Sumber gambar, ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Anggota komunitas CentennialZ memegang poster saat melakukan “Aksi Duka 1 Juta Pita Hitam” di kawasan Senayan, Jakarta, Jumat (31/03)
- Penulis, Raja Eben Lumbanrau
- Peranan, Wartawan BBC News Indonesia
Menyandingkan alasan penolakan elit-elit politik atas kehadiran tim Israel dalam Piala Dunia U-20 dengan tindakan Presiden Sukarno di Asian Games IV, menurut sejarawan “ada benarnya, tapi berlebihan dan terlalu naif”.
Sejarawan IAIN Palangka Raya, Muhammad Iqbal mengatakan, sikap Indonesia di bawah pimpinan Sukarno yang menolak Israel dalam perhelatan Asian Games IV tahun 1962 merupakan salah satu bentuk dari politik mercusuar Sukarno dalam mengangkat harkat dan martabat Indonesia yang pernah dijajah oleh Barat.
Alasan lainnya, katanya, sikap Sukarno merupakan bentuk pengalangan dukungan dari negara-negara pasca kolonialisme untuk memperkuat kemerdekaan Indonesia dan mendukung pembebasan Irian Barat.
Iqbal juga menegaskan, pasca kejatuhan Sukarno, terjadi jalinan hubungan ekonomi dan sektor lainnya antara Israel dan Indonesia di bawah era Orde Baru, Suharto.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah mengatakan, Piala Dunia U-20 seharusnya menjadi panggung bagi Indonesia untuk membawa pesan damai, dan persaudaraan antara masyarakat dunia, yang Israel tidak dapatkan.
Sebelumnya, beberapa elit dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan menolak kehadiran tim nasional sepak bola Israel ke Indonesia dalam perhelatan Piala Dunia U-20 tahun 2023 di Indonesia.
Selain itu, penolakan keras juga datang dari sejumlah Ormas Islam.
Di tengah beragam respon domestik yang muncul, Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) akhirnya mencabut status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 tahun 2023.
Saat dikonfirmasi apakah keputusan FIFA terkait dengan penolakan atas tim Israel, Ketua Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), Erick Thohir tidak menjawab secara tegas, dan mengedepankan pada transformasi di bidang keamanan dan keselamatan.
‘Stadion GBK lahir dari penolakan atas Israel’
Sumber gambar, Getty Images
Foto Sukarno di Gelora Bung Karno
Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyatakan, PDI Perjuangan tidak pernah menolak Piala Dunia U-20 digelar di Indonesia.
Dia mengatakan, PDI Perjuangan menolak kehadiran tim nasional Israel di Indonesia dan potensi kerentanan sosial serta politik yang akan ditimbulkan, dengan merujuk pada landasan secara konstitusi dan juga historis.
“Suara menolak kehadiran Israel adalah suara kemanusiaan, bukan kehendak politis. Kesadaran sejarah juga harus terus diperkuat. Untuk diingat, Stadion Gelora Bung Karno (GBK) lahir sebagai penolakan terhadap Israel,” kata Hasto seperti dikutip dari Antara, Kamis (30/03).
Sebelumnya, beberapa elit politik PDIP seperti Ganjar Pranowo dan I Wayan Koster juga menolak kedatangan tim Israel ke Indonesia.
“Kita sudah tahu bagaimana komitmen Bung Karno terhadap Palestina, baik yang disuarakan dalam Konferensi Asia Afrika, Gerakan Non Blok, dan maupun dalam Conference of the New Emerging Forces. Jadi ya kita ikut amanat beliau,” kata Ganjar dalam keterangan tertulis, Kamis (23/03).
Senada, Wayan Koster juga menolak timnas Israel “karena didasarkan pada hal yang prinsip terkait kemanusiaan, sejarah, dan tanggung jawab pergaulan antar-bangsa dan aspirasi masyarakat kepada FIFA.”
‘Ada benarnya, tapi berlebihan dan terlalu naif”
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Anggota komunitas CentennialZ memegang poster saat melakukan “Aksi Duka 1 Juta Pita Hitam” di kawasan Senayan, Jakarta, Jumat (31/03)
Sikap PDI Perjuangan yang menolak Israel dengan mengutip nama dan peran Sukarno menurut sejarawan, IAIN Palangka Raya, Muhammad Iqbal, “ada benarnya, tapi berlebihan dan terlalu naif”, karena tidak serta merta hanya tentang Israel sebagai “pilot utama”, tapi bagian dari konsekuensi politik internasional pendiri bangsa itu.
Terdapat beragam faktor saat itu yang menjadi alasan Sukarno, mulai dari tindakan penjajahan yang dilakukan Israel itu sendiri, lalu upaya Indonesia menggalang dukungan dari dunia Arab dan negara-negara pascakolonial atas kemerdekaan Indonesia, serta kepentingan pembebasan Irian Barat.
“Jadi penolakan terhadap Israel bukan tentang penjajahan semata, tapi ada kepentingan Indonesia dalam menggalang dukungan dunia. Kalau sekarang kan penolakannya sebatas Israel yang cenderung menjadi alat untuk isu-isu politik populis dalam negeri,” kata Iqbal.
Sumber gambar, Getty Images
Presiden Sukarno (kedua dari kanan) bersama pemimpin negara-negara yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok.
Iqbal mengatakan, pasca kemerdekaan, Sukarno mendekatkan diri pada barisan negara-negara Arab untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan internasional atas kemerdekaan Indonesia. Hasilnya, Mesir, Suriah, Lebanon, Arab Saudi hingga Yaman mengakui kemerdekaan Indonesia.
“Sebagai konsekuensinya pro-Arab, Indonesia berada di posisi anti-Israel. Lalu, dalam Konferensi Meja Bundar [Belanda mengakui Indonesia menjadi negara berdaulat dan merdeka] tahun 1949, Israel mengirimkan telegram ucapan selamat dan pengakuan penuh Indonesia, tapi disambut dingin,” kata Iqbal.
Kemudian Indonesia mengalang kekuatan negara-negara pascakolonial dengan menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 yang kemudian memunculkan kekuatan Gerakan Non-Blok (GNB), yaitu menjunjung kemerdekaan nasional, serta perjuangan menentang imperialisme, kolonialisme dan kekuatan blok politik dunia.
Dalam pelaksanaan KAA itu, Indonesia dan Pakistan tegas menolak Israel, bahkan melobi Myanmar, India dan Sri lanka yang awalnya mendukung Israel.
“Keaktifan Indonesia dalam KAA, GNB, PBB dan forum internasional lainnya yaitu untuk mendapatkan pengakuan dunia akan kemerdekaan Indonesia.
Sikap Sukarno tidak sekedar idealisme agama, penjajahan, tapi juga mengkonsolidasikan Indonesia di mata dunia, salah satunya pembebasan Irian Barat.”
Bagaimana sejarah Gelora Bung Karno?
Sumber gambar, Getty Images
Presiden Indonesia Sukarno (kanan) dan Wakil Presiden Indonesia Mohammad Hatta (kiri).
Kemudian, terkait dengan pembangunan Gelora Bung Karno (GBK) sebagai penolakan terhadap Israel, Iqbal mengaku “itu benar tapi terlalu menyederhanakan sejarah”.
Iqbal bercerita, pada tahun 1956, Sukarno mengunjungi Uni Soviet. Di sana, dia terinspirasi oleh kemegahan Stadium Stadion Lenin untuk membuat GBK menjadi fasilitas penyelenggaraan Asian Games 1962 di Jakarta.
“GBK adalah projek panjang national-building Sukarno dan politik mercusuar melawan imperialisme dan kolonialisme, tidak sekedar sentimen atas Israel. GBK adalah wajah Indonesia yang pantas bersanding dengan bangsa besar lainnya di dunia,” kata Iqbal.
Dilansir dari Kemendikbud, GBK dibangun sebagai kelengkapan sarana dan prasarana Asian Games 1962.
