Acara BWCF (Borobudur Writers anda Cultural Festival) yang dilaksakan di Kota Malang mengambil tema besar Membaca Ulang Pemikiran Prof. Dr. Edi Sedyawati. Sosok yang lahir di Malang. Profesor Edi adalah sosok yang dikenal tidak hanya sebagai Dosen di UI tapi juga dikenal sebagai ahli seni pertunjukkan, yang dalam setiap penelitiannya beliau selalu terjun langsung dan melibatkan siapapun dan apapun yang bisa mendukung dengan detail dan baik atas penelitiannya.
Saya sedikit mengutip sebagian isi pidato Dr. Pratikno :
Prof Edi Sedyawati juga mengajarkan sifat kritis kepada murid-muridnya dalam menanggapi karya-karya para ilmuwan Barat yang sering diterima begitu saja sebagai satu-satunya acuan yang paling benar. Para peneliti Negara maju sering mengklaim bahwa objek kajian mereka adalah seluruh tempat di dunia, sehingga cenderung mengembangkan gagasan bahwa ilmu yang tinggi mutunya harus lah obyektif dan menghasilkan kebenaran universal.
Pemahaman seperti itu telah ditinggalkan.
Pengakuan tentang kebenaran ilmiah oleh lingkungan peneliti tertentu, khususnya ilmu-ilmu sosial dan budaya, sebenarnya dipengaruhi oleh ideologi, teori dan metode yang dipilihnya (dikenal dengan istilah paradigma).
Sebenarnya, kita dapat memilih pendekatan sesuai dengan permasalahan subyektif yang dihadapi bangsa sendiri. Gagasan tentang dialog kebudayaan: nasional, etnik, dan global.
(kutipan pidato pak Pratikno dari IAAI) penulis telah pamit lewat WA pada beliau untuk mengutip sebagian isi pidatonya.
Pendapat diatas sejalan dengan isi Puisi Si Burung Merak alm. WS Rendra dengan judul Sajak Sebatang Lisong yang menganjurkan untuk keluar dari kungkungan lingkaran pemikiran Barat:
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa, mencatat sendiri semua gejala.
Pemikiran Barat harusnya hanya sebatas sebagai khazanah pemikiran saja, bukan sebagai acuan satu-satunya kebenaran dalam merumuskan perubahan sosial, ekonomi dan politik, juga dalam membangun dan menciptakan dialektika kebudayaan bangsa.
Setiap bangsa akan hidup dengan karakternya sendiri, karakter khas yang banyak dipengaruhi lingkungan alamnya. Karakter bangsa yang hidup ditengah kelimpahan potensi alam yang subur dan gemah ripah loh jinawe, akan sangat berbeda dengan karakternya dengan sebuah bangsa yang hidup ditanah kering, ditanah gersang atau dilingkungan alam yang sangat keras.
Setiap kebudayaan yang tercipta dari masyarakat agraris yang subur akan sangat berbeda dengan masyarakat pesisir yang kaya akan hasil lautnya.
Demikian juga masyarakat agraris yang tidak begitu subur dan hasil laut yang tidak begitu melimpah akan sangat berbeda juga karakter dan semangat kebudayaannya.
Karenanya hasil pemikiran dari masing-masing kebudayaan tersebut akan sangat berbeda-beda hasilnya. Falsafah dan semangat hidup dari tiap bangsa tersebut akan sangat berbeda rumusan interaksi sosialnya.
Pemikiran yang dihasilkan oleh masyarakat industri, karena bentukan dari alamnya yang tidak subur akan sangat berbeda atau bahkan bisa jadi saling bertentangan dengan kacamata masyarakat yang kehidupannya dilimpahi kemakmuran alam.
Karenanya penggalian falsafah hidup, serta semangat ke-Indonesia-an harus digali sendiri dengan perspektif khas masyarakat agraris dan pesisir yang skmber daya alamnya sangat berkelimpahan.
Kelimpahan alam yang dimiliki oleh rakyat Indonesia telah menghasilkan pemikiran kebudayaan dan peradaban yang tak lagi materialistik. Dan fakta ini jelas akan berbeda dengan pemikiran kebudayaan dan peradaban dari barat yang alamnya cenderung tidak sesubur dan semelimpah seperti di Nusantara.
Nashir Ngeblues