
Pembahasan dan pengesahan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru-baru ini telah selesai melalui rapat paripurna DPR. Seluruh fraksi di DPR menyepakati perubahan dan pembaruan yang dilakukan dalam panitia kerja (panja) antara pemerintah dan Komisi III DPR. Meskipun begitu, ada beberapa catatan dari Koalisi Masyarakat Sipil mengenai potensi masalah yang dapat muncul dari sejumlah pasal dalam KUHAP tersebut.
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, pembahasan RUU KUHAP yang singkat dan tidak substansial menyerupai kejadian pada Juli 2025 lalu. Mereka menyampaikan bahwa sejumlah pasal bermasalah, termasuk pasal karet dan pasal yang berpotensi menyebabkan penyalahgunaan wewenang, belum dibahas secara mendalam.

Berikut adalah beberapa pasal dalam KUHAP yang dinilai memiliki potensi masalah:
-
Pasal 16
Penyamaran, operasi undercover buy (pembelian terselubung), dan controlled delivery (pengiriman di bawah pengawasan) biasanya digunakan untuk tindak pidana khusus seperti narkoba. Namun, dalam KUHAP baru, metode ini diperluas untuk semua jenis tindak pidana. Hal ini dinilai berpotensi menjebak siapa saja. -
Pasal 5
Pasal ini memungkinkan penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan penahanan bahkan sebelum adanya konfirmasi terhadap tindak pidana. Ini berisiko memberi ruang bagi petugas untuk menangkap atau menahan seseorang tanpa izin hakim. -
Pasal 90, 93, dan 93 ayat 1
Tindakan seperti penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan penahanan juga bisa dilakukan selama tahap penyelidikan, meskipun tindak pidana belum terkonfirmasi. Hal ini dinilai berpotensi menyebabkan penyalahgunaan wewenang oleh aparat. -
Pasal 105, 112A, 132A, 124
Upaya paksa seperti penggeledahan, penyitaan, dan pemblokiran bisa dilakukan tanpa izin pengadilan dengan alasan keadaan mendesak. RUU KUHAP juga memberi kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan tanpa izin hakim, meskipun undang-undang terkait belum sepenuhnya terbentuk. -
Pasal 74a, 78, 79
Kesepakatan damai antara pelaku dan korban bisa dilakukan sebelum adanya konfirmasi tindak pidana. Hasil kesepakatan damai hanya berupa surat penghentian penyidikan, sedangkan penghentian penyelidikan tidak dilaporkan ke otoritas mana pun, menciptakan ruang gelap dalam proses hukum. -
Pasal 7 dan 8
Polisi diberi kontrol besar karena membawahi semua PPNS dan penyidik khusus lainnya. Selain itu, pemenuhan bantuan hukum dipengaruhi oleh ancaman pidana, padahal seharusnya bantuan hukum merupakan hak yang tidak bergantung pada latar belakang kasus maupun ancaman hukuman. -
Pasal 137A, 99
KUHAP baru membuka peluang penghukuman tanpa batas waktu terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual. Hal ini secara implisit menempatkan mereka sebagai pihak tanpa kapasitas hukum. -
Pasal 332, 334
Potensi kekacauan praktik KUHAP Baru yang diterapkan tanpa adanya peraturan pelaksana akan sangat nyata terjadi setidaknya selama setahun ke depan. Koalisi juga sudah sering menyoroti bahwa kebutuhan mengakomodir perubahan krusial KUHP Baru ternyata belum diatur secara memadai dalam draft terakhir RUU KUHAP.

