InfoMalangRaya.com – Di tengah umat Islam Indonesia, kata “mengaji” sangat akrab di telinga. Bahkan, hampir semua orang tua menyuruh anaknya, “Nak, pergilah mengaji.” Tetapi tahukah kita bahwa makna “mengaji” jauh lebih dalam daripada sekadar membaca huruf demi huruf Al-Qur’an?
Makna Bahasa: Mengaji dari Akar Kata “Kaji”
Secara etimologi, kata “mengaji” berasal dari kata dasar “kaji” yang berarti mengulas, menelaah, membahas, atau meneliti. Kata ini menunjukkan suatu proses berpikir mendalam terhadap suatu ilmu atau teks.
Jadi ketika kita mengatakan “mengaji Al-Qur’an,” sesungguhnya kita sedang berbicara bukan hanya tentang membaca secara lafazh, tetapi juga mengupas maknanya, menelaah isinya, serta memahami pesan-pesan Allah yang terkandung di dalamnya.
Mengaji berarti mengkaji Al-Qur’an.
Mengapa Perlu Dikaji?
Sebagian besar umat Islam Indonesia tidak memahami bahasa Arab, bahasa wahyu Al-Qur’an. Maka, sekadar membaca tanpa memahami makna akan membuat kita tidak mengerti apa yang sebenarnya Allah ingin sampaikan.
Padahal dalam banyak ayat, Allah menegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan untuk dipahami:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”(QS. Shad: 29)
Allah tidak hanya memerintahkan kita membaca, tetapi juga mentadabburi, yaitu mendalami, memikirkan, dan mengambil pelajaran.
Tradisi Mengaji di Indonesia: Dari Baghdadiyah hingga Tafsir
Sebelum metode Iqra populer, umat Islam di Nusantara sudah mengenal metode Baghdadiyah. Metode ini dikenal dalam pengajaran membaca Al-Qur’an di pesantren, surau, dan langgar. Prosesnya dimulai dari:
Pengenalan huruf hijaiyah satu per satu, dari alif sampai ya.
Belajar harakat, seperti fathah (a), kasrah (i), dan dhammah (u).
Penyusunan suku kata, seperti ba-bi-bu, ta-ti-tu, dan seterusnya.
Penggabungan kata dan ayat, hingga murid bisa membaca ayat-ayat Al-Qur’an.
Tapi yang paling berharga dari metode tradisional ini adalah bahwa setelah bisa membaca, santri dibimbing untuk mengkaji isinya. Surat Al-Fatihah, misalnya, dibaca perlahan, lalu guru menjelaskan:
“Alhamdulillah” artinya segala puji bagi Allah.
“Rabbil ‘aalamiin” artinya Tuhan semesta alam.
Setiap lafazh dibahas maknanya, dikaitkan dengan akidah, ibadah, dan akhlak. Bahkan dalam beberapa pesantren, satu ayat bisa dibahas berjam-jam.
Inilah hakikat mengaji yang sejati: membaca dan langsung mengkaji.
Mengaji yang Terlupakan
Sayangnya, makna “mengaji” kini mulai bergeser. Banyak yang mengira cukup bisa membaca tanpa tahu artinya. Padahal; mengaji tanpa memahami bagaikan membaca surat tanpa mengerti isinya. Mengaji tanpa penghayatan menjadikan hati kering dan akal kosong dari hidayah.
Tak heran jika ada yang fasih membaca, tetapi akhlaknya jauh dari tuntunan Al-Qur’an. Karena bacaan belum menyentuh pemahaman, dan pemahaman belum membuahkan pengamalan.
Menghidupkan Kembali Tradisi Mengkaji
Kini saatnya kita kembali pada semangat mengaji yang benar:
Ajarkan anak-anak bukan hanya membaca, tapi juga mulai mengenal arti.
Perbanyak majelis tafsir Al-Qur’an, bukan hanya tilawah berjamaah.
Gunakan terjemah dan tafsir sebagai sarana memahami Al-Qur’an.
Kembangkan tradisi diskusi Qur’ani di rumah, masjid, sekolah, dan majelis taklim.
Penutup: Mengaji untuk Hidup dalam Cahaya Qur’an
Rasulullah ﷺ adalah manusia yang paling mengkaji Al-Qur’an — bukan hanya membacanya, tetapi juga mengamalkannya secara sempurna. Bahkan ketika ditanya tentang akhlak Rasul, Aisyah menjawab:
“Akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an.” (HR. Muslim)
Maka, mengaji yang sejati akan mengantar kita menjadi hamba yang benar-benar hidup dalam petunjuk-Nya, bukan hanya yang pandai melafalkan-Nya.*Ahmad Firdaus