Jember (IMR) – Lima organisasi mahasiswa mendesak DPRD Kabupaten Jember, Jawa Timur, untuk memperjuangkan nasib delapan orang demonstran yang ditahan penegak hukum saat ini.
Delapan orang mahasiswa itu diduga terlibat perusakan tenda dan pelemparan bom molotov dalam unjuk rasa di dekat Markas Kepolisian Resor Jember, 30 Agustus 2025. Selain mereka, ada dua orang anak berusia belasan tahun yang dibina Balai Permasyarakatan Jember.
Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, dan Serikat Mahasiswa Muslim Indonesia menyampaikan desakan tersebut saat bertemu dengan sejumlah legislator, di gedung DPRD Jember, Senin (20/10/2025) sore. Dalam kesempatan itu, hadir juga perwakilan orang tua demonstran dan kuasa hukum.
“Gerakan yang kami lakukan atau aksi demonstrasi yang kami lakukan saat itu berjalan sangat kondusif. Namun yang menjadi persoalan adalah pasca aksi demonstrasi kami. Setelah aksi demonstrasi, cukup massif upaya-upaya kriminalisasi dan penangkapan terhadap massa aksi yang mengikuti aksi demonstrasi,” kata Ketua GMNI Jember Abdul Aziz.
Aziz mengingatkan bahwa Undang-Undang Dasar melindungi kebebasan berpendapat di muka umum. “Tapi hari ini negara maupun aparat memperlihatkan wajah represif atau upaya untuk mengkriminalisasi gerakan dan aktivis,” katanya.
Mengutip laporan Majalah Tempo, Aziz menyebutkan, secara nasional ada 959 demonstran yang masih ditahan aparat keamanan, termasuk di Jember. “Hal seperti ini akan melumpuhkan iklim demokrasi di negara kita. Kami menganggap kawan-kawan kami yang per hari ini di balik jeruji besi juga sama seperti kami, mereka juga menyuarakan bentuk ketidakadilan atas penderitaan rakyat,” katanya.
Aziz menyebut para aktivis yang ditahan di Jember adalah korban-provokator yang yang tidak bertanggung jawab. “Kami bisa menjamin bahwasanya kawan-kawan kami yang sedang ditahan hari ini itu murni turun pada saat itu dikarenakan tergeraknya hati nurani atas suatu bentuk ketidakadilan,” katanya.
Ketua HMI Jember Ahmad Ridwan menyebut DPRD wajah demokrasi Indonesia. “Kita melihat pasca aksi kemarin demokrasi hari ini dicederai. Saya ingin tahu sebenarnya seperti apa pandangan Dewan ketika masyarakat yang menyampaikan suaranya kemudian dikriminalisasi,” katanya.
Aziz menyadari DPRD Jember tidak bisa mengintervensi proses hukum. “Cuma sampai hari ini masih belum mendapatkan titik terang. Kami melihat kondisi teman-teman kami semakin lama tidak mendapatkan kepastian hukum maupun ketidakpastian kapan akan dibebaskan. Kami menganggap ini mengancam masa depan kawan-kawan kami,” katanya.
Aziz mengatakan dalam aksi itu hanya tenda yang rusak. “Tidak ada aparat kepolisian yang mengalami luka-luka ataupun Mapolres mengalami kerusakan,” katanya.
Jika dibandingkan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat, Aziz menilai, kerusakan tenda itu tak sebanding. “Kerusuhan itu tidak sebanding dengan berbagai kebijakan yang merampas tanah, merugikan masyarakat, mengancam sumber daya alam, sumber daya manusia,” katanya.
Dengan berbagai pertimbangan, para mahasiswa meminta anggota Dewan mendukung upaya untuk memohon penangguhan penahanan. “Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 1983 di Pasal 36 mengatur bahwasanya siapapun bisa menjadi penjamin penangguhan,” kata Aziz.
Aziz ingin para demonstran yang sedang menjalani proses hukum ini tidak ditahan agar bisa tetap bekerja dan menjalani kegiatan sehari-hari. Apalagi sebagian di antara mereka adalah tulang punggung keluarga.
“Mari kita kedepankan hati nurani, empati. Kami menjamin kawan-kawan kami bukan aktor intelektual, bukan orang-orang yang memang berniat untuk melakukan perusakan. Kami berani untuk berkomitmen menegakkan hukum juga,” kata Aziz.
Para mahasiswa mendukung upaya keadilan restoratif untuk delapan orang demonstran itu. “Tapi di satu sisi kami mencoba untuk mengajak atau mendesak pimpinan dan anggota DPRD Jember untuk juga membersamai kami sebagai penjamin penangguhan kawan-kawan kami,” kata Aziz.
Mambaul Muarif, kuasa hukum para demonstran, sudah mengajukan penangguhan penahanan kepada Kepolisian Resor Jember dan permohonan restorative justice kepada Kejaksaan Negeri Jember.
Restorative justice adalah penyelesaian perkara pidana yang mengedepankan pemulihan, rekonsiliasi, dan perbaikan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat, bukan hanya berfokus pada hukuman. Prosesnya melibatkan dialog dan mediasi untuk mencari solusi yang adil dan seimbang dengan melibatkan pihak-pihak terkait untuk memulihkan keadaan dan tanggung jawab.
Pakta Integritas
Wakil Ketua DPRD Jember Widarto siap memfasilitasi komunikasi dengan kejaksaan dan kepolisian. “Jadi kewenangan kami digunakan untuk memfasilitasi agar bisa duduk bareng antara Kapolres, Kajari dengan pimpinan mahasiswa Cipayung, dan DPRD, dengan kuasa hukum, yang tujuannya agar tercapai restorative justice,” katanya.
Namun Widarto tidak bisa memaksa anggota Dewan menjadi penjamin atas penangguhan penahanan para demonstran. “Menurut saya yang lebih substantif adalah mengupayakan restorative justice. Meskipun penahanannya ditangguhkan, kalau proses hukumnya tetap berjalan, lalu kemudian putusannya sangat berat, ya memberatkan juga bagi teman-teman demonstran yang sedang ditahan,” katanya.
Widarto sendiri bersedia menjadi penjamin asal bertemu lebih dulu dengan para demonstran yang ditahan. “Saya secara pribadi tidak mungkin menjaminkan diri sebelum saya bertemu dengan mereka,” katanya.
“Saya sih bersedia saja kalau sudah bertemu dengan mereka. Tapi kalau belum bertemu, saya justru menjaminkan diri saya, mohon maaf, kami harus bertemu dulu dengan mereka. Itu sikap saya pribadi. Tapi anggota Dewan yang lain boleh berbeda kalau soal ini, karena ini sikap masing-masing,” kata Widarto.
Menutup rapat dengar pendapat umum tersebut, Widarto dan sejumlah anggota DPRD Jember menandatangani pakta integritas yang disodorkan mahasiswa. Ada empat butir pernyataan dalam pakta integritas tersebut.
1. Menjadi penjamin dari massa aksi yang sedang dalam proses hukum dan ditahan.
2. Mengawal secara aktif proses hukum yang sedang berjalan agar berlangsung secara transparan dan adil.
3. Menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil.
4. Menjamin secara penuh atas hak-hak warga negara dalam menyampaikan hak di muka umum. [wir]