Tantangan Pendidikan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung masih menghadapi berbagai tantangan dalam bidang pendidikan. Salah satu indikator yang menunjukkan hal ini adalah Angka Partisipasi Sekolah (APS) pada tahun 2025, yang hanya menunjukkan kinerja baik pada usia 7-15 tahun. Data ini tercantum dalam Rapor Pendidikan Tahun 2025 yang dipublikasikan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) RI.
APS mencerminkan sejauh mana anak-anak dari usia minimal 5 hingga 18 tahun dapat mengakses pendidikan berkualitas, termasuk bagi anak dengan disabilitas. Indikator ini diharapkan bisa meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan sejak dini serta memudahkan akses pendidikan bagi semua anak.
Faktor yang Mempengaruhi APS
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Bangka Belitung, Darlan, mengakui bahwa APS masih menjadi masalah utama. Salah satu faktor yang memengaruhi APS adalah sistem penerimaan murid baru (SPMB) atau Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Menurut Darlan, motivasi belajar anak saat ini tidak seimbang. Anak yang memiliki semangat belajar tinggi cenderung mendapatkan nilai yang jauh lebih baik, sementara sebagian besar anak lainnya berada di bawah KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal).
“Motivasi belajar dan kompetisi anak juga dipengaruhi jalur penerimaan dalam SPMB atau PPDB,” ujarnya.
Data APS menunjukkan bahwa tingkat sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) memiliki angka partisipasi yang baik, tetapi di tingkat SMA atau usia 16-18 tahun, APS Babel dinilai rendah dibandingkan tahun sebelumnya.
Perbedaan Sistem Penerimaan di Berbagai Tingkat
Sistem penerimaan di tingkat SD dan SMP menggunakan jalur domisili, sehingga orang tua dan anak merasa nyaman karena mudah diterima di sekolah terdekat. Namun, ketika masuk ke SMA, sistem berubah menjadi seleksi berdasarkan nilai. Banyak siswa yang akhirnya tidak lolos dan ditawari sekolah swasta, tetapi menolak karena alasan finansial.
Darlan menjelaskan bahwa bukan semua orang tua benar-benar tidak mampu, melainkan karena pola pikir yang cenderung memanjakan anak. Ia mengimbau orang tua lebih bijak dalam mendampingi anak di rumah, karena dukungan sejak dini bisa meningkatkan kualitas hidup keluarga dan kontribusi ekonomi daerah.
Pentingnya Semangat Kompetisi
Darlan menekankan bahwa jalur domisili tidak berarti tanpa syarat. Anak-anak perlu dibangun jiwa kompetisi sejak dini agar siap menghadapi persaingan di dunia pendidikan. Ia menegaskan bahwa semangat belajar dan kompetisi sangat penting untuk masa depan.
Budaya Nikah Muda sebagai Ancaman
Selain itu, Kepala Bidang Dewan Pengawas Pendidikan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Edison Taher, menyebut budaya nikah muda sebagai salah satu penyumbang angka putus sekolah. Banyak anak usia belia dibiarkan bergaul bebas hingga menikah muda.
Edison menyoroti bahwa di beberapa daerah, waktu menikah ditentukan bukan berdasarkan jadwal Kantor Urusan Agama (KUA), tetapi kapan band bisa tampil. Hal ini menunjukkan bahwa budaya nikah muda masih kuat dan berdampak negatif pada pendidikan.
Peran Seluruh Stakeholder
Edison menegaskan bahwa kondisi ini tidak bisa hanya dibebankan kepada Dinas Pendidikan. Semua lembaga, termasuk masyarakat sipil, harus bergerak bersama untuk menjangkau pelosok dan mencegah putusnya pendidikan anak. Ia juga menekankan peran penting ibu-ibu dalam sosialisasi pentingnya pendidikan.
Ibu-ibu, menurut Edison, lebih didengar di lingkungan dan bisa menjadi agen efektif dalam menyadarkan masyarakat akan pentingnya pendidikan. Dengan kerja sama yang baik antara pemerintah, masyarakat, dan keluarga, harapan besar bisa dicapai untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.