Mencerahkan “Indonesia Gelap” dalam Perspektif Islam

Dalam kegelapan modern yang diwarnai korupsi, ketimpangan, dan krisis moral, Islam sekali lagi harus menjadi solusi dari ‘Indonesia Gelap’

Oleh: Kholili Hasib

InfoMalangRaya.com | TAGAR #IndonesiaGelap yang mendominasi media sosial akhir-akhir ini mencerminkan keresahan publik Indonesia terhadap berbagai berbagai persoalan sosial, politik dan ekonomi. 

Mahasiswa menganggap bahwa kebijakan pemerintah tidak berpihak kepada rakyat dan justru memperkuat oligarki politik serta ekonomi. Aksi demonstrasi besar-besara ribuan mahasiswa di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia yang digelar oleh BEM SI (Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia) selama 17-19 Februari 2025 juga mengusung tajuk “Indonesia Gelap”.

Tetapi pasca reformasi ’98, banyak isu-isu nasional yang diusung dalam demonstrasi besar cukup sering menguap. Isu “Indonesia Gelap” dalam demonstrasi kali ini kemungkinan bisa hilang dan tergantikan dengan isu lain. Isu nasional sangat dinamis sekali dengan problematika yang bervariasi.

Sepuluh tahun kepemimpinan Presiden Jokowi juga banyak isu-isu nasional yang menggema dan mendebarkan hati. Mei 2019 di Jakarta terjadi demo hasil pemilu.

Ada enam korban jiwa yang jatuh. Berarti demonstrasi ini mengerikan. September 2019 demo nasional di Jakarta mengangkat isu tolak RUU KUHP dengan tajuk “Demokrasi Dikorupsi. Tidak ada korban meninggal. Tapi puluhan mahasiswa luka-luka digebuk polisi. Oktober 2020 ribuan mahasiswa dan buruh di Jakarta dan kota-kota besar lain turun ke jalan mengusung isu tolak Omnibus Law. April 2022, aktivis mahasiswa lagi-lagi memprotes presiden dan DPR yang terindikasi akan mengesahkan wacana presiden tiga priode. Apakah isu “Indonesia Gelap” kali ini tidak lama juga akan lenyap lagi isunya? Kemungkinan iya.

Bukan berarti dalam konteks ini isu “Indonesia Gelap” ini tidak serius. Semua isu-isu yang diangkat para aktivis demonstrasi adalah persoalan serius bangsa Indonesia.

Namun, saya mencoba melihat isu “Indonesia Gelap” ini dari perspektif berbeda yang akan dipotret dengan cara pandang lebih serius lagi. Sudut pandang historis dan filosofis keislaman.

Tetap saja sebagian orang pasti menilia sudut pandang ini dinilai remeh. Bagi saya penting. Bahkan lebih serius.

Frasa “Indonesia Gelap” dalam perspektif sejarah bukanlah fenomena baru. Frasa yang hampir sama terdapat dalam judul kumpulan surat-surat RA Kartini. “Habis Gelap terbitlah Terang”.

Wilayah yang kini menjadi Negara Indonesia dahulu memang pernah mengalami masa gelap. Masa sebelum datangnya muballigh penyebar Islam dan masa kolonialisasi bangsa Eropa; Portugis, Inggris dan Belanda merupakan zaman di mana “Indonesia” masih gelap.

“Indonesia Gelap zaman itu tidak sama dengan “Indonesia Gelap era sekarang. Gelap bukan sekedar dari sisi ketajuhan ekonomi dan politik. Tetapi kegelapan moral, intelektual dan spiritual. 

Dalam dua episode “Indonesia Gelap” tempo dulu, Islam menjadi lampu. Kebangkitan dari masa gelap selalu melibatkan peran besar ulama, dan pejuang yang dengan dakwah serta perjuangan mereka, membawa wilayah yang kini disebut Indonesia ke arah yang lebih baik.

