Mengapa Tidur Jadi Sulit bagi Penyandang ADHD?
Ketika malam tiba, tubuh kita meminta istirahat, tapi otak terus bergerak. Ini adalah pengalaman yang sering dialami oleh orang-orang dengan ADHD. Saya sendiri mengalami hal ini sejak kecil. Meskipun tidak begadang atau melakukan aktivitas berlebihan, otak saya selalu penuh ide, suara, dan kecemasan. Saya didiagnosis disleksia dan ADHD pada usia 9 tahun. Sejak saat itu, saya tahu bahwa tidur bukanlah hal sederhana bagi diri saya.
Banyak dari kita tidak sendirian dalam menghadapi tantangan ini. Menurut penelitian dari Autism Research Institute, hingga 75% individu dengan ADHD dan 80% individu dengan autisme mengalami gangguan tidur kronis. Bagi mereka yang memiliki keduanya, seperti saya, menjadi seperti neurodivergent sleep disaster cocktail. Tidur jadi seperti misi mustahil: sulit memulai, sulit mempertahankan, dan sering kali bangun dengan perasaan lebih lelah daripada saat tidur.
Apa Penyebabnya?
Menurut Dr. Thomas E. Brown, ahli ADHD dan neuropsikologi, banyak individu neurodivergen mengalami Delayed Sleep Phase Syndrome (DSPS). Sindrom ini membuat tubuh baru memproduksi melatonin (hormon pemicu kantuk) beberapa jam lebih lambat dari orang biasa. Artinya, ketika orang lain mulai mengantuk pukul 9 malam, otak saya baru “siap untuk beristirahat” sekitar pukul 1 atau 2 dini hari.
Selain itu, hormon kortisol yang seharusnya memicu kita untuk bangun dan aktif di pagi hari juga terlambat dilepaskan hingga 2 jam lebih lambat. Itulah sebabnya, bangun pagi sering terasa seperti menyeret tubuh dari lumpur berat.
Gangguan tidur pada ADHD bukan hanya tentang keterlambatan tidur. ADHD sering menyebabkan racing thoughts, kecemasan, hiperaktivitas mental, dan sensitivitas sensorik tinggi terhadap suara atau cahaya. Semua ini menyebabkan kualitas tidur menurun drastis. Dan ini menciptakan siklus yang menyiksa:
- Kurang tidur ADHD memburuk
- Lebih sulit tidur
- Lebih buruk keesokan harinya
Profesor Russell Barkley, seorang ahli ADHD terkemuka, menegaskan bahwa kurang tidur pada penyandang ADHD secara langsung mempengaruhi fungsi eksekutif, termasuk kemampuan konsentrasi, emosi, dan manajemen waktu. Bahkan, beberapa studi menunjukkan bahwa gangguan tidur ini meningkatkan risiko depresi dan kecemasan pada remaja ADHD hingga dua kali lipat dibanding populasi umum.
Strategi untuk Membantu Tidur Lebih Baik
Sebagai seseorang yang pernah frustasi karena malam-malam panjang penuh pikiran liar, saya tahu bahwa solusi instan tidak ada. Tapi ada harapan dan strategi yang membantu.
1. Rutinitas Tidur yang Konsisten
Buat jadwal tidur dan bangun yang tetap, meskipun sulit. Tubuh ADHD butuh pelatihan berulang untuk mengenali waktu istirahat.
2. Terapi Cahaya Pagi
Paparan cahaya alami di pagi hari bisa membantu mengatur ulang jam biologis dan meningkatkan pelepasan kortisol yang tepat waktu.
3. Batasi Stimulan di Malam Hari
Hindari kafein, gadget, atau aktivitas intens sebelum tidur. Gantilah dengan aktivitas tenang seperti membaca (bagi saya: audiobook atau teks besar) atau menulis jurnal.
4. Terapi & Medikasi (dengan Pendampingan)
Konsultasi dengan psikiater atau psikolog bisa memberikan arahan penggunaan melatonin sintetik atau pendekatan kognitif-perilaku untuk insomnia (CBT-i).
5. Terima dan Pahami Diri Sendiri
Ini mungkin paling penting. Kita bukan pemalas atau pelanggar disiplin waktu. Kita hanya punya sistem biologis yang berbeda dan butuh pendekatan yang tepat.
Sebagai penyandang disleksia dan ADHD, saya tahu rasanya menjadi anak yang dimarahi karena “susah bangun pagi” atau dianggap “tidak bisa atur waktu.” Tapi sekarang saya tahu, itu bukan karena saya malas. Otak saya hanya bekerja dengan cara yang berbeda. Dan malam-malam tanpa tidur itu bukanlah kegagalan tapi tantangan yang bisa diatasi, perlahan, dengan cinta, ilmu, dan kesabaran.
“Bagi sebagian orang, tidur hanyalah rutinitas. Bagi kami, ini adalah perjuangan. Tapi setiap perjuangan juga berarti: kami berani melawan bahkan dalam gelap.”