Masjid Agung Sunda Kelapa tidak pernah sepi dari kegiatan ibadah dan taklim, ia masjid pertama di Jakarta yang menerapkan konsep baru tentang arsitektur masjid berkelas
InfoMalangRaya.com | WARGA yang biasa melintas di Jalan Taman Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat tentu sudah familiar dengan Masjid Agung Sunda Kelapa. Masjid yang peletakan batu pertamanya dimulai pada 1968 memiliki sejarah dan konsep bangunan sangat unik.
Selain dikenal megah, masjid yang dibangun sejak 1967, tepatnya pada era Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin ini menurut Sekretaris Staf Khusus Masjid Agung Sunda Kelapa, Muhammad Reno Fathur Rahman dimulai pada 1950 saat warga Muslim di Menteng ingin membangun masjid secara swadaya.
“Barulah memasuki era 1967, warga mengajukan pembangunan masjid kepada Gubernur Ali Sadikin. Pengajuannya pun disambut baik,” terangnya, Senin (3/4/2023).
Singkat cerita, pada era tersebut, Masjid Agung Sunda Kelapa dibangun di atas lahan seluas 9.920 meter persegi milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. “Pada 1968 mulai dilakukan peletakan batu pertama dengan anggaran swadaya warga,” tutur Reno.
Menurut Reno, proses pembangunan masjid ini kala itu sempat terkendala anggaran karena dana swadaya yang terkumpul hanya sebesar Rp 7,2 juta. Pembangunan masjid akhirnya bisa dilanjutkan setelah diambil alih Pemprov DKI Jakarta.
“Masjid kemudian rampung dan diresmikan Gubernur Ali Sadikin pada 31 Maret 1971 dan dibuka untuk umum sehari setelahnya,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, dalam pembangunannya, desain interior dan eksterior Masjid Agung Sunda Kelapa melibatkan arsitek ternama, Ir. Gustaf Abbas yang juga mendesain Masjid Salman di Jalan Ganesha, Bandung, Jawa Barat.
Desain Gustaf ketika itu mematahkan ciri khas desain masjid-masjid pada umumnya di Indonesia yang identik dengan bangunan kubah dan tiang penyangga ala Timur Tengah. Masjid Agung Sunda Kelapa dibangun lebih modern pada masanya dengan simbol yang fleksibel dan tidak kaku.
“Menariknya Gustaf membuat atap masjid dengan desain melengkung seperti kapal. Ini menjadikan masjid memiliki makna lain untuk mengingatkan kita bahwa letak masjid juga dekat dengan Pelabuhan Sunda Kelapa,” jelas Reno.
Secara filosofi, Masjid Agung Sunda Kelapa seperti pelabuhan bagi manusia-manusia yang tengah melakukan perjalanan menuju ke tujuan akhir menghadap Allah SWT. Biasanya dalam perjalanan mereka akan kehabisan logistik dan berlabuh.
“Artinya masjid adalah pelabuhan bagi manusia-manusia yang ingin mengisi kembali iman mereka,” terang Reno.
Ia mengutarakan, saat mulai beroperasi, Masjid Agung Sunda Kelapa diisi dengan berbagai kegiatan keagamaan seperti shalat dan pengajian. Lambat laun, kegiatan masjid ini semakin berkembang hingga pada 1973 dihadirkan Islamic Center yang bertujuan menggaungkan beragam kajian Islam.
Di waktu bersamaan, Masjid Agung Sunda Kelapa juga mendirikan Muallaf Center yang hingga saat ini tercatat telah memuallafkan dan membina 19.740 orang warga negara Indonesia maupun warga negara asing dari Amerika, Inggris, Belanda, China, Austria, Jepang, Korea Selatan, Italia, Swedia dan Jerman.
“Di 1973 juga berdirilah gerakan pemuda Remaja Islam Sunda Kelapa (Riska). Gerakan ini bermula dari komunitas pemuda-pemudi Jalan Sabang yang hobi berolahraga sepatu roda. Mereka lalu merapat ke masjid ini dan membentuk Riska,” papar Reno.
Kepala Bidang Usaha Masjid Agung Sunda Kelapa, Dimas Candrika menambahkan, seiring waktu berjalan, Masjid Agung Sunda Kelapa semakin maju dan mengintensifkan kegiatan keagamaan. Pada Ramadan tahun ini, para pengurus masjid telah menyiapkan beragam kegiatan bagi warga sekitar dan jemaah.
Di antaranya kegiatan pesantren kilat khusus anak-anak, Shalat Tarawih, Bazar Ramadan, peringatan Nuzulul Quran, itikaf, pembagian takjil, kultum, pengumpulan Zakat Infak dan Sedekah (ZIS) hingga pendidikan agama bagi mualaf, pengajian bagi disabilitas, takbiran dan shalat Idul Fitri.
“Untuk kultum disampaikan penceramah yang berbeda,” tandasnya.
