Jakarta (IMR) – Universitas Paramadina bersama Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) menggelar diskusi publik bertajuk “Menyalakan Lilin di Kegelapan: Refleksi dan Keprihatinan Bersama Masyarakat Sipil” pada Minggu (31/8/2025) melalui Zoom Meeting.
Agenda ini menjadi wadah refleksi atas situasi sosial-politik Indonesia yang dinilai kian memprihatinkan.
Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, menegaskan bahwa arah politik bangsa harus dipahami dalam dua perspektif: jangka pendek serta jangka menengah-panjang.
“Kondisi mendesak hari ini membutuhkan peran mahasiswa, tetapi perjuangan harus tetap terarah. Politik uang dan degradasi reformasi harus dikritisi. Sistem politik yang terlalu liberal hanya menguntungkan pihak berduit,” ujarnya.
Ia juga menyoroti lemahnya kelembagaan sejak era Presiden Joko Widodo, masuknya figur bermasalah dalam kabinet juga terutama dominasi anggaran oleh Polri dan TNI.
“Kerusakan kelembagaan sudah masif. Reformasi sejati nyaris tidak terlihat,” tegas Didik.
LP3ES Dorong Reformasi Jilid 2
Direktur Eksekutif LP3ES, Fahmi Wibawa, menilai kerja sama lintas sektor penting untuk menghadapi arus disinformasi yang berpotensi memicu konflik.
“Jangan sampai anak bangsa dikorbankan hanya demi mempertahankan kepentingan sempit. Sejak awal 2025, kami sudah mendorong gagasan Reformasi Jilid 2 untuk memperbaiki kualitas demokrasi,” jelas Fahmi.
Senada, Direktur Center Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto, menilai praktik politik dewasa ini semakin menjauh dari semangat reformasi.
“Elite semakin jauh dari publik. Wakil menteri rangkap jabatan, kabinet gemuk, dan ekonomi menekan rakyat dengan pajak, sementara tunjangan elite justru naik,” ujarnya.
Wijayanto juga menyoroti kembali menguatnya praktik dwifungsi militer dan polisi. Ia menekankan perlunya langkah korektif untuk mengembalikan kepercayaan publik.
“Yang kita butuhkan sekarang adalah kembali pada amanah konstitusi. Semua bentuk kekerasan terhadap sipil harus diharamkan. Kepercayaan publik hanya dapat pulih jika konstitusi dijadikan pijakan utama” tegasnya.

Akademisi Kritisi Represi Aparat
Ketua Prodi Magister Hubungan Internasional Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, menyebut situasi nasional sebagai wake-up call bagi pemangku kebijakan.
“Setiap kebijakan harus rasional, akuntabel, dan transparan. Kebebasan berekspresi dijamin konstitusi, jangan sampai situasi Jakarta berujung pada letupan seperti di Thailand atau Mesir,” ungkapnya.
Sementara itu, akademisi Fakultas Hukum UGM, Herlambang P. Wiratraman, menilai kebijakan publik sering mengorbankan rakyat. “HAM yang dijamin konstitusi dilanggar secara terang-terangan. Jika supremasi sipil tidak diperkuat, pelanggaran HAM akan terus berulang,” katanya.
Kritik Terhadap Strategi Represif
Direktur Eksekutif PUSKAPOL UI, Hurriyah, melihat gelombang aksi massa sebagai akibat dari ruang sipil yang makin sempit.
“Produk kebijakan dibuat ugal-ugalan, menguntungkan pejabat, dan merugikan rakyat. Kritik publik justru diframing sebagai ancaman,” ujarnya.
Pemikir kebhinekaan, Sukidi, juga menekankan pentingnya kepemimpinan nasional yang berpihak pada rakyat. “Polisi harus kembali menjadi pengayom rakyat, bukan alat represif,” ucapnya.
Suara Mahasiswa: “Reformasi Belum Tuntas”
Sekjen Serikat Mahasiswa Universitas Paramadina 2023–2025, Afiq Naufal, menilai jatuhnya korban dalam aksi menjadi pengingat mahalnya harga kemanusiaan.
“Kemarahan publik harus dibaca sebagai momentum tobat sistemik, sebuah kesadaran kolektif bangsa,” tegasnya.
Pernyataan itu diperkuat oleh penerusnya, Hudan Lil Muttaqin (Sekjen Paramadina 2025–2026), yang menyoroti kriminalisasi dan framing anarkisme. “Demokrasi gagal pada level substansial. Suara kampus penting untuk menunjukkan bahwa keadaan tidak baik-baik saja,” ujarnya.
Tuntutan Penghentian Represi Digital
Direktur KONDISI, Damar Juniarto, mengingatkan agar kemarahan publik tidak dilabeli sebagai gerakan asing. “Masyarakat yang marah jangan dihadapi dengan kekerasan, negara harus mendengar,” tegasnya.
Hal serupa disampaikan Direktur Eksekutif SAFEnet, Nenden S. Arum, yang menyoroti represi digital. “Kami melihat pemblokiran akun, kriminalisasi aktivis, hingga pembatasan internet saat aksi. Ruang digital harus dilindungi bersama agar tidak memperburuk konflik horizontal,” ujarnya.
Seruan Kebangkitan Masyarakat Sipil
Diskusi publik ini memperlihatkan satu benang merah: masyarakat sipil menolak diam atas krisis demokrasi dan represi aparat. Seruan perbaikan partai politik, reformasi kelembagaan, penghentian represi digital, hingga Reformasi Jilid 2 mengemuka sebagai solusi menghadapi ketidakpastian politik Indonesia. (ted)