pencegahan maupun penindakan. Ia juga menyinggung lemahnya regulasi antikorupsi di Indonesia. Meski Undang-Undang Tipikor sudah beberapa kali direvisi, namun belum menyentuh isu penting seperti trading in influence (penyalahgunaan pengaruh jabatan), serta suap di sektor swasta yang sering kali tidak terjangkau hukum. “Misalnya, ada pejabat tinggi yang paksa anaknya masuk kampus, minta rektor untuk terima, ini bentuk penyalahgunaan pengaruh. Tapi, regulasi kita belum bisa menjangkaunya,” ungkapnya. Lebih lanjut, Setyo mendukung penuh usulan Presiden terkait UU Perampasan Aset dan UU Transaksi Uang Kartal untuk memperkuat instrumen pemberantasan korupsi. Lebih lanjut dijelaskannya, Indonesia kini berada di tengah bonus demografi, dengan jumlah penduduk usia produktif yang besar. Namun, menurut KPK, tanpa integritas di ruang pendidikan, keunggulan ini justru bisa berubah menjadi beban. “Bonus demografi bisa jadi musibah kalau ruang akademik kita busuk oleh suap, ketidakjujuran, dan penyalahgunaan kekuasaan,” tandas Setyo. Di ujung paparannya, Setyo mengajak semua pihak, baik pendidik, mahasiswa, hingga masyarakat, untuk aktif menjaga integritas sebagai benteng utama masa depan bangsa.