Menjernihkan Pemahaman tentang Ekonomi Islam

Dalam sitem ekonomi Islam, sumber-sumber ekonomi strategis tidak boleh dikuasai swasta/asing, padahal ketimpangan disebabkan adanya kebebasan semua pihak termasuk asing menguasai aset-aset ekonomi strategis
oleh: Lutfi Sarif Hidayat
InfoMalangRaya.com | BAGI kebanyak orang, ketika mendengar istilah ekonomi Islam maka yang terbayangkan adalah perbankan syariah atau paling “banter” lembaga keuangan syariah.  Rasanya bagi masyarakat umum, ekonomi Islam identik dengan segala rupa lembaga keuangan ditambah artibut syariah di belakangnya.
Memang ada perkembangan gaya hidup syariah seperti maraknya label produk halal hingga kemudahan sertifikasi halal dalam dunia usaha. Ditambah lagi atribut syariah juga mulai muncul tidak hanya pada lembaga keuangan.
Ambil contoh adanya hotel syariah hingga skala yang lebih besar seperti pariwisata syariah.   
Pada satu sisi ini adalah kabar gembira bagi umat Islam, bahwa kesadaran akan nilai dari ajaran Islam bisa ditangkap dalam ruang publik yang lebih luas. Hanya saja pada sisi yang lain sebenarnya belum menggambarkan secara utuh tentang ekonomi Islam itu sendiri.
Sebab kenyataannya ekonomi Islam tidak sekedar pada lembaga keuangan atau aspek lainnya yang hanya diatributkan label syariah di belakanganya. Berbicara ekonomi Islam paling tidak akan menyinggung dua hal pokok.
Pertama adalah memahami konteks perbincangan ekonomi Islam. Kedua adalah pertanyaan apakah ekonomi Islam bisa menjadi solusi bagi masalah ekonomi di Indonesia dan bagaimana cara serta bentuknya.
Soal konteks dalam percakapan tentang ekonomi Islam paling tidak ada beberapa istilah penting untuk dipahami yang mewakili setiap maksud pembicaraan terhadap ekonomi Islam. Istilah pertama adalah ekonomi.
Istilah ini mengarah pada aktivitas ekonomi di lapangan, penerapan atau praktik dari kegiatan ekonomi. Artinya konteks dari istilah ekonomi ini memiliki kata kunci berupa implementasi dari aktivitas ekonomi.
Munculah kemudian istilah Islamic Economy yang memaknai ekonomi Islam lebih sebagai praktik-praktik ekonomi atau aktivitas-aktivitas ekonomi yang nilai-nilai Islam memberikan warna di dalamnya.
Sebagai contoh praktik seorang muslim yang berinteraksi dengan lembaga Bank Syariah untuk menghindari riba. Dan untuk saat ini, praktik-praktik yang ada masih bersifat parsial pada kebutuhan tertentu atau pada level individu atau kelompok masayarakat sebagian.
Istilah kedua adalah economics yang secara mudah diartikan bahwa istilah ini adalah salah satu disiplin ilmu (science) khususnya di dalam social sciences (ilmu-ilmu sosial). Artinya konteks dari istilah economics memiliki kata kunci berupa bidang atau disiplin ilmu, yang hingga sekarang ini perdebatannya masih sangat panjang.
Munculah kemudian istilah Islamic Economicsyang memaknai ekonomi Islam sebagai sebuah disiplin ilmu. Hingga sekarang ini masih dalam “pencarian” serta diskursus yang begitu panjang.
Sehingga diskursusnya mengarah kepada perdebatan keilmuan. Dan berbicara soal ini, kiranya menjadi tantangan bagi para cendekiawan muslim untuk menemukan bagaimana sesungguhnya body of knowledge dari Ilmu Ekonomi Islam.
Istilah terakhir adalah Islamic Economics Systemyang memaknai ekonomi Islam sebagai sebuah sistem ekonomi. Sebuah pembahasan yang menjelaskan secara utuh bagaimana sebenarnya perekonomian yang ideal itu diatur menurut Islam.