Dalam pelaksanan Asian Games, kata Iqbal, Sukarno menolak kehadiran Israel dan Taiwan, salah satu alasannya, karena akan menganggu hubungan Indonesia dengan negara-negara Arab dan China.
Akibatnya, Indonesia mendapat sanksi dari Komite Olimpiade Internasional (IOC) dan tidak dapat berpartisipasi dalam Olimpiade.
Lalu, Sukarno mengagas Pesta Olahraga Negara-negara Baru (Games of The New Emerging Forces atau Ganefo).
Dikutip dari situs UGM, asisten professor dari Universitas of Manitoba, Russell Field mengatakan, Ganefo pada beberapa sisi mewakili semangat persatuan kaum terjajah –bekas koloni- di Asia dan Afrika, dan merupakan perang simbolis terbuka terhadap blok Barat.
Apakah Indonesia benar-benar tidak berhubungan dengan Israel?
Sumber gambar, ADEK BERRY/AFP
Sejumlah Ormas Islam menganggap menerima kedatangan timnas sepak bola Israel sama dengan melegitimasi penjajahan terhadap bangsa Palestina.
Iqbal mengatakan, pada masa Orde Lama, Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik, ekonomi maupun lainnya dengan Israel. Namun, hal itu berbeda ketika Suharto menjadi presiden.
“Di bawah Suharto hingga 2010, Indonesia secara politik tidak pernah punya hubungan diplomatik resmi, tapi secara bisnis, ekonomi, bahkan militer, itu ada,” kata Iqbal.
Iqbal mengutip buku berjudul “Menguak Hubungan Dagang Indonesia-Israel” karya Angga Aulia Akbar.
Dalam buku itu, kata Iqbal, pada tahun 1982, Indonesia mengakui secara terbuka telah menjalin kesepakatan dengan Israel melalui Amerika Serikat sebagai pihak ketiga.
Mengutip buku itu, ujar Iqbal, menurut data Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), yang berada di bawah Menteri Perdagangan saat itu, nilai ekspor Indonesia ke Israel 1999-2003 sebesar US$32,6 juta dalam produk air mineral, minyak dan produk penyulingan.
Sebaliknya, nilai impor dari Israel ke Indonesia sebesar US$9,9 juta seperti penyamakan, bahan celup dan zat pewarna.
Data volume perdagangan Indonesia-Israel terus meningkat hingga mencapai US$750 juta pada tahun 2008, dengan cara perdagangan tidak langsung melalui perusahaan di negara-negara ketiga, kata Iqbal.
“Bahkan lebih dari itu, Indonesia pernah membeli helikopter dan jet tempur dari Israel pada era Orde Baru. Pascareformasi 1998, Kamar Dagang Israel-Indonesia telah dibuka di Tel Aviv.
Indonesia di masa Orde Baru hingga setidaknya tahun 2010 itu lebih moderat, cuma masyarakat Indonesia banyak yang tidak tahu,” ujar Iqbal.
Populisme politik dalam negeri
Sumber gambar, AFP
Presiden Jokowi dan Presiden FIFA, Gianni Infantino di Istana Merdeka, Jakarta, 18 Oktober 2022.
Iqbal melihat isu Israel di Indonesia sekarang terkungkung pada level populisme politik dalam negeri Indonesia.
“Hampir menjelang pemilu dan peristiwa penting lainnya, isu ini lebih kepada komoditi politik pragmatisme karena tahu posisi mayoritas Muslim dan hal yang berhubungan Israel adalah hal negatif,” katanya.
Iqbal juga melihat perjuangan Indonesia terhadap Palestina saat ini jauh lebih mundur dibandingkan dengan upaya Sukarno yang melakukan kampanye politik internasional, menoreh sejarah dunia, bahkan kini menjadi kajian internasional tentang konsep negara-negara “Global Selatan”.
“Kalau kita kan sekarang posisinya cuma mengutip dan meromantisasi apa yang dilakukan Bung Karno tapi tidak ada upaya nyata melakukan politik diplomasi untuk perdamaian atau perjuangan negara Palestina.
Saya kira kita mengalami kemunduran. Jadi ini lebih ke internal politik Indonesia,” katanya.
