Magetan (IMR) – Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Magetan, Joko Trihono, menegaskan bahwa persoalan utama di kawasan wisata Telaga Sarangan bukan hanya sebatas isu permukaan seperti praktik getok harga maupun layanan lain yang disediakan oleh penyedia jasa wisata.
“Yang tampak di luar itu misalnya getok harga, kemudian adanya perjalanan kaki yang diselingi kuda, dan sebagainya. Itu sebenarnya hanya masalah kulit luarnya Sarangan,” ujar Joko, Sabtu (30/8/2025)
Menurutnya, inti permasalahan yang harus segera diselesaikan adalah soal penguasaan aset. Saat ini, aset di kawasan Sarangan terbagi dalam empat komponen, yakni milik Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo, Perhutani, warga masyarakat, dan Pemerintah Kabupaten Magetan.
“Oleh karena itu, ketika kita ingin melakukan upaya penataan, yang pertama harus kita selesaikan adalah persoalan aset. Setelah itu, kelembagaannya harus diubah agar permasalahan yang muncul bisa segera ditangani,” tegasnya.
Disbudpar Magetan juga telah melakukan koordinasi dengan Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo dan Perhutani. Namun, Joko mengakui masih ada kendala, khususnya di sisi barat kawasan Sarangan yang terkait dengan penguasaan lahan Perhutani.
“Kalau kita hanya menertibkan yang di barat saja, mereka bilang sudah kerja sama dengan orang lama Perhutani. Nah, bagaimana kita bisa menata kalau seperti itu? Maka dari itu, upaya-upaya ini terus kita kejar agar permasalahan kecil yang sering muncul di permukaan bisa diselesaikan dengan baik,” jelasnya.
Selain masalah aset, Joko menyoroti keterbatasan regulasi yang kerap menghambat langkah Dinas Pariwisata dalam pengelolaan Sarangan. Salah satunya terkait perbaikan fasilitas umum yang rusak.
“Misalnya pintu WC rusak. Kalau anggaran tahun berjalan belum tercukupi, kami harus menunggu perubahan anggaran. Kalau perubahan anggaran sudah lewat, baru bisa diperbaiki tahun berikutnya. Itu yang sering jadi kendala,” ungkapnya.
Keterbatasan regulasi juga terlihat saat penyelenggaraan event besar di Sarangan. Menurut Joko, dinas hanya bisa mengeluarkan biaya produksi tanpa mendapat kontribusi balik yang signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
“Katakanlah kami ngundang Noah atau Dewa 19 di Sarangan, biaya produksinya tinggi. Tapi kami tidak bisa menarik kontribusi balik, karena yang bisa kami hitung hanya tiket masuk. Padahal biaya produksi besar, sedangkan PAD tidak meningkat,” jelasnya.
Karena terbentur aturan, Disbudpar tidak bisa membuka rekening khusus untuk menampung hasil penjualan tiket acara. Akibatnya, dana dari event hanya berhenti di pengeluaran produksi.
“Artinya kelembagaan ini menjadi penting dalam upaya penataan Sarangan. Harus ada kelembagaan yang lebih fleksibel dibanding dinas, agar pengelolaan destinasi wisata bisa lebih maksimal,” tutur Joko.
Ia menyebut, opsi kelembagaan baru untuk pengelolaan Sarangan sudah mulai dibahas. “Yang jelas kelembagaan yang lebih fleksibel ini juga penting bagi pengelolaan destinasi,” pungkasnya. [fiq/suf]