Artinya Islam menjadi worldview dalam mengatur ekonomi bahkan sampai pada level negara atau peradaban. Islam dalam hal ini menjadi ekonomi politik dan juga politik ekonomi.
Sebagai contoh adalah tentang pengaturan aset-aset ekonomi strategis masyarakat yang tidak bisa dikuasai swasta atau asing dan sering disebut sebagai al-milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum).
Sangat jelas bahwa bicara ekonomi Islam juga bicara dalam spektrum yang lebih luas mulai dari pribadi, masyarakat dan juga peran politik negara baik dalam masalah mikro maupun makro dalam ekonomi.
***
Adapun pertanyaan apakah ekonomi Islam mampu memberikan solusi bagi Indonesia dan bagaimana cara serta bentuknya. Maka pertama harus dilihat dulu permasalahan dan penyebab utama yang dialami Indonesia dalam ekonomi.
Masalah utama dan pertama Indonesia adalah ketimpangan atau tidak adanya pemeretaan terhadap akses ekonomi. Data akan berbicara bahwa Indonesia benar-benar sedang dalam keadaan darurat ketimpangan ekonomi.
Dalam sebuah kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Ekonomi Politik Universitas Bung Karno Tahun 2016 diungkap beberapa contoh ketimpangan ekonomi di Indonesia.
Dikatakan bahwa 72% Tanah Daratan Indonesia dikuasai Asing dan Taipan. Tanah yang dikuasai dalam bentuk hak penguasaan atas tanah oleh swasta asing dan taipan saat ini seluas 178 juta hektar.
Seluas 140 juta hektar merupakan wilayah daratan. Jumlahnya mencapai 72 % dari total luas daratan Indonesia. Seluruh tanah tersebut dikuasai oleh perusahaan besar asing dan taipan untuk kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, pertanian dan bisnis lainnya.
Pemerintah telah mengalokasikan tanah dalam bentuk kontrak kerjasama migas (KKS) seluas 95 juta hektar sebagian besar di darat yakni sebanyak 60 % dari total KKS atau sekitar 57 juta hektar. Kontrak tambang mineral dan batubara seluas 40 juta hektar.
Selanjutnya hak penguasaan tanah yang diberikan dalam bentuk ijin perkebunan sawit 13 juta hektar, ijin kehutanan dalam bentuk HPH, HTI dan HTR seluas 30 juta hektar. Sebuah perusahaan swasta milik taipan bisa menguasai lahan seluas 2,5 juta hektar menurut versi beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan 1,5 juta hektar versi Panglima TNI pada waktu itu sebagaimana disebut di majalah Forum Keadilan. Selain itu ada puluhan taipan besar di tanah air dengan skala penguasaan tanah yang sangat luas.
Sementara lebih dari separuh rakyat Indonesia yang masih hidup dan bekerja di sektor pertanian hanya menguasai lahan sekitar 13 juta hektar yang terbagi  dalam 26 juta rumah tangga petani dengan luas masing masing 0.5 hektar.
Dengan demikian setiap petani hanya menguasai lahan rata rata 0.17 juta hektar per petani. Itulah mengapa tidak ada kegiatan usaha tani yang dapat meraih keuntungan dengan luas lahan yang sangat minim tersebut.
Penguasaan tanah dalam skala yang sangat luas oleh asing dan taipan ini yang menimbulkan keresahan masyarakat, mengingat berdasarkan UU yang berlaku yakni UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyebutkan bahwa jangka waktu penguasaan tanah oleh swasta bisa salam 95 tahun.
Ketimpangan juga bisa dilihat dalam hal keuangan. Dikatakan dalam sumber data di atas bahwa jumlah rekening bank di Indonesia yang memiliki dana di atas Rp 2 miliar sebanyak 226.948 rekening, nilai simpanan Rp 2.609 triliun.  Sementara jumlah rekening di bawah Rp. 2 miliar rupiah sebanyak 185.936.387 rekening dengan nilai tabungan sebesar Rp. 1.161 triliun.
