InfoMalangRaya β
Menyiapkan Tata Kelola Laut Berkelanjutan
Indonesia siap menggelar KTT Forum AIS 2023 dengan mengundang 51 kepala negara dan kepala pemerintahan negara-negara pulau dan kepulauan ke Nusa Dua, 10-11 Oktober 2023.
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan 17.000 pulau dan dua pertiga luas wilayahnya berupa perairan. Jika mengacu kepada hasil Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS) 10 Desember 1982, luas laut Indonesia sebesar 3.257.357 kilometer persegi dan daratan sekitar 1.919.440 km2. Luasnya perairan tersebut memberi banyak keuntungan kepada Indonesia di antaranya cukup tersedianya hasil laut seperti produksi ikan.
Mengutip data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2022, potensi sumber daya perikanan (SDI) Indonesia yang berada di 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) mencapai 12,01 juta ton. Tetapi di sisi lain, Indonesia sebagai negara kepulauan rentan terhadap dampak dari perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut dan peningkatan suhu permukaan air laut.
Selain itu, terjadi intensitas gelombang pasang dan penurunan kadar keasaman air laut akibat reaksi gas karbondioksida atau disebut juga sebagai asidifikasi. Hal tadi ikut ditambah oleh kondisi laut kita yang sedang tidak baik-baik saja. Berdasarkan hasil survei terumbu karang oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2020 terungkap fakta bahwa dua pertiga dalam kondisi rusak.
Belum lagi kerusakan pada ekosistem pesisir seperti padang lamun dan hutan mangrove akibat alih fungsi lahan yang jumlahnya dapat mencapai ribuan hektare dalam setahun. Fenomena berikutnya yang ikut timbul adalah kehadiran sampah plastik di lautan yang menjadi monster baru bagi kelestarian biota laut. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan, pada 2022 saja, dari sekitar 19,45 juta ton produksi sampah rumah tangga, sebanyak 18,55 persen dihasilkan oleh sampah plastik.
BRIN memperkirakan, sebanyak 70β80 persen sampah plastik itu bermuara ke lautan Nusantara atau sekitar 480 ribuβ1,29 juta ton setiap tahun. Temuan tersebut sejalan dengan hasil penelitian World Wildlife Fund (WWF) Indonesia yang menyebut sebanyak 25 persen ikan laut telah mengandung bahan mikroplastik dan tentu saja berasal dari sampah plastik di laut. Mikroplastik adalah partikel plastik berukuran kurang dari 5 milimeter dan dapat dikonsumsi oleh plankton, salah satu pakan utama ikan di laut.
Lalu berapa kerugian yang diderita Indonesia dari dampak tersebut? Versi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan Asia Pasifik (APEC), Indonesia diperkirakan rugi secara ekonomi hingga USD450 juta (Rp6,75 triliun) per tahun akibat sampah plastik di laut. Dampak luas dari perubahan iklim seperti diutarakan di atas tak hanya dialami oleh Indonesia saja, karena hal serupa juga terjadi di negara-negara pulau dan kepulauan di seluruh dunia.
Β
Forum AIS
Perserikatan Bangsa-Bangsa mencatat, ada 44 negara kepulauan di dunia selain Indonesia dan puluhan lainnya berupa negara-negara pulau tersebar di lima benua. Indonesia sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia bersama Program Pembangunan PBB (UNDP) berinisiatif membentuk sebuah forum terbuka dan inklusif berisikan negara-negara pulau dan kepulauan tadi.
Forum ini dipakai guna mencari jalan keluar dari persoalan yang dihadapi mereka sebagai pemilik negara kepulauan dan negara-negara pulau (archipelagic and island states/AIS). Indonesia berharap, dari forum itu dapat disusun strategi berkelanjutan seperti mitigasi perubahan iklim, penanganan sampah plastik di lautan, dan menciptakan ekonomi biru sebagai bagian dari tata kelola kemaritiman berkelanjutan.
Terlebih lagi, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) memperkirakan bahwa nilai tambah output ekonomi laut global akan berlipat ganda dalam 10 tahun dari semula senilai USD1,5 triliun pada 2010 menjadi USD3 triliun di 2030 mendatang. Selain itu, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di Asia Tenggara dapat berperan meningkatkan sumbangsih laut untuk kesejahteraan bersama negara-negara anggota Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN).
Laut Asia Tenggara mencakup 66 persen dari total luas kawasan dan menyumbang 15 persen dari perikanan global. Inisiatif global ini disambut oleh 46 negara pulau dan kepulauan dan mereka menggelar pertemuan pertama pada 22 November 2017 dihadiri delegasi AIS di kawasan Asia Pasifik. Kerangka Forum AIS terbentuk pada pertemuan tersebut dan diwujudkan dalam Sidang Tingkat Menteri AIS yang dihadiri 21 negara dan berujung pada Deklarasi Bersama Manado, 1 November 2018.
Β
KTT Forum AIS
Sejak itu, Forum AIS rutin mengadakan pertemuan tahunan tingkat pejabat senior dan menteri. Hingga pada penyelenggaraan keempat di Nusa Dua, Bali, 6 Desember 2022 seluruh peserta sepakat bahwa pada 2023 digelar sebuah konferensi tingkat tinggi kepala negara dan kepala pemerintahan dari 47 negara anggota.
Luhut juga mengungkapkan, dalam rentang empat tahun Forum AIS diadakan, telah terbentuk AIS Startup Hub sebagai wadah pegiat startup di negara-negara anggota AIS berkolaborasi dan berjejaring. βKami telah memfasilitasi pertemuan dari 100 startup dan pihak swasta. Forum AIS juga mencetuskan Indeks Pembangunan Ekonomi Biru dan menghasilkan 200 lebih kegiatan pelatihan,β ucap Luhut.
Sementara itu, Sekretaris Kemenko Marinves Ayodhia GL Malake di Jakarta, Kamis (20/7/2023) mengumumkan rencana Indonesia menjadi tuan rumah KTT Forum AIS di Nusa Dua, 10β11 Oktober 2023 mendatang. Indonesia berencana mengundang 51 kepala negara dan kepala pemerintahan dalam forum yang beragenda utama membahas tata kelola laut berkelanjutan tersebut.
Indonesia menargetkan setidaknya ada 25 kepala negara bisa hadir di Pulau Dewata. βKesamaan tantangan dan peluang yang dihadapi negara-negara pulau dan kepulauan menciptakan kesempatan bagi Indonesia untuk berperan lebih inklusif dan strategis dalam tataran kawasan global,β tegas Sesmenko Marinves seperti dikutip dari Antara.
Semoga keterlibatan Indonesia dalam Forum AIS menjadi suatu langkah sangat penting, khususnya dalam upaya mewujudkan laut global berkelanjutan dan berperan sebagai pelaku utama perjuangan masyarakat dunia melawan perubahan iklim.
Β
Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/Elvira Inda Sari