Sejumlah pasal yang disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil mengalami perubahan dalam KUHAP yang sudah disahkan DPR. Isi lengkap KUHAP:
Berikut Lembar penjelasan KUHAP Baru:
Dengan sudah disahkan KUHAP baru ini, Ketua DPR Puan Maharani berharap tidak ada lagi hoaks yang beredar. KUHAP baru ini bisa dilihat secara detail oleh masyarakat.
“Jadi hoaks-hoaks yang beredar, itu semuanya hoaks, tidak betul dan semoga kesalahpahaman dan ketidakmengertian bisa segera kita sama-sama pahami bahwa itu tidak betul,” ungkap Puan dalam Paripurna yang digelar di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

Hal serupa disampaikan Ketua Komisi III DPR Habiburokhman memastikan KUHAP mengatur dengan detail soal bagaimana penanganan perkara hukum dan diklaim lebih baik dari KUHAP yang lama.
“Ada ini beredar nih ya, semacam poster di media sosial yang isinya tidak benar, ya. Disebutkan ya, kalau RKUHAP disahkan, polisi jadi bisa lakukan ini ke kamu tanpa izin hakim. Ini tidak benar sama sekali,” kata Habiburokhman di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (18/11).
Politikus Gerindra itu menjelaskan ada beberapa ragam kabar tak benar. Misalnya, polisi bisa diam-diam menyadap, merekam, membekukan tabungan sepihak dan menelusuri jejak digital.
Lalu, ada lagi kabar soal pengambilan ponsel, laptop hingga data tanpa izin. Juga kabar penangkapan dan penggeledahan, serta penahanan tanpa konfirmasi pidana bisa dilakukan. Habiburokhman menegaskan semua itu hoaks.
“Ini hoaks, hoaks, bener hoaks ya. Yang benar adalah, ini kami bikin klarifikasinya,” ujar dia.
Habiburokhman menjelaskan, pada pasal 135 ayat 2 KUHAP baru terkait penyadapan belum diatur detail dalam KUHAP. Nantinya, DPR akan membahas UU Penyadapan secara terpisah setelah KUHAP disahkan.
“Jadi belum ada. Penyadapan itu memang ada hak bebas menyadap, tapi pelaksanaan dan pengaturannya akan diatur dengan undang-undang tersendiri soal penyadapan yang akan dibahas kalau KUHAP-nya nanti disahkan,” jelas dia.

Kemudian, pada pasal 139 ayat 2 KUHP, semua bentuk pemblokiran, mulai dari rekening, media sosial, dan berbagai data lainnya, harus melalui izin hakim.
“Lalu menurut pasal 44 KUHAP baru, semua bentuk penyitaan. Nah ini yang soal handphone, laptop apa disita itu ya, tanpa izin hakim. Menurut pasal 44 KUHAP baru, semua bentuk penyitaan harus dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri,” ujar dia.
Lalu, soal penangkapan dan penahanan. Habiburokhman menegaskan semua itu harus sesuai dengan SOP yang berlaku. Tidak bisa orang tanpa indikasi yang jelas.
“Di KUHAP baru, penahanan bisa dilakukan pertama, apabila tersangka mengabaikan panggilan dua kali berturut-turut. Ini kan sangat objektif. Panggil sekali enggak datang, dua kali enggak datang, jelas faktanya,” tutur dia.
“Yang kedua, apabila tersangka memberikan informasi tidak sesuai fakta. Ini kan gampang di-cross check-nya, gitu loh. Ketiga, apabila tersangka menghambat proses pemeriksaan, ya,” tambah dia.
Lalu, seorang tersangka diketahui berupaya melarikan diri, mengulangi tindak pidana, menghilangkan barang bukti, terancam keselamatannya, atau mempengaruhi saksi lain untuk berbohong.
“Ini juga kan termasuk dalam obstruction of justice yang memang merupakan tindak pidana,” kata dia.
“Jadi ya, kalau di KUHAP Orde Baru, orang tuh bisa ditahan hanya dengan tiga kekhawatiran. Satu, khawatir melarikan diri, khawatir menghilangkan alat bukti, khawatir mengulangi tindak pidana, yang pemenuhannya unsur subjektivitasnya hanya ada pada penyidik. Nah, kalau yang di KUHAP baru, ini sangat objektif, sangat bisa dinilai, gitu lho,” ucap dia.