Artinya kurang dari 1 % pemilik rekening bank menguasai 66 % tabungan di bank atau sebanyak lebih dari 99 % lebih pemilik rekening hanya menguasai 34 % tabungan di bank. Sementara rata rata nilai tabungan kurang dari 1 % pemilik rekening yang menguasai 66 % tabungan di bank adalah senilai Rp. 11,4 miliar setiap rekening.
Sedangkan rata rata nilai tabungan 99 % pemilik rekening yang menguasai 34 % tabungan di bank adalah senilai rp. 7,3 juta setiap rekening.
Data tersebut juga mengatakan bahwa43% pendapatan nasional dikuasai 1 % orang. Hal ini bisa dilihat ketika orde baru berkuasa ketimpangan ekonomi nasional yang ditunjukkan oleh gini coenfisien hanya 0,31 (Koefisien Gini tahun 1999) artinya 31 persen kekayaan nasional hanya dikuasai 1 persen orang.
Kemudian saat ini, dimana sudah masuk dalam era reformasi ternyata jauh lebih buruk lagi. Sekarang sejak era reformasi ketimpangan pendapatan meningkat dari 0.31 tahun 1999 menjadi 0.41 pada tahun 2005. Daerah daerah seperti DKI Jakarta ketimpangan pendapatan dapat mencapai 0.43 menurut data resmi BPS.
***
Jika dilihat secara mendalam, adanya ketimpangan ekonomi di Indonesia saat ini, penyebab utamanya adalah karena bukan sistem ekonomi Islam yang dijadikan sebagai pedoman dalam berekonomi.
Sementara sitem ekonomi Islam melihat bahwa sumber-sumber ekonomi strategis tidak boleh dikuasai oleh swasta atau asing. Sedangkan ketimpangan pada dasarnya disebabkan oleh adanya kebebasan bagi semua pihak termasuk swasta ataupun asing dalam penguasaan aset-aset ekonomi strategis yang semestinya digunakan untuk hajat hidup orang banyak bukan segelintir pihak saja.
Indoneisia sejatinya berada dalam cengkeraman ekonomi neoliberalisme. Neoliberialisme dengan gagasan dasar bahwa negara hanya berperan memberikan regulasi saja dalam pengaturan ekonomi.
Ekonomi diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, negara hanyalah regulator, yang pada akhirnya mengarah kepada corporate state. Sebab pada ujungnya pemenangnya adalah para pengusaha dengan adanya regulasi dari negara.
Regulasi tersebut berupa undang-undang liberal yang tidak pro rakyat. Inilah kombinasi antara pengusaha dengan para politikus, dan kadang dibantu oleh pihak asing atau sering disebut dengan oligarki.
Terbukti dengan adanya catatan pengamat dari Universitas Airlangga Surabaya Bambang Budiono MS M.Sosio yang mengatakan 72 undang-undang di Indonesia diintervensi asing.
Contohnya World Bank pada UU BOS, UU PNPM; IMF pada UU BUMN (No 19/2003), UU PMA (No 25/2007) dan USAID pada UU Migas (No 22/2001). Dampaknya bisa terlihat, rupiah yang melemah, defisit luar biasa dalam neraca transaksi berjalan, kekayaan alam dirampok, utang menumpuk, daya beli rendah, PHK, ketimpangan ekonomi, kemiskinan dan lain-lain.
Ditambah dengan solusi hanya berkemungkinan menarik sebanyak-banyak investor, atau utang luar negeri. Wajar jika ada kemungkinan pajak akan kian bertambah, seiring dengan kondisi ekonomi yang kian menurun.
Sehingga persoalan utamanya adalah karena neoliberalisme yang tetap menjerat Indonesia disebabkan oleh sistem kapitalisme. Dalam konteks inilah kemudian butuh adanya ekonomi Islam sebagai sebuah sistem utuh dalam mengatur ekonomi dengan adanya keselarasan dari political will yang ada. Karena ekonomi sejatinya akan benar-benar berdampak kepada masyarakat jika diambil dengan tepatnya langkah politik yang dalam hal ini sesuai ajaran Islam. Di sinilah butuh ekonomi politik Islam. Allahu a’lam.*
Mahasiswa Pascasarjana Magister Ekonomi Syariah (MES) UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *