Oleh: Ady Amar
Fuad Baradja sebagai “Pak Bondan” memang memilih jalan pensiun. Pensiun yang sebenarnya. Tapi tidak sejatinya Fuad Baradja yang terus menulis kebaikan sambil mewarnai lanskap hidup dengan warna-warni keindahan.
Di awal 2000an anak-anak usia dini dan remaja, juga tidak sedikit orang tua membersamai anak-anaknya untuk menonton sinetron “Jin dan Jun”. Sinetron yang kala itu populer menyedot pemirsa. Karenanya, mengangkat nama-nama pemerannya. Fuad berperan sebagai Pak Bondan yang bijak, ayah dari “Jun” (Syahrul Gunawan). Peran Fuad menjadi diperhitungkan.
Setelah itu lahir sinetron lainnya, “Panji Manusia Milenium”. Itu agaknya perjalanan pencarian identitas diri seorang Fuad Baradja. Setelah itu Fuad memilih jalan lain. Jalan sunyi. Jalan yang tidak banyak orang tertarik menjalaninya.
Fuad memilih meninggalkan dunia sinetron/perfileman yang mengangkat namanya. Ia tak perduli meninggalkan dunia bertabur materi.
Fuad memilih jalan hidup baru. Ia memilih kehidupan sebagai aktivis anti rokok. Sebuah dunia yang tak menjanjikan materi sedikit pun. Itu yang ia pernah sampaikan. Tapi Fuad menikmatinya. Enjoy. Sebagai aktivis ia istiqomah dan terus menyuarakan suara lantangnya pada siapa saja tentang bahaya rokok. Beberapa buku karyanya terbit, diantaranya, “Two Thumbs UP”.
Fuad aktif mendatangi undangan yang berkenaan dengan tema bahaya seputar rokok. Dimana saja dan kapan pun ia dengan senang hati memberikan pencerahan dan bahkan terapi pada mereka yang ingin berhenti merokok. Kehidupan Fuad sehari-hari lebih disibukan dengan aktivitas selaku aktivis. Ia bangga dengannya. Ia pernah berujar, cita-citanya memang sebagai aktivis anti rokok. Fuad saat remaja memang perokok. Sampai suatu hari ia dihentikan oleh derita batuk yang tak mau berhenti. Sejak itu ia bertekad “perang” terhadap rokok.
Fuad memiliki empat anak yang beranjak dewasa. Tiga lelaki dan satu perempuan. Hidup sederhana dengan istri yang agaknya memahami pilihan hidup sang suami.
Akhir Oktober, tepatnya tanggal 28, saya sapa sahabat Fuad Baradja lewat telepon. Mengabarkan bahwa saya butuh bantuannya. Tanyanya, Apa yang biasa ana bantu, Akhi Ady? Saya sampaikan bahwa pada 3 November akan ada launching novel sejarah “Tapak Mualim Syekh Ahmad Surkati”. Saya berharap ia sudi menjadi pembawa acara (MC). Alhamdulillah jika antum mau libatkan ana, itu jawabannya dengan suara renyahnya. Lalu dia meminta agar nama-nama pembahas dan selaligus curiculum vitae-nya jika bisa ia dapatkan. Katanya, untuk nyicil persiapan.
Prinsipnya ia senang dilibatkan pada acara itu. Tambahan darinya, sebaiknya kita meeting sejam sebelum acara berlangsung. Tentu saya sepakat dengan sarannya. Itu memang seharusnya.
Acara launcing berlangsung pukul 10.00, dan Fuad datang bukan lagi tepat waktu, bahkan sebelum pukul 09.00 ia sudah muncul. Saya dan staf penerbit berdiskusi ringan dengannya apa yang mesti ia sampaikan. Meski selalu mengumbar senyum, tapi setidaknya tersurat ia tampak letih. Seperti kelelahan. Meski tetap bersemangat. Ia memandu jalannya acara dengan baik, khas Fuad Baradja yang selalu tampil dengan persiapan matang. Sebagai pembawa acara adalah hal yang sudah digelutinya sekian lama. Fuad tampil dengan kematangannya.
Selesai acara, ia pamit meninggalkan tempat acara. Sedikit saya paksa untuk mengajaknya makan bersama. Fuad menolak. Katanya, soal makan itu hal tidak terlalu penting sambil senyum sunggingnya diumbar. Lanjutnya, kapan-kapan itu bisa kita lakukan. Ia tampak terburu-buru meninggalkan Aula Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) H.B. Jassin, TIM, tempat acara berlangsung.
Sehari dua hari kemudian Fuad mengabarkan kalau ia asyik membaca “Tapak Mualim”, dan jika mungkin ia akan memberi testimoni atasnya. Saya katakan, itu suatu kehormatan. Dan saya tambahkan tak sabar menunggunya.
Saya tidak pernah lagi mengontaknya sampai pada 17 November, Fuad mengirim video mengatakan bahwa ia sudah menuliskan testimoni yang dijanjikannya. Minta dengan sangat agar saya tak segan mengedit bahkan mengoreksinya. Lalu ia kirimkan testimoni itu. Saya katakan tak ada yang perlu dikoreksi. Sudah sangat baik. Masih saja dengan sikap kerendahan hatinya Fuad tetap bersikukuh agar saya tak segan mengoreksinya. Saya katakan, tak ada yang perlu diedit apalagi dikoreksi. Baiklah kalau begitu katanya. Dan lagi-lagi Fuad masih memberikan tekanan sikapnya yang sungguh terpuji dan rendah hati, mohon maaf saya hanya bisa menulis dengan sangat sederhana. Subhanallah.
Saya kirim tulisan Fuad itu kesalah satu media online dengan sebelumnya meminta izin darinya. Lagi-lagi Fuad seperti tak percaya dengan apa yang ditulisnya dengan begitu apiknya. Saya minta kirimkan foto dirinya. Hari itu juga tulisan itu dimuat. Fuad tampak surprise. Katanya, itu tak disangkanya.
Siang tadi gerimis hujan seakan ikut berduka. Menjelang Ashar kabar meninggalnya Al-Akh Fuad Baradja tersiar begitu cepat di grup-grup pertemanan Whats App. Tepatnya meninggal pukul 14.03, Jum’at, 6 Desember 2024. Setelah lebih kurang dua pekan dirawat di RS PON karena pendarahan otak.
Dan, ba’da isya’ jenazah langsung disholatkan dimakamkan di Pemakaman As-Salam, BulakTinggi, Bekasi.
Sungguh rasa kehilangan sahabat yang hidupnya didedikasikan untuk penyelamatan generasi muda khususnya dari bahaya rokok.
Seorang sahabat yang ikut mengantar jenazahnya memberi kesaksian begitu banyaknya jamaah yg mensholati dan mengantar jenazahnya sampai kepemakaman. Sebelum disholatkan dilakukan sambutan dari tokoh masyarakat dan para kiai. Begitu banyak kata sanjungan mengenang kiprah Allahyarhamuh Fuad Muhammad Baradja, yang lahir di Solo, 27 Agustus 1960 (64 tahun).
Dengan rasa sedih gulana kuakhiri menuliskan Kisah lelaki sederhana yang tak lelah menulis kebaikan sampai menutup mata ini…
Selamat Jalan Sahabat Fuad Baradja, in Syaa Allah jannah menantimu (*)