Polemik Royalti di Industri Musik: Tantangan dan Solusi yang Dicari
Masalah royalti dalam industri musik terus menjadi topik hangat yang tidak kunjung selesai. Banyak pihak, termasuk musisi, penyanyi, dan pencipta lagu, merasa tidak puas dengan cara distribusi royalti yang dinilai kurang transparan. Salah satu lembaga yang sering disebut sebagai pengelola royalti adalah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), yang kini tengah dihadapkan pada berbagai tantangan dalam menjalankan perannya.
Peran LMKN dalam Pengelolaan Royalti
LMKN bertindak sebagai lembaga yang mengumpulkan royalti dari berbagai sumber, seperti pemutaran lagu di radio, acara hiburan, atau penggunaan musik di media digital. Setelah dana tersebut terkumpul, LMKN kemudian menyalurkannya ke Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) untuk selanjutnya didistribusikan kepada para pencipta lagu dan musisi.
Namun, proses ini sering kali memicu ketidakpuasan dari berbagai pihak. Hal ini karena beberapa orang merasa bahwa mekanisme distribusi tidak jelas dan kurang transparan. Bahkan, ada anggapan bahwa uang yang diterima oleh para musisi dan pencipta lagu tidak sebanding dengan jumlah royalti yang sebenarnya dikumpulkan.
Transparansi sebagai Masalah Utama
Ikke Nurjanah, seorang pedangdut sekaligus komisioner LMKN, menyadari adanya masalah transparansi dalam sistem distribusi royalti saat ini. Menurutnya, setiap sistem yang melibatkan aliran uang pasti akan menghadapi tantangan terkait transparansi.
“Ya memang ini proses. Jadi LMKN dibawahnya ada LMK, kami mengumpulkan royalti dan kami berikan ke LMK,” kata Ikke Nurjanah saat diwawancarai di Jakarta Selatan. Ia menambahkan bahwa nantinya LMK akan bertugas mendistribusikan royalti kepada para pencipta lagu.
Sistem Satu Pintu yang Diatur Negara
LMKN menggunakan sistem satu pintu dalam pengelolaan royalti, sesuai dengan aturan yang ditetapkan negara. Dalam sistem ini, semua dana yang diperoleh akan dikumpulkan oleh LMKN dan selanjutnya dialirkan ke LMK. Dari sana, LMK akan bertanggung jawab untuk menyalurkan royalti kepada individu-individu yang berhak menerimanya.
Tugas utama LMKN sendiri hanya sebatas mengumpulkan royalti, sedangkan penagihan dan distribusi dilakukan oleh LMK dan PH (Pengelola Hak Cipta). Meski demikian, banyak pihak merasa bahwa sistem ini tidak sepenuhnya efektif dalam memberikan keadilan kepada para pelaku musik.
Tujuan Sistem Satu Pintu
Menurut Ikke Nurjanah, sistem satu pintu dibuat dengan tujuan melindungi pengguna, baik itu penyanyi, pencipta lagu, maupun EO (Event Organizer). Namun, ia juga menyadari bahwa pengguna sering merasa tidak adil karena tidak tahu bagaimana alur dana royalti yang sebenarnya.
“Kami sebenarnya itu melindungi pengguna. Tapi pengguna merasa LMKN tidak fair, tidak adil, dan tidak jelas. Padahal kalau tidak ada LMKN, pengguna akan ditagih sama LMK,” ujar Ikke.
Ia menambahkan bahwa banyak pengguna yang tidak ingin membayar royalti secara langsung. Mereka cenderung menunda pembayaran, mencari alasan, atau bahkan menganggap bahwa uang royalti akan hilang tanpa jelas siapa yang menerimanya.
Solusi yang Ditawarkan
Untuk mengatasi masalah ini, Ikke Nurjanah mengusulkan adanya sistem online yang dapat menampilkan alur distribusi royalti secara jelas. Dengan sistem seperti ini, para pencipta lagu dan musisi dapat lebih mudah memantau bagaimana uang mereka digunakan dan sampai ke tangan siapa.
“Kalau sekarang sebenarnya LMK tinggal mendistribusikan ke anggotanya,” katanya. “Ketika uang royalti sampai ke LMK, LMK yang bagi ke orang-perorangan.”
Ia juga menjelaskan bahwa LMKN hanya bertugas membagikan royalti ke LMK seperti WAMI dan KCI, sedangkan penyaluran ke individu tetap menjadi tanggung jawab LMK. Meski demikian, setiap LMK memiliki regulasi sendiri dalam melakukan distribusi tersebut.
Dengan adanya perbaikan sistem dan peningkatan transparansi, diharapkan masalah royalti dalam industri musik dapat segera terselesaikan, sehingga para pelaku musik dapat merasa lebih adil dan terlindungi.