Sejarah Masjid Sunda Kelapa
Masjid Sunda Kelapa dibangun atas prakarsa Ir. Gustaf Abbas tahun 1960-an. Abbas adalah arsitek lulusan Institut Teknologi Bandung, di antara karyanya adalah Masjid Salman di Jalan Ganesha, Bandung.
Tak seperti masjid kebanyakan, Masjid Agung Sunda Kelapa tak memiliki kubah, bedug, bintang-bulan, dan sederet simbol yang biasa terdapat dalam sebuah masjid. Menara yang ada pun sangat unik.
Bentuk bangunannya mirip perahu, sebagai simbol pelabuhan Sunda Kelapa tempat saudagar muslim berdagang dan menyebarkan syariat Islam pada masa lalu.
Selain itu, bentuk perahu adalah makna simbolik kepasrahan seorang muslim. Bagaikan orang duduk bersila dengan tangan menengadah, berdoa mengharap rahmat dan kasih sayang-Nya.
Masjid Agung Sunda Kelapa mampu menampung 4.430 jamaah menempati area 9.920 m². Ini ditunjang dengan ruang ibadah utama Masjid Sunda Kelapa, aula Sakinah, dan serambi Jayakarta.
Pada tahun 1965 negara sempat digoncang oleh pemberontakan G 30 S PKI yang sangat mengerikan bagi bangsa Indonesia. Setelah peristiwa pemberontakan tersebut lahirlah rezim Orde Baru.
Suasana keagamaan setelah peristiwa G 30 SPKI semakin mendapatkan tempat di hati masyarakat tidak terkecuali di hati para pejabat dan petinggi negeri termasuk para pemimpin militer dan para jenderal.
Maka dari itu, pada tahun 1966 terbentuklah sebuah kepanitiaan yang bermaksud mendirikan sebuah masjid di kawasan elit Menteng Jakarta Pusat. Panitia tersebut yakni Ketua: H.B.R. Motik; Wakil Ketua: H. M.L. Latjuba; Sekretaris Hasjim Mahdan, S.H. Bendahara I: H. Machmud, Bendahara ll: H. Darwis Tamim, dan pembantu: H.A.H. Dịunaedi.
Menurut Alwi Shahab, setelah peristiwa G 30 S PKI, rakyat Jakarta semakin sadar akan pentingnya ibadah dan hidup dalam naungan agama. Umat Islam di Jakarta khususnya daerah Menteng yang merupakan kawasan elt ibukota menginginkan berdirinya sebuah masjid guna mewujudkan kehidupan yang lebih islami.
Akhirnya, pada tahun 1966 para jenderal dan pembesar negeri yang tinggal di daerah tersebut bergotong royong membangun sebuah masjid yang pada akhirnya dikenal dengan Masjid Agung Sunda Kelapa.
Pada tahap awal pembangunannya, masjid ini mengalami kesulitan dalam hal pendanaan sehingga pembangunannya tersendat. Hal ini membuat gubernur Jakarta saat itu Bapak Ali Sadikin turun tangan membantu menyelesaikannya dan Masjid Agung Sunda Kelapa.
Keberadaan masjid ini memicu munculnya masid-masjid yang lain di daerah Menteng dan sekitarnya seperti masjid Cut Nyak Dien dan Cut Mutiah. Sebagai masjid yang berada berada di daerah elit pembangunan masjid juga diperhitungkan dengan matang.
Tercatat, Masjid Sunda Kelapa adalah masjid pertama di Jakarta yang menerapkan konsep baru tentang arsitektur masjid berkelas. Masjid inilah yang pertama kali memadukan konsep aktivitas ibadah, perekonomian, dan pendidikan yang kemudian diikuti oleh masjid-masjid lain di Jakarta dan juga Indonesia.
Aktivitas itu diakomodasi oleh keberadaan lantai yang berbeda. Lantai atas adalah sebagai pusat ibadah dan dakwah. Lantai bawah, digunakan sebagai aula/tempat resepsi (disewakan), perkantoran, ruang rapat, ruang majelis taklim, sekretariat Riska, ruang pendidikan anak-anak, dan tempat bewudu.
Masjid Agung Sunda Kelapa patut dijadikan contoh karena tidak pernah sepi dari kegiatan ibadah dan taklim. Setiap datang waktu shalat, masjid selalu dipenuhi jamaah.
Terutama ketika shalat jumat, masjid yang luas ini pun tidak manpu menamnpung jamaah yang membludak, hingga meluber ke taman dan jalan sekitar masjid. Sedangkan khatib yang menyampaikan khotbah adalah ustaz-ustaz pilihan yang memiliki kemampuan mumpuni dalam agama.
Ditambah lagi, kebersihan masjid yang selalu terjaga membuat masyarakat betah berlama-lama dan yang paling penting masjid mengadakan kajian untuk masyarakat setiap hari. Kajian biasanya dilaksanakan bakda magrib dan waktu Dzuha.*