Infomalangraya.com – Kasus kekerasan dalam rumah tangga terjadi di Desa Noongan, Kecamatan Langowan, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, Jumat 10 Oktober 2025.
Pelaku bernama berinisial KW alias Kliv, sedangkan korbannya berinisial VM alias Vita.
Kliv dan Vita merupakan pasangan suami yang tinggal di Desa Noongan.
Kanit Resmob Polres Minahasa Aipda Hendra Mandang, SH, menjelaskan kronologi terjadi penganiayaan ini.
Kasus ini bermula ketika terduga pelaku pulang ke rumahnya dan menegur korban karna tidak membersihkan rumah.
Kemudian terduga pelaku langsung memaki maki korban dan memarahi korban, karena merasa takut korban langsung keluar dari rumah.
“Tak berselang lama korban kembali ke rumahnya, saat itu terduga pelaku langsung mengajak korban untuk pergi ke tempat yang korban datangi sebelumnya.
Kemudian pada saat korban masuk dalam mobil terduga pelaku menendang korban dan memukul korban hingga sampai saat kembali ke rumahnya, terduga pelaku tidak berhenti melakukan tindakan tersebut hingga korban mengalami lebam dan memar di wajah bagian dagu, kepala, kaki,dan tangan atas kejadian tersebut,” jelas Aipda Hendra, Senin (13/10/2025).
Hendra menjelaskan karena korban tidak terima atas perbuatan itu, akhirnya membuat laporan resmi di Polres Minahasa.
“Dapat laporan, tim langsung menangkap terduga pelaku dan langsung dibawah ke mako Polres Minahasa dan di serahkan ke piket Reskrim untuk di proses sesuai dengan hukum yang berlaku,” pungkasnya.
Jenis-jenis KDRT
Di Indonesia ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU No. 23 Tahun 2004).
UU tersebut merupakan jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah KDRT, menindak pelaku, dan melindungi korban.
KDRT tidak hanya terbatas pada kekerasan fisik, namun setiap bentuk kekerasan yang berakibat pada timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Menurut aturan hukum, ada beberapa jenis KDRT yang perlu diketahui oleh masyarakat.
Pertama, kekerasan fisik, yakni setiap perbuatan yang menyebabkan adanya bekas luka, baik luka ringan atau luka berat, timbul rasa sakit dan nyeri, hingga menyebabkan kematian.
Kedua, kekerasan psikis, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Ketiga, kekerasan seksual. Perbuatan yang dikualifikasikan sebagai bentuk ini adalah pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Termasuk pula pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Keempat, penelantaran rumah tangga. Ketentuan yang berkaitan dengan hal ini ada di Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2004.
Pada ketentuan tersebut diatur bahwa setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Hukuman Bagi Pelaku KDRT
Ancaman Pidana terhadap pelaku KDRT diatur lebih lanjut dalam BAB VIII UU No. 23 Tahun 2004.
Apabila pelaku melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda Rp 15 juta.
Apabila KDRT fisik mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat, dapat dipidana penjara paling lama 10 tahun dan denda Rp 30 juta.
Apabila tindakan KDRT fisik mengakibatkan matinya korban, maka pelaku diancam pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda Rp 45 juta.
KDRT fisik yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp 5 juta.
Kemudian, terhadap pelaku kekerasan psikis Pasal 45 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 memberikan ancaman pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 9 juta.
Apabila KDRT psikis tidak mengakibatkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau kegiatan sehari-hari diancam pidana paling lama 4 bulan dan denda Rp 3 juta.
Terhadap pelaku perbuatan kekerasan seksual dengan pemaksaan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga, diatur ancaman pidana penjara paling lama 12 tahun dan denda Rp 36 juta.
Pada Pasal 49 UU No. 23 Tahun 2004 diatur tentang ancaman pidana terhadap pelaku penelantaran rumah tangga, yakni penjara paling lama 3 tahun dan denda Rp 15 juta.
Semua bentuk dugaan tindak pidana KDRT termasuk dalam kualifikasi delik aduan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 51, 52, dan 53 UU No. 23 Tahun 2004.
Perlindungan bagi korban
Pada tataran normatif, di Indonesia diatur bahwa setiap korban KDRT memiliki hak dan perlindungan hukum. Hak-hak hukum korban KDRT di antaranya diatur dalam Pasal 10 UU No. 23 Tahun 2004.
Korban KDRT berhak mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis. Korban juga berhak atas pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan.
Selain itu, korban berhak pula atas perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya, baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah pengadilan.
Terkait perlindungan, Pasal 16 UU No. 23 Tahun 2004 mengatur bahwa dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan KDRT, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban.
Perlindungan sebagaimana tersebut diberikan paling lama 7 hari sejak korban diterima atau ditangani.
Lebih lanjut, untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dapat melakukan upaya penyediaan ruang pelayanan khusus di kantor kepolisian, penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial, dan pembimbing rohani.
Selain itu, pemerintah juga dapat membuat dan mengembangkan sistem dan mekanisme kerja sama program pelayanan guna mudah diakses oleh korban;
Pemerintah pun dapat memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga, dan teman korban.
Pembuktian KDRT
Pada Pasal 55 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2004 diatur mengenai kekhususan alat bukti dalam proses laporan dugaan tindak pidana KDRT.
Ditegaskan bahwa sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
Kemudian, pada penjelasan Pasal 55 UU No. 23 Tahun 2004 dijelaskan bahwa alat bukti yang sah lainnya dalam kekerasan seksual yang dilakukan selain dari suami istri adalah pengakuan terdakwa.
Lebih lanjut, berkaitan dengan pembuktian suatu perkara pidana, secara umum dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Penerapan UU No. 23 Tahun 2004 telah banyak digunakan dalam praktik peradilan. Salah satunya dapat dilihat pada Putusan Pengadilan Negeri Donggala Nomor 140/Pid.Sus/2024/PN Dgl Tanggal 15 Agustus 2024.
Suami dalam kejadian tersebut menusuk-nusuk istri menggunakan kunci motor yang mengakibatkan luka-luka pada bagian tubuh korban sebagaimana bukti surat berupa Visum Et Repertum.
Di dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa semua unsur dari pasal 44 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2004 terpenuhi dan Terdakwa telah terbukti secara sah melakukan kekerasan dalam rumah tangga.
Kemudian, setelah membacakan pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 1 tahun 6 bulan.
Perlindungan hukum bagi korban KDRT adalah suatu keniscayaan. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Bagian Penjelasan UU No. 23 Tahun 2004 bahwa keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tenteram, dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga.
Terlebih, Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dijamin oleh Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Karenanya, setiap orang dalam lingkup rumah tangga dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus didasari oleh agama. Hal ini perlu terus ditumbuhkembangkan dalam rangka membangun keutuhan rumah tangga.
Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.
Untuk itu, setiap pihak harus mengambil peran baik guna mewujudkan cita-cita bersama, sebagaimana amanat UUD 1945.
(Infomalangraya.com/Fer)/(Kompas)
–
Ikuti Saluran WhatsApp Tribun Manado dan Google News Tribun Manado untuk pembaharuan lebih lanjut tentang berita populer lainnya.
Baca berita lainnya di: Google News
WhatsApp Tribun Manado: Klik di Sini