Apakah Israel terlarang masuk Indonesia?
Sumber gambar, Getty Images
Sejumlah Ormas Islam menggelar demonstrasi menolak kedatangan timnas sepak bola Israel ke Piala Dunia U-20 di Indonesia.
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah mengatakan, warga Israel tidak terlarang masuk ke Indonesia, namun harus memenuhi beberapa syarat.
Pada Bab X nomor 151 tertulis, dalam melakukan hubungan dengan Israel kiranya perlu diperhatikan prosedur yang ada dan masih berlaku, di antaranya, yaitu kunjungan warga Israel ke Indonesia hanya dapat dilakukan dengan menggunakan paspor biasa dan otoritas pemberi visa kepada warga Israel dilaksanakan oleh Ditjen Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM.
Visa diberikan dalam bentuk affidavit melalui KBRI di Singapura atau KBRI di Bangkok.
“Israel masih dimungkinkan masuk dengan beberapa catatan. Untuk Piala Dunia U-20, Israel masuk di bawah kerangka FIFA dan keolahragaan. Tidak ada hubungan dengan pengakuan Indonesia terhadap Israel,” kata Rezasyah.
Dia pun menyayangkan gagalnya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20, apalagi jika itu disebabkan oleh sikap beberapa aktor politik yang menolak timnas Israel.
“Justru dengan datang ke sini, kita berinvestasi dengan Israel masa depan. Bayangkan, komposisi penduduknya 0-19 tahun di Israel itu 35%.
Sebenarnya kepada mereka kita bisa membawa pesan damai, persaudaraan antara masyarakat dunia yang Israel tidak dapatkan.”
“Israel datang ke Indonesia menjadi kesempatan melalui jalur non-pemerintah untuk memberitahu mereka tentang Pancasila, kemanusiaan, persaudaraan. Kita membawa Pancasila ke level internasional, tapi hilang kesempatan itu,” ujar Rezasyah.
Saat dikonfirmasi apakah keputusan FIFA terkait dengan penolakan atas tim Israel, Ketua PSSI Erick Thohir tidak menjawab secara langsung.
“Kalau di surat FIFA, pengertian saya justru terbalik. Di situ FIFA bicara, transformasi lagi. FIFA menyiapkan tim untuk transformasi sepak bola. Memang waktu Kanjuruhan itu kan isu standarisasi keamanan.
“Liga-liga kita kan isunya sama nanti ke depan, bagaimana supporter bisa pulang ke rumah. Nah ini yang harus kita bangun, security dan safety,” tungkas Erick.
Erick juga mengatakan, “dengan segala keberatan-keberatan yang sudah disampaikan, tentu FIFA melihat ini sebuah intervensi.
Banyak sekali FIFA itu menghukum karena ada intervensi pemerintah. Tetapi di sini juga kan bentuknya intervensi. Dan tentu dalam host kontrak sebagai negara, dan host city kontrak yang ditandatangan.”
Dituliskan dalam situs, bahwa setelah Presiden FIFA Gianni Infantino mengadakan pertemuan dengan Erick Thohir, FIFA memutuskan “karena keadaan saat ini, untuk membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 FIFA 2023”.
Belum diumumkan negara mana yang akan menggantikan Indonesia, namun FIFA menyebutkan jadwal turnamen tidak akan diubah dari rencana semula. “Kemungkinan sanksi untuk PSSI juga akan diputuskan kemudian,” lanjut pengumuman itu.
Mendengar keputusan itu, melalui media sosial, Jokowi menyampaikan rasa kecewa dan sedih.
Sebelumnya, Jokowi telah menjamin bahwa keikutsertaan Israel tidak ada kaitannya dengan konsistensi posisi politik luar negeri Indonesia terhadap Palestina.
“Dalam urusan Piala Dunia U-20 ini, kita sependapat dengan Duta Besar Palestina untuk Indonesia bahwa FIFA memiliki aturan yang harus ditaati anggotanya. Jadi, jangan mencampuradukkan urusan olahraga dan urusan politik.