Sebelum Islam datang ke Nusantara, masyarakat Indonesia berada dalam masa kegelapan moral, spiritual dan sosial. Pada abad-abad ke-12 M di Jawa misalnya, ada tradisi Bhairawa Tantra dan Vajrayana.

Bhairawa merupakan ritual dengan mo-limo atau pancamakara: Matsiya (ikan), manuya (daging), madya (minuman keras), mudra (gadis atau tarian), dan maithuna (ritual seks beramai-ramai).

Upacara pancamakara digelar di sebuah lapangan yang disebut Setra. Tradisi Vajrayana merupakan sebuah upacara yang masuk aliran upacara Bhirawa.

Mereka bersemedi, menari-nari, mengucapkan mantra-mantra, membakar jenazah dan memakan dagingnya, meminum darah gadis, tertawa-tawa, mengeluarkan bunyi seperti banten [Jurnal Amerta, Warna Warta Kepurbakalaan No. 2 Tahun 1954 hal. 22].

Tradisi upacara ini melekat kuat bagi para kesatri atau para pendekar. Bahkan rakyat yang menginginkan kesaktian atau ingin menjadi pendekar melakukan tradisi tersebut.

Ketika muballigh Islam dari Arab datang, gelap berubah menjadi terang. Para muballigh menggunakan cara yang halus dan bertahap untuk mengubah kegelapan menjadi cahaya.

Pertama-tama yang digeser adalah ritual minum darah dan makan daging manusia itu menjadi ritual minum air yang telah dibacakan doa-doa (suwuk) dan makan daging kerbau.

Meskipun begitu, kanibalisme di sebagian wilayah belum sepenuhnya hilang. Bahkan pada saat bangsa Portugis datang ke Sumatera. Di daerah pedalaman yang belum tersentuh Islam masih ditemukan tradisi kanibalisme itu.

Islam menawarkan solusi

Secara umum peradaban Nusantara pra-Islam tidak mengesankan peradaban ilmu pengetahuan atau tulis-menulis. Peradaban masa itu lebih identik dengan seni estetika daripada metafisika dan filsafat.

Islam datang dengan membawa budaya dan tradisi baru yang menyumbangkan bagi kadar dan kualitas pemikiran masyarakat Nusantara. Seperti munculnya budaya tulis-menulis, berbahasa santun, berperangai halus dan kekhusyukan dalam beribadah.

Puncaknya, menurut Prof. Syed M Naquib al-Attas, adalah abad ke-16 M. Puncak ketinggian dari segi intelektual bangsa Nusantara yang telah menganut agama Islam.

“Abad-abad ke-enam belas dan ke-tujuh belas suasana kesuburan dalam penulisan sastera falsafah, metafizika dan teologi rasional yang tiada terdapat tolak bandinganya di mana-mana dan di zaman apa pun di Asia Tenggara. Penterjemahan al-Qur’an yang pertama dalam bahasa Melayu telah diselenggarakan beserta syarahannya yang berdasarkan al-Baydawi; dan terjemahan-terjemahan lain serta syarahan-syarahan dan karya-karya asli dalam bidang falsafah, taﷺuf dan ilmu kalam semuanya telah diselenggarakan pada zaman ini juga,” tulis Prof. Al-Attas dalam “Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu” hal.45.

Wajah sosial masyarakat Indonesia berubah secara fundamental. Setiap orang setara di hadapan Allah Swt. Islam tidak membedakan  kasta atau status sosial.

Islam membawa konsep keadilan, keadaban, rahmat dan kepedulian kepada sesama. Perubahan besar cara pandang terhadap Tuhan, alam, manusia dan kehidupan ini sangat terasa dengan dakwah walisongo yang berhasil mengislamkan nusantara secara damai dan memasukkan unsur Islam ke dalam tradisi lokal.

Fenomena di atas menunjukkan bukti Nabi Muhammad ﷺ sebagai rahmatan lil alamin. Kehadiran Nabi ﷺ dan ajaran yang dibawa merupakan rahmat bagi semua bangsa.

Dengan rahmat itu, manusia menjadi makhluk yang terdidik, intelek, beretika, berperangai halus, berbudi luhur dan beriman kepada Tuhan yang haq. Serta tercipta kedamaian antar bangsa manusia.

Seperti pernah dikatakan oleh Syeikh An-Nadawi, jika agama Islam itu jatuh, maka yang berkuasa adalah keserakahan, pembunuhan antar manusia dan perilaku-perilaku hina.

Ketika Islam berkembang pesat, ditandai oleh berdirinya kesultanan-kesultanan dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Lombok dan lain-lain yang menunjukkan semakin terangnya Nusantara oleh nafas Islam, datang kolonialis dari Eropa.

Penjajah mengeruk sumber daya alam secara besar-besaran diangkut dan dijual oleh bangsa penjajah. Sementara rakyat dipaksa bekarja dengan sistem tanam paksa yang menindas.

Kolonialis yang menduduki selama ratusan tahun tidak hanya menjajah alam dan ekonomi rakyat Nusantara, tetapi budaya, agama dan ilmu juga dijajah. Dakwah yang dipelopori Walisongo terhambat.

Pendidikan ala penjajah mengenalkan budaya asing eropa yang bertolak belakang dengan budaya lokal dan Islam. Kegelapan Indonesia diperburuk oleh oknum-oknum pribumi yang dibayar penjajah demi kepentingan pribadi memerangi bangsanya sendiri dan membebek kepada penjajah. Sungguh benar-benar gelap selama ratusan tahun.

Seperti yang terjadi pada periode sebelumnya, ulama Islam kembali tampil sebagai penyelamat bangsa dari kegelapan yang ditimbulkan oleh kolonialisme. Mereka tidak hanya berfokus pada penyebaran dakwah Islam, tetapi juga berperan dalam membangkitkan kesadaran untuk melawan penjajah.

Pangeran Diponegoro, Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, dan Imam Bonjol adalah beberapa tokoh yang menunjukkan bahwa Islam menjadi pendorong utama dalam perjuangan melawan Belanda.

Sarekat Islam, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama merupakan organisasi-organisasi Islam yang berfungsi sebagai penggerak dalam membangun kesadaran nasional.

Pada 22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad yang membangkitkan semangat rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan, yang kemudian mengarah pada peristiwa “Resolusi Jihad” dan pertempuran di Surabaya pada 10 November 1945, disusul fatwa Muhammadiyah yang mengeluarkan “Amanah Jihad”.

Jika Islam telah membawa cahaya dalam sejarah bangsa, mengapa kini muncul kembali isu “Indonesia Gelap”?

Jawabannya ada pada realitas sosial, politik, ekonomi, pendidikan dan agama yang semakin menyimpang dari nilai-nilai akhlak Islam dan keadilan sosial.

Dalam aspek moral dan spiritual, sekularisasi semakin mengikis nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hedonisme, materialisme, dan individualisme semakin merajalela, menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai keislaman yang seharusnya menjadi dasar dalam membangun bangsa yang adil dan makmur.

Islam mengajarkan prinsip amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran), yang harus diterapkan dalam menegakkan keadilan sosial. Selain itu, Islam juga mengajarkan pentingnya kepemimpinan yang adil, ekonomi berbasis keumatan, dan pendidikan yang mendahulukan adab.

Dalam kegelapan modern yang diwarnai korupsi, ketimpangan, dan krisis moral, Islam sekali lagi harus menjadi solusi. Sejarah membuktikan bahwa setiap kali Indonesia mengalami kegelapan, Islam selalu hadir sebagai cahaya pembebas. Kini, tugas kita adalah kembali menyalakan cahaya itu.*

Penulis adalah Dosen UII Dalwa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *